KONTRIBUSI pondok pesantren bagi kemajuan bangsa sudah tidak diragukan lagi. Bahkan, sebelum republik ini merdeka, pesantren sudah ada dan mengakar kuat di tengah masyarakat.
Meskipun dalam perjalanannya sering kali dihadapkan dengan berbagai tantangan, tetapi eksistensi pesantren tetap kokoh dan terus berkontribusi bagi pembangunan bangsa ini. Pendek kata, peran pesantren tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Pondok pesantren memiliki kekhasan dalam hal pengajaran. Misalnya, sedari awal pesantren istikamah membekali para santrinya dengan kitab-kitab kuning (baca: kitab tak berharakat) sebagai salah satu
ikhtiar untuk mencetak calon-calon ulama yang mumpuni di bidang ilmu keislaman.
Pengajaran kitab kuning merupakan tradisi keilmuan pesantren yang sudah berlangsung bertahun-tahun dan hingga saat ini tradisi itu terus berjalan. Pesantren adalah lembaga pendidikan asli Indonesia di mana eksistensi dan tradisi keilmuannya perlu dijaga dan dilestarikan. Untuk itu, menjaga tradisi keilmuan pesantren merupakan sebuah keniscayaan.
Pembelajaran kitab kuning yang merupakan tradisi keilmuan pesantren perlu dijaga agar pesantren tidak kehilangan keunikannya sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia. Biasanya pembelajaran kitab kuning di pesantren diberikan secara berjenjang, mulai level paling dasar hingga level paling tinggi.
Pembelajaran nahwu, misalnya, yang pertama dipelajari adalah kitab Jurumiyah karya Syekh ash-Shanhaji, kitab Imriti karya Syekh Yahya bin Nur al-Din Abi al-Khoir bin Musa al-Imrithi al-Syafi’i al-Anshori al-Azhari, dan kitab Alfiyah karya dari Syekh al-Imam Abu Abdillah bin Malik al-Tha’i al-Andalusi al-Jayyani al-Syafi’i.
Dalam pempelajari sebuah kitab, santri tidak boleh pindah ke level yang lebih tinggi sebelum benar-benar menguasai level paling dasar. Sementara kitab-kitab lain yang juga diajarkan di pesantren mencakup; Sharraf, Balaghah, Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Tafsir, Tauhid, Tasawuf, dan Manthiq.
Selain itu, menjaga tradisi keilmuan pesantren merupakan upaya untuk menjamin ketersambungan (sanad) keilmuan hingga kepada Nabi Muhammad SAW.
Dengan pempelajari suatu kitab kita bisa menelusuri sanad sang penulis kitab tersebut. Penulis itu berguru kepada siapa, dan apakah guru-gurunya bersambung kepada Rasulullah. Inilah tradisi pesantren yang mesti kita lestarikan.
Pesantren dan Kitab KuningMeskipun demikian, di era modern seperti saat ini kita tidak menutup diri dari berbagai perubahan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Itu artinya, pesantren tidak bisa menghindar dari perubahan tersebut. Justru sebaliknya, pesantren mesti mampu beradaptasi dengan kemajuan yang terjadi dewasa ini.Dalam konteks itulah, banyak pesantren yang mengadopsi sistem pendidikan umum dengan membuka jenjang pendidikan yang berlaku secara nasional, seperti SMP/MTs dan SMA/MA.Modernisasi pelajaran di pesantren dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum, tentu saja tidak menjadi persoalan selama pembelajaran kitab kuning yang merupakan khas pondok pesantren tetap berlanjut. Dengan ungkapan lain, jangan sampai pergeseran orientasi pendidikan pesantren ini menjadikan pengajaran kitab kuning melemah atau berkurang.Pembelajaran kitab di pesantren merupakan keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga lain di luar pesantren. Sehingga sangat tepat jika Ach Dhofir Zuhry (2018) mengatakan bahwa pesantren identik dengan kitab kuning. Kitab kuning sebagai kurikulum berbasis
barakah ala pesantren ini ditempatkan pada posisi istimewa.Karena itu, menjadi sangat penting menjaga tradisi keilmuan pesantren agar identitasnya sebagai pendidikan khas Indonesia tidak tenggelam di tengah gempuran teknologi informasi. Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab kuning sudah menjadi tradisi dan kurikulum formal di seluruh pesantren di Indonesia. (*)
*) Alumnus Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Al-Amien Prenduan (2004-2006)
[caption id="attachment_240601" align="alignleft" width="150"]
Hermansyah Kahir *)[/caption]
KONTRIBUSI pondok pesantren bagi kemajuan bangsa sudah tidak diragukan lagi. Bahkan, sebelum republik ini merdeka, pesantren sudah ada dan mengakar kuat di tengah masyarakat.
Meskipun dalam perjalanannya sering kali dihadapkan dengan berbagai tantangan, tetapi eksistensi pesantren tetap kokoh dan terus berkontribusi bagi pembangunan bangsa ini. Pendek kata, peran pesantren tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Pondok pesantren memiliki kekhasan dalam hal pengajaran. Misalnya, sedari awal pesantren istikamah membekali para santrinya dengan kitab-kitab kuning (baca: kitab tak berharakat) sebagai salah satu
ikhtiar untuk mencetak calon-calon ulama yang mumpuni di bidang ilmu keislaman.
Pengajaran kitab kuning merupakan tradisi keilmuan pesantren yang sudah berlangsung bertahun-tahun dan hingga saat ini tradisi itu terus berjalan. Pesantren adalah lembaga pendidikan asli Indonesia di mana eksistensi dan tradisi keilmuannya perlu dijaga dan dilestarikan. Untuk itu, menjaga tradisi keilmuan pesantren merupakan sebuah keniscayaan.
Pembelajaran kitab kuning yang merupakan tradisi keilmuan pesantren perlu dijaga agar pesantren tidak kehilangan keunikannya sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia. Biasanya pembelajaran kitab kuning di pesantren diberikan secara berjenjang, mulai level paling dasar hingga level paling tinggi.
Pembelajaran nahwu, misalnya, yang pertama dipelajari adalah kitab Jurumiyah karya Syekh ash-Shanhaji, kitab Imriti karya Syekh Yahya bin Nur al-Din Abi al-Khoir bin Musa al-Imrithi al-Syafi’i al-Anshori al-Azhari, dan kitab Alfiyah karya dari Syekh al-Imam Abu Abdillah bin Malik al-Tha’i al-Andalusi al-Jayyani al-Syafi’i.
Dalam pempelajari sebuah kitab, santri tidak boleh pindah ke level yang lebih tinggi sebelum benar-benar menguasai level paling dasar. Sementara kitab-kitab lain yang juga diajarkan di pesantren mencakup; Sharraf, Balaghah, Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Tafsir, Tauhid, Tasawuf, dan Manthiq.
Selain itu, menjaga tradisi keilmuan pesantren merupakan upaya untuk menjamin ketersambungan (sanad) keilmuan hingga kepada Nabi Muhammad SAW.
Dengan pempelajari suatu kitab kita bisa menelusuri sanad sang penulis kitab tersebut. Penulis itu berguru kepada siapa, dan apakah guru-gurunya bersambung kepada Rasulullah. Inilah tradisi pesantren yang mesti kita lestarikan.
Pesantren dan Kitab Kuning
Meskipun demikian, di era modern seperti saat ini kita tidak menutup diri dari berbagai perubahan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Itu artinya, pesantren tidak bisa menghindar dari perubahan tersebut. Justru sebaliknya, pesantren mesti mampu beradaptasi dengan kemajuan yang terjadi dewasa ini.
Dalam konteks itulah, banyak pesantren yang mengadopsi sistem pendidikan umum dengan membuka jenjang pendidikan yang berlaku secara nasional, seperti SMP/MTs dan SMA/MA.
Modernisasi pelajaran di pesantren dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum, tentu saja tidak menjadi persoalan selama pembelajaran kitab kuning yang merupakan khas pondok pesantren tetap berlanjut. Dengan ungkapan lain, jangan sampai pergeseran orientasi pendidikan pesantren ini menjadikan pengajaran kitab kuning melemah atau berkurang.
Pembelajaran kitab di pesantren merupakan keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga lain di luar pesantren. Sehingga sangat tepat jika Ach Dhofir Zuhry (2018) mengatakan bahwa pesantren identik dengan kitab kuning. Kitab kuning sebagai kurikulum berbasis
barakah ala pesantren ini ditempatkan pada posisi istimewa.
Karena itu, menjadi sangat penting menjaga tradisi keilmuan pesantren agar identitasnya sebagai pendidikan khas Indonesia tidak tenggelam di tengah gempuran teknologi informasi. Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab kuning sudah menjadi tradisi dan kurikulum formal di seluruh pesantren di Indonesia. (*)
*) Alumnus Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Al-Amien Prenduan (2004-2006)