DI KOTA-KOTA, kita masih melihat gedung atau bangunan dinamakan perpustakaan. Sekian papan terbaca: kantor arsip dan perpustakaan. Kita melihat berkurang kagum, jarang memiliki penasaran.
Berita dan cerita mengenai perpustakaan diurusi pemerintah jarang mengejutkan atau pantas mendapat tepuk tangan. Kita justru prihatin dengan anggaran dan permintaan aneh-aneh dari pihak pengelola berdalih melengkapi fasilitas.
Semula, pemahaman kita mengenai gedung bernama perpustakaan itu berisi buku-buku. Pada masa berbeda, sekian fasilitas diadakan di perpustakaan. Kita tak usah kaget fasilitas-fasilitas itu dipentingkan ketimbang buku. Pembuktian terjadi dari perbandingan anggaran.
Kita masih mungkin menemukan toko buku di pelbagai kota. Jumlah tentu berkurang. Sekian toko buku memilih tutup, tak sanggup lagi turut dalam bisnis buku. Di Solo, ada toko buku pamit.
Duka sudah terlalu sering terungkap berkaitan nasib toko buku di seantero Indonesia. Kita maklum toko buku susah selamat dan langgeng. Konon, tata cara perdagangan buku sudah terlalu berubah. Toko buku hampir nostalgia kaum lawasan.
Perpustakaan dan toko buku pernah menjadi tanda ada kaum buku di Indonesia. Mereka itu membaca buku. Mereka berpikir dan bercakap mengacu buku-buku.
Imbuhan pantas terpikirkan: pasar buku bekas. Di pelbagai kota, ada tempat-tempat untuk perdagangan buku dan majalah bekas. Para penjual menata dagangan di atas trotoar, meja, atau kios-kios sederhana.
Nasib para pedagang dan buku-buku bekas susah terjamin selamat dan makmur saat dihajar wabah. Situasi hidup demi memberi ragu: bergerak atau berhenti. Sekian pedagang beralih cara dengan berjualan melalui media sosial. Perdagangan tetap tak seramai masa lalu.
Di Indonesia, kita cuma memiliki sedikit sejarah mengenai perpustakaan, toko buku, dan pasar buku bekas. Di Bandung, ada ikhtiar-ikhtiar mengisahkan perdagangan buku di pelbagai tempat. Di Semarang, ada penulisan nostalgia perdagangan buku bekas di Pasar Johar. Kita memastikan ada orang atau komunitas melakukan pencatatan atau pendokumentasian. Semua gara-gara buku.
Di hadapan buku berjudul
Para Penjaga Ilmu: Dari Alexandria Sampai Internet (2010) susunan Ian F Mcneely dan Lisa Wolverton, kita dibikin “malu” dan “cemburu”. Buku tak terlalu tebal, mengandung cerita-cerita menakjubkan mengenai buku dan perubahan-perubahan zaman.
Kita menuju masa lalu di Alexandria. Di sana, ada pendahuluan gagasan dan kerja untuk umat manusia ketagihan buku.
Kita mengutip: “Buku-buku kuno telah beredar di pasaran jauh sebelum berdirinya perpustakaan Hellenistic. Namun, pengumpulan buku-buku ini dilakukan secara pribadi, tidak secara terbuka. Buku-buku atau lebih tepatnya gulungan papirus, dibuat oleh para penyalin terlatih untuk memenuhi pesanan toko-toko buku atau oleh para budak untuk majikannya.” Sekian abad silam, orang-orang gandrung pengetahuan, memerlukan percakapan dan hal-hal dituliskan. Bisnis pun terjadi berselera buku.
Di negeri-negeri jauh, peradaban dibentuk dengan buku atau perpustakaan. Penghancuran pun terjadi akibat perang atau kepongahan. Ilmu-ilmu bertumbuh. Jumlah buku bertambah. Peradaban tak selalu manis dan mulus. Sejarah mencatat nestapa dan kehancuran sekian perpustakaan. Buku-buku sirna dan rusak.
Perang-perang sering menamatkan perpustakaan. Alam pun kadang turut dalam kemeranaan perpustakaan. Kebakaran atau penelantaran terjadi. Perpustakaan bukan tempat tersakral bagi ilmu pengetahuan, iman, dan kekuasaan.Kalimat-kalimat agak menjengkelkan: “Koleksi perpustakaan mengalami penyusutan bukan karena terbakar api, dan lenyap akibat sikap abai bukan karena penghancuran yang disengaja.” Kita mengangguk pelan dan mengerti ada “penghancuran” dan “pengabaikan” perpustakaan pada abad XX, bukan di negara jauh tapi di Indonesia. Kita sering saja dibuat prihatin dan sebal.Kita berlanjut memikirkan buku. Benda tak cuma menghuni gedung perpustakaan. Buku-buku ada di rumah, kantor, kafe, tempat ibadah, dan lain-lain. Buku-buku itu tampak mata. Buku sebagai benda cetak. Buku terpegang atau terpangku dengan tangan membuka halaman-halaman. Buku di rak, lemari, meja, atau lantai. Kita tak lagi mengharuskan benda-benda itu sakral atau keramat menuruti kemauan para leluhur. Buku-buku itu pemandangan dan bacaan.Pikiran kita tentang buku “dipaksa” berubah cepat. Bantahan-bantahan kadang percuma. Buku tetap ada, belum punah. Kita masih bisa memeluk buku. kita tiduran membaca buku belum dianggap peristiwa kolot. Buku-buku berserakan di kamar tetap dimaklumi.Buku-buku dihancurkan para binatang itu petaka berulang terjadi. Pada abad XXI, buku-buku sebagai benda cetak masih berlaku. Kita belum terlalu sulit membeli, meminjam, menemukan, atau mencuri buku. Ingat, buku jenis itu dijanjikan belum tamat.Kini, orang-orang mengaku turut dalam jemaah buku tanpa kerepotan dan pemborosan. Wujud buku berubah. Mereka berpedoman “ini” dan “itu” dalam “mengimani” buku tersimpan dalam gawai. Pemandangan buku berubah. Tata cara dan tata krama menghadapi buku pun berubah. Gagasan raga, waktu, dan tempat turut terpengaruhi.Buku-buku di perpustakaan dan toko buku sedang berhitung nasib saat penerbitan dan peredaran buku-buku menghuni gawai terus bertambah. Kita dimudahkan dengan mengurangi peristiwa mengunjungi dan mendekam di gedung perpustakaan. Kita tanpa kewajiban ke toko buku dalam pemerolehan buku. Buku tak lagi benda cetak.Kita mendingan membuka buku berjudul
The Shallows (2011) garapan Nicholas Carr. Kita menengok sejarah dan ramalan untuk buku. Buku-buku pernah dipuja di Eropa. Buku-buku tak selalu memajukan ilmu atau meninggikan martabat negara. Buku justru memicu kehebohan politik, pendidikan, moral, agama, dan lain-lain.Pada abad XVII, gegeran dan debat buku terjadi di Eropa. Nicholas Carr menghadirkan kutipan sinis dari masa lalu, ungkapan ditulis Lope de Vega:
Begitu banyak buku, begitu banyak kebingungan!/ Lautan buku di kanan kiri kita/ Dan sebagian besarnya hanya berisi omong kosong. Penerbitan buku-buku menghibur melanda Eropa. Buku-buku serius demi iman dan pengetahuan ditandingi buku-buku murah(an) bermisi hiburan.Nicholas Carr menjelaskan: “Namun, omong kosong itu pun penting. Selain menjadi pelumas transformasi intelektual yang dibentuk oleh buku cetak, omong kosong juga memperbesar transformasi tersebut. Dengan mempercepat penyebaran buku ke dalam budaya populer dan membuatnya menjadi pilihan utama mengisi waktu senggang…” Buku-buku pernah bermasalah. Pesta omong-kosong tak selalu buruk.Kini, kita “mengulang” dengan hidup di “zaman omong kosong”. Kita mengartikan orang-orang beromong-kosong tanpa buku-buku. Pengakuan bahwa buku-buku masih ada itu terbukti. Orang-orang tak mau dilelahkan oleh buku-buku. Mereka memilih menikmati pesta omong kosong sambil mengaku tetap mengoleksi buku cetak atau menaruh buku-buku dalam gawai. Begitu. (*)
*) Kuncen di Bilik Literasi Solo