ACARA sastra paling meriah selama 2022 di Indonesia: 100 tahun Chairil Anwar. Nama itu ”berkuasa” dalam ingatan sastra termiliki publik selama puluhan tahun. Nama tenar, melegenda, dan terakrabi. Nama sering muncul di buku-buku pelajaran untuk diketahui jutaan murid. Nama untuk jawaban dalam soal-soal ujian.
Slametmuljana (21 Maret 1922-2 Juni 1986), nama belum tentu teringat. Nama mungkin tak pernah muncul lagi dalam buku-buku pelajaran atau perkuliahan bahasa dan sastra di Indonesia. Nama jarang dimunculkan dalam diskusi atau esai-esai terpublikasikan di koran dan majalah abad XXI. Slametmuljana, nama diketahui oleh orang-orang masa lalu saja atau orang-orang masih penasaran perbukuan lawas.
Nama masih terbaca saat kita membuka
Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (1990) susunan Pamusuk Eneste. Ia dipastikan turut dalam arus kesusastraan di Indonesia. Nama mendapat tempat dan berperan dalam kemajuan sastra, termasuk di pengajaran sastra. Buku pernah berjasa besar bagi murid atau mahasiswa mencukupkan dengan sinopsis atau ringkasan buku-buku terbit di Indonesia tentu
Sari Pustaka Indonesia (1952).
Slametmuljana juga dicantumkan dalam buku berjudul
Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 susunan Tempo. Kita menemukan keterangan berbeda. Slametmuljana dilahirkan pada 20 Maret 1921. Berbeda setahun dari informasi dalam buku susunan Pamusuk Eneste. Kita ingin menghormati Slametmulajana bisa membuat peringatan 100 tahun atau 101 tahun. Kita belum perlu terlalu dibingungkan kebenaran tahun mendingan menghormati tokoh dengan membaca lagi buku-buku pernah terbaca orang-orang pada masa lalu.
Pada 1953, terbit buku berjudul
Bimbingan Seni Sastra. Buku diterbitkan JB Wolters, cetakan kedua. “Dipersembahkan ke hadapan Prof Dr Prijana,” keterangan di halaman awal. Dulu, Prijana pernah menjadi orang penting di Universitas Indonesia dan Kementerian PP dan K. Buku disusun untuk membantu para murid SMA belajar dan menggandrungi sastra. “Mudah-mudahan buku jang seketjil ini bermanfaat bagi mereka jang ingin memperdalam pengetahuan tentang seni kata,” pengharapan Slametmuljana.
Penjelasan-penjelasan bersifat umum disampaikan Slametmuljana dengan bahasa “mudah” dimengerti. Contoh-contoh teks sastra diambil dari pelbagai buku. Misi pembuatan buku memang memajukan (pengajaran) sastra untuk para murid. Buku mula-mula disusun mengacu peran Slametmuljana sebagai guru.
Kita mengutip masalah “sja’ir baru”. Para pembaca buku lama itu bisa tengok kanan dan kiri saat menemukan penggunaan kata-kata dianggap aneh dibandingkan citarasa bahasa Indonesia abad XXI. Slametmulajana menjelaskan: “Pengertian sja’ir baru ini timbul karena pertemuan bangsa kita dengan bangsa Europa. Banjak pemuda-pemuda Indonesia jang mendapat didikan Barat dibangku sekolah.” Penulisan “sja’ir baru” dilakukan oleh kaum muda sejak masa 1930-an sampai 1940-an. Sutan Takdir Alisjahbana memiliki sebutan berbeda: “puisi baru”.
Pada masa 1940-an, Slametmuljana mengamati ada gairah menulis “sja’ir bebas.” Sekian puisi dijadikan contoh. Ia pun mengajukan puisi berjudul “Aku” gubahan Chairil Anwar. Slametmuljana mengutip puisi dari buku bunga rampai berjudul
Gema Tanah Air susunan HB Jassin.
Pada masa lalu, buku berjudul
Bimbingan Seni Sastra mungkin diminati dan berfaedah. Slametmuljana mempertimbangkan kebutuhan murid dan guru. Ia tak terlalu berhitung mutu. Pesan diberikan berselera lawasan: “Seni sastra membutuhkan teknik kesusasteraan karena teknik kesusasteraan dapat menambah nilai sastra, tetapi kebutuhan itu hanja terbatas sampai kepada guna dan keperluannja untuk pembajangan djiwa pentjipta.”Kini, buku itu termasuk “mudah” dibaca tapi “susah” terpahamkan dalam perkembangan (pengajaran) sastra abad XXI.
Peristiwa Bahasa dan SastraKita berlanjut membuka buku berjudul
Peristiwa Bahasa dan Sastra. Buku diterbtikan Ganaco, Bandung, 1956. Buku masih mengarah sebagai bacaan para murid, guru, atau mahasiswa. Kita lekas bingung saat mengikuti tata cara berbahasa dan penjelasan terberikan: “Buku
Peristiwa Bahasa dan Sastra ini berisi sekadar pemandangan tentang poesi jang biasa disebut dengan istilah poetika. Pandangan poetika tidak lepas dari persoalan estetika jang djuga disebut filsafat seni”. Istilah-istilah cukup memusingkan bila harus ditaruh pada masa 1950-an untuk dihadirkan lagi pada masa sekarang.Pada masa 1950-an, buku itu mungkin masuk kelas berat bagi pembaca cuma berbedak sedikit bacaan atau pelajaran di sekolah. Slametmuljana terbukti tangguh dalam mendapatkan sumber kepustakaan untuk dikutip dan diterangkan. Pun pun ampuh mengajak pembaca dalam pendalaman masalah-masalah bahasa dan sastra.Slametmuljana menjelaskan: “Betapapun besarnja sifat jang lekat pada bahasa sebagai projeksi pribadi pemakai, bahasa tidak meninggalkan tugasnja sebagai alat pengantar untuk saling mengerti didalam masjarakat. Disinilah letaknja daja bahasa jang njata. Kepribadian pemakai tidak sengaja dimaksud untuk melepaskan guna bahasa sebagai alat penghubung antara manusia jang satu dengan manusia jang lain. Meskipun alat itu semata-mata dipusatkan untuk mendjelmakan pribadi seniman, alat itu masih tetap djadi pendukung pengertian-pengertian jang dimaklumi orang lain, karena alat itu merupakan sebutan hal jang terdapa diluar pribadi seniman, dan sama-sama diamati oleh orang lain”.Kita menduga buku-buku pengajaran sastra masa 1950-an disusun dengan sumber-sumber bacaan Eropa, terutama berbahasa Belanda dan Inggris. Segala hal mengenai sastra masih terpengaruhi babak-babak sejak masa kolonial. Di luar kesibukan orang menjadi pembaca puisi, cerita pendek, dan novel, buku-buku disusun Slametmuljana agak membantu mengantar murid, guru, dan mahasiswa mau memasuki jagat kesusastraan. Buku-buku itu belum punah, masih bisa terbaca meski perlahan sukar dimengerti gara-gara beda selera kebahasaan: dulu dan sekarang. Begitu. (*)
*) Penggiat Literasi dan Kuncen Bilik Literasi Solo
[caption id="attachment_290531" align="alignleft" width="150"]
Bandung Mawardi*)[/caption]
ACARA sastra paling meriah selama 2022 di Indonesia: 100 tahun Chairil Anwar. Nama itu ”berkuasa” dalam ingatan sastra termiliki publik selama puluhan tahun. Nama tenar, melegenda, dan terakrabi. Nama sering muncul di buku-buku pelajaran untuk diketahui jutaan murid. Nama untuk jawaban dalam soal-soal ujian.
Slametmuljana (21 Maret 1922-2 Juni 1986), nama belum tentu teringat. Nama mungkin tak pernah muncul lagi dalam buku-buku pelajaran atau perkuliahan bahasa dan sastra di Indonesia. Nama jarang dimunculkan dalam diskusi atau esai-esai terpublikasikan di koran dan majalah abad XXI. Slametmuljana, nama diketahui oleh orang-orang masa lalu saja atau orang-orang masih penasaran perbukuan lawas.
Nama masih terbaca saat kita membuka
Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (1990) susunan Pamusuk Eneste. Ia dipastikan turut dalam arus kesusastraan di Indonesia. Nama mendapat tempat dan berperan dalam kemajuan sastra, termasuk di pengajaran sastra. Buku pernah berjasa besar bagi murid atau mahasiswa mencukupkan dengan sinopsis atau ringkasan buku-buku terbit di Indonesia tentu
Sari Pustaka Indonesia (1952).
Slametmuljana juga dicantumkan dalam buku berjudul
Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 susunan Tempo. Kita menemukan keterangan berbeda. Slametmuljana dilahirkan pada 20 Maret 1921. Berbeda setahun dari informasi dalam buku susunan Pamusuk Eneste. Kita ingin menghormati Slametmulajana bisa membuat peringatan 100 tahun atau 101 tahun. Kita belum perlu terlalu dibingungkan kebenaran tahun mendingan menghormati tokoh dengan membaca lagi buku-buku pernah terbaca orang-orang pada masa lalu.
Pada 1953, terbit buku berjudul
Bimbingan Seni Sastra. Buku diterbitkan JB Wolters, cetakan kedua. “Dipersembahkan ke hadapan Prof Dr Prijana,” keterangan di halaman awal. Dulu, Prijana pernah menjadi orang penting di Universitas Indonesia dan Kementerian PP dan K. Buku disusun untuk membantu para murid SMA belajar dan menggandrungi sastra. “Mudah-mudahan buku jang seketjil ini bermanfaat bagi mereka jang ingin memperdalam pengetahuan tentang seni kata,” pengharapan Slametmuljana.
Penjelasan-penjelasan bersifat umum disampaikan Slametmuljana dengan bahasa “mudah” dimengerti. Contoh-contoh teks sastra diambil dari pelbagai buku. Misi pembuatan buku memang memajukan (pengajaran) sastra untuk para murid. Buku mula-mula disusun mengacu peran Slametmuljana sebagai guru.
Kita mengutip masalah “sja’ir baru”. Para pembaca buku lama itu bisa tengok kanan dan kiri saat menemukan penggunaan kata-kata dianggap aneh dibandingkan citarasa bahasa Indonesia abad XXI. Slametmulajana menjelaskan: “Pengertian sja’ir baru ini timbul karena pertemuan bangsa kita dengan bangsa Europa. Banjak pemuda-pemuda Indonesia jang mendapat didikan Barat dibangku sekolah.” Penulisan “sja’ir baru” dilakukan oleh kaum muda sejak masa 1930-an sampai 1940-an. Sutan Takdir Alisjahbana memiliki sebutan berbeda: “puisi baru”.
Pada masa 1940-an, Slametmuljana mengamati ada gairah menulis “sja’ir bebas.” Sekian puisi dijadikan contoh. Ia pun mengajukan puisi berjudul “Aku” gubahan Chairil Anwar. Slametmuljana mengutip puisi dari buku bunga rampai berjudul
Gema Tanah Air susunan HB Jassin.
Pada masa lalu, buku berjudul
Bimbingan Seni Sastra mungkin diminati dan berfaedah. Slametmuljana mempertimbangkan kebutuhan murid dan guru. Ia tak terlalu berhitung mutu. Pesan diberikan berselera lawasan: “Seni sastra membutuhkan teknik kesusasteraan karena teknik kesusasteraan dapat menambah nilai sastra, tetapi kebutuhan itu hanja terbatas sampai kepada guna dan keperluannja untuk pembajangan djiwa pentjipta.”
Kini, buku itu termasuk “mudah” dibaca tapi “susah” terpahamkan dalam perkembangan (pengajaran) sastra abad XXI.
Peristiwa Bahasa dan Sastra
Kita berlanjut membuka buku berjudul
Peristiwa Bahasa dan Sastra. Buku diterbtikan Ganaco, Bandung, 1956. Buku masih mengarah sebagai bacaan para murid, guru, atau mahasiswa. Kita lekas bingung saat mengikuti tata cara berbahasa dan penjelasan terberikan: “Buku
Peristiwa Bahasa dan Sastra ini berisi sekadar pemandangan tentang poesi jang biasa disebut dengan istilah poetika. Pandangan poetika tidak lepas dari persoalan estetika jang djuga disebut filsafat seni”. Istilah-istilah cukup memusingkan bila harus ditaruh pada masa 1950-an untuk dihadirkan lagi pada masa sekarang.
Pada masa 1950-an, buku itu mungkin masuk kelas berat bagi pembaca cuma berbedak sedikit bacaan atau pelajaran di sekolah. Slametmuljana terbukti tangguh dalam mendapatkan sumber kepustakaan untuk dikutip dan diterangkan. Pun pun ampuh mengajak pembaca dalam pendalaman masalah-masalah bahasa dan sastra.
Slametmuljana menjelaskan: “Betapapun besarnja sifat jang lekat pada bahasa sebagai projeksi pribadi pemakai, bahasa tidak meninggalkan tugasnja sebagai alat pengantar untuk saling mengerti didalam masjarakat. Disinilah letaknja daja bahasa jang njata. Kepribadian pemakai tidak sengaja dimaksud untuk melepaskan guna bahasa sebagai alat penghubung antara manusia jang satu dengan manusia jang lain. Meskipun alat itu semata-mata dipusatkan untuk mendjelmakan pribadi seniman, alat itu masih tetap djadi pendukung pengertian-pengertian jang dimaklumi orang lain, karena alat itu merupakan sebutan hal jang terdapa diluar pribadi seniman, dan sama-sama diamati oleh orang lain”.
Kita menduga buku-buku pengajaran sastra masa 1950-an disusun dengan sumber-sumber bacaan Eropa, terutama berbahasa Belanda dan Inggris. Segala hal mengenai sastra masih terpengaruhi babak-babak sejak masa kolonial. Di luar kesibukan orang menjadi pembaca puisi, cerita pendek, dan novel, buku-buku disusun Slametmuljana agak membantu mengantar murid, guru, dan mahasiswa mau memasuki jagat kesusastraan. Buku-buku itu belum punah, masih bisa terbaca meski perlahan sukar dimengerti gara-gara beda selera kebahasaan: dulu dan sekarang. Begitu. (*)
*) Penggiat Literasi dan Kuncen Bilik Literasi Solo