SEJARAH ikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa tak bisa dipungkiri sebagai entitas penerimaan inkusifitas perbedaan antarsesama anak bangsa. Perjumpaan dari pelbagai entis, budaya, dan agama yang beragam mampu menghasilkan diktum luar biasa yang dikenal dengan Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda dapat menjadi basis bagi pendidikan untuk mereproduksi wacana kebhinekaan di tengah masyarakat yang plural. Historitas penerimaan perbedaan yang di dalam perjalanannya masih mengalami pasang-surut. Di mana masih ada oknum-oknum di tengah-tengah masyarakat yang mengekspresikan penolakan akan sebuah perbedaan.
Entitas penolakan diekspresikan dengan berbagai kanal. Media sosial menjadi wadah yang mudah untuk memasifkan sebuah menolak akan perbedaan. Keluarnya kata-kata tak pantas dari pelbagai cuitan para netizan hingga tindakan represif yang berujung kekerasan fisik masih sering terjadi.
Tragedi Sampit yang menewaskan ratusan orang karena perbedaan etnis. Tragedi Maluku yang menewaskan ribuan orang karena perbedaan agama. September kemaren masih terngiang di telinga kita akan sebuah berita viral penolakan pembangunan rumah ibadah di Cilegon. Itu pun yang terekspos oleh media dan tentunya banyak lagi tragedi kemanusian karena perbedaan yang belum terekspos.
Preseden buruk ini akan terus terjadi bahkan lebih besar eskalasinya apabila tidak ada upaya penanganan serius dan tepat dari pemangku jabatan dalam mengurai konflik perbedaan etnis, budaya, dan agama. Penyelesaian konflik perbedaan lewat jalur hukum dan meditasi masih menjadi alat yang dianggap efektif tapi apakah itu menjamin akan terurai secara keseluruan? Hal tersebut dari kacamata politik mungkin telah tersentuh tapi belum dari kacamata pendidikan.
Ruang PerjumpaanDalam berbangsan dan bernegara, inherenitas perbedaan latar belakang etnis, budaya, dan agama yang sangat beragam perlu untuk disyukuri. Agar integralitas kebhinikaan tersebut terjaga perlu adanya pendidikan yang ramah akan perbedaan dan pendidikan yang menghidupkan inklusifitas, kesetaraan, toleransi, dan persaudaraan lintas batas.
Inklusifitas pendidikan dapat dibangun dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang etnis, budaya, dan agama yang berbeda. Peserta didik harus literat di ranah-ranah liyan yang berbeda dari dirinya sehingga perbedaan dapat dipandang sebagai sebuah karunia.Menelisik fakta kerukunan beragama, ternyata terjadi kontradiktif dari subtansi beragama yang baik. Menurut Setara Institue di tahun 2020 terjadi 422 pelanggaran kebebasan beragama. Intoleransi menjadi pelanggaran tertinggi kemudian secera berturut-turut diikuti laporan penodaan agama, tolak tempat ibadah, larangan aktivitas ibadah, perusakan tempat ibadah, kekerasan, dan tolak kegiatan.Melihat fenomena intoleransi beragama tersebut, pendidikan berperan penting untuk memutus rantai intoleransi di pelbagai ranah khususnya agama. Pendidikan menjadi basis ruang perjumpaan dengan memberikan pemahaman dan kesadaran akan indahnya perbedaan, kerukunan, dan persatuan.Pemberian materi-materi tentang toleransi perlu direproduksi secara masif di sekolah agar ruang perjumpaan kognitif terus tumbuh subur. Memfasilitasi tempat ibadah bagi peserta didik yang memiliki keyakinan yang berbeda meskipun hanya satu orang merupakan entitas sekolah ramah perbedaan.Selain itu, perlu adanya wacana menghadirkan ruang perjumpaan secara fisik antara peserta didik yang berbeda etnis, budaya, dan agama untuk saling berinterasksi dan bertukar pikiran. Peserta didik etnis Jawa dapat belajar di lingkungan etnis Batak dan sebaliknya. Peserta didik beragama Islam dapat belajar di lingkungan agama lain dan sebaliknya. Pertukaran pelajar yang berbeda etnis, budaya, dan agama menjadi wacana yang tepat untuk segera dieksekusi oleh para pemangku pendidikan agar inklusifitas, kesetaraan, dan toleransi hidup dalam berbangsa dan bernegara.* *
Mahasiswa PPG Prajabatan UNNES
[caption id="attachment_166565" align="alignleft" width="150"]
Hamam Fitriana *)[/caption]
SEJARAH ikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa tak bisa dipungkiri sebagai entitas penerimaan inkusifitas perbedaan antarsesama anak bangsa. Perjumpaan dari pelbagai entis, budaya, dan agama yang beragam mampu menghasilkan diktum luar biasa yang dikenal dengan Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda dapat menjadi basis bagi pendidikan untuk mereproduksi wacana kebhinekaan di tengah masyarakat yang plural. Historitas penerimaan perbedaan yang di dalam perjalanannya masih mengalami pasang-surut. Di mana masih ada oknum-oknum di tengah-tengah masyarakat yang mengekspresikan penolakan akan sebuah perbedaan.
Entitas penolakan diekspresikan dengan berbagai kanal. Media sosial menjadi wadah yang mudah untuk memasifkan sebuah menolak akan perbedaan. Keluarnya kata-kata tak pantas dari pelbagai cuitan para netizan hingga tindakan represif yang berujung kekerasan fisik masih sering terjadi.
Tragedi Sampit yang menewaskan ratusan orang karena perbedaan etnis. Tragedi Maluku yang menewaskan ribuan orang karena perbedaan agama. September kemaren masih terngiang di telinga kita akan sebuah berita viral penolakan pembangunan rumah ibadah di Cilegon. Itu pun yang terekspos oleh media dan tentunya banyak lagi tragedi kemanusian karena perbedaan yang belum terekspos.
Preseden buruk ini akan terus terjadi bahkan lebih besar eskalasinya apabila tidak ada upaya penanganan serius dan tepat dari pemangku jabatan dalam mengurai konflik perbedaan etnis, budaya, dan agama. Penyelesaian konflik perbedaan lewat jalur hukum dan meditasi masih menjadi alat yang dianggap efektif tapi apakah itu menjamin akan terurai secara keseluruan? Hal tersebut dari kacamata politik mungkin telah tersentuh tapi belum dari kacamata pendidikan.
Ruang Perjumpaan
Dalam berbangsan dan bernegara, inherenitas perbedaan latar belakang etnis, budaya, dan agama yang sangat beragam perlu untuk disyukuri. Agar integralitas kebhinikaan tersebut terjaga perlu adanya pendidikan yang ramah akan perbedaan dan pendidikan yang menghidupkan inklusifitas, kesetaraan, toleransi, dan persaudaraan lintas batas.
Inklusifitas pendidikan dapat dibangun dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang etnis, budaya, dan agama yang berbeda. Peserta didik harus literat di ranah-ranah liyan yang berbeda dari dirinya sehingga perbedaan dapat dipandang sebagai sebuah karunia.
Menelisik fakta kerukunan beragama, ternyata terjadi kontradiktif dari subtansi beragama yang baik. Menurut Setara Institue di tahun 2020 terjadi 422 pelanggaran kebebasan beragama. Intoleransi menjadi pelanggaran tertinggi kemudian secera berturut-turut diikuti laporan penodaan agama, tolak tempat ibadah, larangan aktivitas ibadah, perusakan tempat ibadah, kekerasan, dan tolak kegiatan.
Melihat fenomena intoleransi beragama tersebut, pendidikan berperan penting untuk memutus rantai intoleransi di pelbagai ranah khususnya agama. Pendidikan menjadi basis ruang perjumpaan dengan memberikan pemahaman dan kesadaran akan indahnya perbedaan, kerukunan, dan persatuan.
Pemberian materi-materi tentang toleransi perlu direproduksi secara masif di sekolah agar ruang perjumpaan kognitif terus tumbuh subur. Memfasilitasi tempat ibadah bagi peserta didik yang memiliki keyakinan yang berbeda meskipun hanya satu orang merupakan entitas sekolah ramah perbedaan.
Selain itu, perlu adanya wacana menghadirkan ruang perjumpaan secara fisik antara peserta didik yang berbeda etnis, budaya, dan agama untuk saling berinterasksi dan bertukar pikiran. Peserta didik etnis Jawa dapat belajar di lingkungan etnis Batak dan sebaliknya. Peserta didik beragama Islam dapat belajar di lingkungan agama lain dan sebaliknya. Pertukaran pelajar yang berbeda etnis, budaya, dan agama menjadi wacana yang tepat untuk segera dieksekusi oleh para pemangku pendidikan agar inklusifitas, kesetaraan, dan toleransi hidup dalam berbangsa dan bernegara.*
*
Mahasiswa PPG Prajabatan UNNES