SEKIAN bulan lalu, orang-orang ribut dan marah gara-gara bahasa. Mereka mengaku membela bahasa Indonesia. Ribuan komentar dipamerkan di media sosial dan berita-berita dimuat di koran-koran. Orang-orang ingin bahasa Indonesia sakti dan terhormat. Pemicu gegeran omongan dari tokoh di negara tetangga.
Para pejabat dan ahli bahasa mulai mengeluarkan kalimat-kalimat bijak. Mereka menerangkan sejarah. Mereka tak lupa memberi nasihat agar jutaan orang memuliakan bahasa Indonesia sepanjang masa. Laporan-laporan kemonceran bahasa Indonesia di dunia disampaikan. Bahasa Indonesia seolah dalam situasi darurat. Hari-hari itu berlalu, berganti masalah-masalah berbeda.
Sekian hari lalu, gegeran lagi. Pemicu bahasa Jawa diucapkan tokoh terpenting di Indonesia. Joko Widodo tak sedang omong masalah kemuliaan dan keampuhan bahasa Indonesia. Di Magelang, Joko Widodo omong kekuasaan, mencampur bahasa Indonesia dan Jawa. Omongan menimbulkan pujian dan polemik:
aja kesusu sik. Bahasa Jawa masuk dalam keributan politik, diucapkan untuk menenangkan dan mengajak orang-orang bersabar menuju 2024.
Kita mengerti ada masalah pelik antara bahasa (Indonesia dan Jawa) dan politik. Kita gampang marah, sewot, sedih, kecewa, dan heroik demi bahasa. Hari-hari itu (mungkin) terkenang tapi biasa mudah terlupa. Kita berurusan bahasa-bahasa, tak ada janji terus memikirkan berdalih pelestarian dan pemajuan.
JS BaduduKita mendingan mengingat tokoh tak terlalu berurusan politik tapi memiliki tempat terhormat dalam kebijakan-kebijakan bahasa pada masa Orde Baru. Kita jeda dari dua tokoh penting di negara tetangga dan Indonesia telah memicu polemik kebahasaan. Kini, kita mengajukan nama berpengaruh, sejak puluhan tahun lalu: JS Badudu.
Orang-orang mengingat JS Badudu dengan tulisan-tulisan di majalah
Intisari dan acara “pembinaan” di TVRI. Ia pun dihormati murid, guru, mahasiswa, dan dosen selaku pembaca buku-buku mengenai bahasa Indonesia. Puluhan buku garapan JS Badudu laris, memajukan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Persembahan tak boleh terlupa: kamus. Pada suatu hari nanti, JS Badudu mungkin bakal digunakan sebagai nama jalan, gedung, sekolah, atau perguruan tinggi. Ia memang terhormat dan penting bagi Indonesia.
Di majalah
Tempo, 15 September 2013, JS Badudu dijuluki “gurunya guru bahasa Indonesia”. Kita tak perlu membantah, mengangguk saja. “Badudu sekali waktu pernah mengatakan pengajaran bahasa Indonesia dan sastra di sekolah-sekolah kita gagal lantaran tidak membuat para siswanya menjadi orang yang mahir berbahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan,” tulis di
Tempo. Kita mufakat saja, menilik masa lalu dan masa sekarang. Perkataan belum kedaluwarsa.
Buku laris JS Badudu paling teringat:
Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Para pembaca diajar dan dibimbing agar mengetahui bahasa Indonesia, menggunakan dengan benar. Pada masa Orde Baru, ada pasangan wajib: baik. Kita mengingat bahasa Indonesia itu “baik dan benar”. Ingatan menuju masa 1970-an saat dimunculkan kebijakan-kebijakan besar mengenai tata bahasa dan ejaan.
JS Badudu (1983) menerangkan: “Mudah-mudahan buku kecil ini akan memberikan manfaat bagi para pemakainya yang ingin memperdalam pengetahuannya serta mempertinggi keterampilannya menggunakan bahasa Indonesia ragam resmi, bahasa nasional kita.” Pada masa 1980-an, buku itu terbit tiga jilid. Laris! Ia berjasa untuk Indonesia. Para pembaca di seantero Indonesia menjadikan buku itu “pedoman”.Kita membaca anjuran JS Badudu (1989): “Menggunakan bahasa dengan baik dan benar memerlukan pembiasaan, tidak lahir begitu saja. Memerlukan perhatian terus-menerus, keberhati-hatian dalam bertutur, yang didasari oleh sikap positif terhadap bahasa itu.” Nasihat masih berlaku tapi susah menemukan bukti-bukti berlatar abad XXI. JS Badudu mungkin sedih mengetahui nasib bahasa Indonesia masa sekarang. Lupakanlah masalah baik dan benar!
Bahasa Bukan Sekadar PesonaBahasa Indonesia digunakan ratusan juta orang. Jumlah pantas dikagumi dibandingkan jumlah pengguna bahasa-bahasa lain. Bahasa tak cuma jumlah. Bahasa bukan sekadar pesona. Di Indonesia, bahasa Indonesia dalam pidato atau tulisan atas nama para pejabat tetap sulit memikat. Omongan-omongan di depan wartawan atau publik jarang mengesankan. Bahasa Indonesia dalam lagu menimbulkan ragu. Bahasa Indonesia dalam berita-berita di televisi sering “mendebarkan”.Kita mungkin lupa pelajaran dan nasihat dari JS Badudu. Kita lama tak membaca buku-buku warisan JS Badudu atau membuka majalah
Intisari edisi lama. Nama masih teringat tapi pelbagai pelajaran dan nasihat mudah hilang berbarengan kesibukan menikmati hidup di zaman (terlalu) digital. Kita masih berbahasa Indonesia tanpa keharusan “baik dan benar” sesuai selera rezim Orde Baru.Pada masa lalu, JS Badudu sering menjadi referensi dalam menghadapi masalah-masalah kebahasaan. Pada abad XXI, kita memiliki tokoh-tokoh berbeda: Ivan Lanin, Eko Endarmoko, Uksu Suhardi, dan lain-lain. Keinginan belajar bahasa Indonesia tak lagi melalui buku atau majalah saja. Di media sosial, bahasa Indonesia dipelajari bersama dalam suasana dan selera berbeda. JS Badudu mungkin tak ada di situ.Pada 1991, JS Badudu purnabakti. Peristiwa itu dihormati para sahabat dan murid dengan membuat buku berjudul
Dokumentasi dan Mozaik Kebahasaan Indonesia-Nusantara. Dalih pembuatan buku: “Satu kenangan ilmiah kami susun dalam rangka purnabakti sebagai kenangan baik bagi beliau maupun kami yang terlibat kebahasaan dalam segala gerak kehidupan ini. Sebagai manusia biasa kita tak luput dari bahasa, dan sebagai guru bahasa tentu kita terlibat akan kebahasaan sebagai ilmu dan sebagai alat komunikasi ilmiah.”Buku dari masa lalu. Kita mengaku rindu JS Badudu dan ingin bahasa Indonesia maju boleh membuat buku tak harus ilmiah. Konon, sebutan ilmiah menjadikan orang-orang takut dan ragu memikirkan bahasa Indonesia. Begitu. (*)
*) Kuncen di Bilik Literasi (Solo)
[caption id="attachment_290531" align="alignleft" width="150"]
Bandung Mawardi*)[/caption]
SEKIAN bulan lalu, orang-orang ribut dan marah gara-gara bahasa. Mereka mengaku membela bahasa Indonesia. Ribuan komentar dipamerkan di media sosial dan berita-berita dimuat di koran-koran. Orang-orang ingin bahasa Indonesia sakti dan terhormat. Pemicu gegeran omongan dari tokoh di negara tetangga.
Para pejabat dan ahli bahasa mulai mengeluarkan kalimat-kalimat bijak. Mereka menerangkan sejarah. Mereka tak lupa memberi nasihat agar jutaan orang memuliakan bahasa Indonesia sepanjang masa. Laporan-laporan kemonceran bahasa Indonesia di dunia disampaikan. Bahasa Indonesia seolah dalam situasi darurat. Hari-hari itu berlalu, berganti masalah-masalah berbeda.
Sekian hari lalu, gegeran lagi. Pemicu bahasa Jawa diucapkan tokoh terpenting di Indonesia. Joko Widodo tak sedang omong masalah kemuliaan dan keampuhan bahasa Indonesia. Di Magelang, Joko Widodo omong kekuasaan, mencampur bahasa Indonesia dan Jawa. Omongan menimbulkan pujian dan polemik:
aja kesusu sik. Bahasa Jawa masuk dalam keributan politik, diucapkan untuk menenangkan dan mengajak orang-orang bersabar menuju 2024.
Kita mengerti ada masalah pelik antara bahasa (Indonesia dan Jawa) dan politik. Kita gampang marah, sewot, sedih, kecewa, dan heroik demi bahasa. Hari-hari itu (mungkin) terkenang tapi biasa mudah terlupa. Kita berurusan bahasa-bahasa, tak ada janji terus memikirkan berdalih pelestarian dan pemajuan.
JS Badudu
Kita mendingan mengingat tokoh tak terlalu berurusan politik tapi memiliki tempat terhormat dalam kebijakan-kebijakan bahasa pada masa Orde Baru. Kita jeda dari dua tokoh penting di negara tetangga dan Indonesia telah memicu polemik kebahasaan. Kini, kita mengajukan nama berpengaruh, sejak puluhan tahun lalu: JS Badudu.
Orang-orang mengingat JS Badudu dengan tulisan-tulisan di majalah
Intisari dan acara “pembinaan” di TVRI. Ia pun dihormati murid, guru, mahasiswa, dan dosen selaku pembaca buku-buku mengenai bahasa Indonesia. Puluhan buku garapan JS Badudu laris, memajukan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Persembahan tak boleh terlupa: kamus. Pada suatu hari nanti, JS Badudu mungkin bakal digunakan sebagai nama jalan, gedung, sekolah, atau perguruan tinggi. Ia memang terhormat dan penting bagi Indonesia.
Di majalah
Tempo, 15 September 2013, JS Badudu dijuluki “gurunya guru bahasa Indonesia”. Kita tak perlu membantah, mengangguk saja. “Badudu sekali waktu pernah mengatakan pengajaran bahasa Indonesia dan sastra di sekolah-sekolah kita gagal lantaran tidak membuat para siswanya menjadi orang yang mahir berbahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan,” tulis di
Tempo. Kita mufakat saja, menilik masa lalu dan masa sekarang. Perkataan belum kedaluwarsa.
Buku laris JS Badudu paling teringat:
Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Para pembaca diajar dan dibimbing agar mengetahui bahasa Indonesia, menggunakan dengan benar. Pada masa Orde Baru, ada pasangan wajib: baik. Kita mengingat bahasa Indonesia itu “baik dan benar”. Ingatan menuju masa 1970-an saat dimunculkan kebijakan-kebijakan besar mengenai tata bahasa dan ejaan.
JS Badudu (1983) menerangkan: “Mudah-mudahan buku kecil ini akan memberikan manfaat bagi para pemakainya yang ingin memperdalam pengetahuannya serta mempertinggi keterampilannya menggunakan bahasa Indonesia ragam resmi, bahasa nasional kita.” Pada masa 1980-an, buku itu terbit tiga jilid. Laris! Ia berjasa untuk Indonesia. Para pembaca di seantero Indonesia menjadikan buku itu “pedoman”.
Kita membaca anjuran JS Badudu (1989): “Menggunakan bahasa dengan baik dan benar memerlukan pembiasaan, tidak lahir begitu saja. Memerlukan perhatian terus-menerus, keberhati-hatian dalam bertutur, yang didasari oleh sikap positif terhadap bahasa itu.” Nasihat masih berlaku tapi susah menemukan bukti-bukti berlatar abad XXI. JS Badudu mungkin sedih mengetahui nasib bahasa Indonesia masa sekarang. Lupakanlah masalah baik dan benar!
Bahasa Bukan Sekadar Pesona
Bahasa Indonesia digunakan ratusan juta orang. Jumlah pantas dikagumi dibandingkan jumlah pengguna bahasa-bahasa lain. Bahasa tak cuma jumlah. Bahasa bukan sekadar pesona. Di Indonesia, bahasa Indonesia dalam pidato atau tulisan atas nama para pejabat tetap sulit memikat. Omongan-omongan di depan wartawan atau publik jarang mengesankan. Bahasa Indonesia dalam lagu menimbulkan ragu. Bahasa Indonesia dalam berita-berita di televisi sering “mendebarkan”.
Kita mungkin lupa pelajaran dan nasihat dari JS Badudu. Kita lama tak membaca buku-buku warisan JS Badudu atau membuka majalah
Intisari edisi lama. Nama masih teringat tapi pelbagai pelajaran dan nasihat mudah hilang berbarengan kesibukan menikmati hidup di zaman (terlalu) digital. Kita masih berbahasa Indonesia tanpa keharusan “baik dan benar” sesuai selera rezim Orde Baru.
Pada masa lalu, JS Badudu sering menjadi referensi dalam menghadapi masalah-masalah kebahasaan. Pada abad XXI, kita memiliki tokoh-tokoh berbeda: Ivan Lanin, Eko Endarmoko, Uksu Suhardi, dan lain-lain. Keinginan belajar bahasa Indonesia tak lagi melalui buku atau majalah saja. Di media sosial, bahasa Indonesia dipelajari bersama dalam suasana dan selera berbeda. JS Badudu mungkin tak ada di situ.
Pada 1991, JS Badudu purnabakti. Peristiwa itu dihormati para sahabat dan murid dengan membuat buku berjudul
Dokumentasi dan Mozaik Kebahasaan Indonesia-Nusantara. Dalih pembuatan buku: “Satu kenangan ilmiah kami susun dalam rangka purnabakti sebagai kenangan baik bagi beliau maupun kami yang terlibat kebahasaan dalam segala gerak kehidupan ini. Sebagai manusia biasa kita tak luput dari bahasa, dan sebagai guru bahasa tentu kita terlibat akan kebahasaan sebagai ilmu dan sebagai alat komunikasi ilmiah.”
Buku dari masa lalu. Kita mengaku rindu JS Badudu dan ingin bahasa Indonesia maju boleh membuat buku tak harus ilmiah. Konon, sebutan ilmiah menjadikan orang-orang takut dan ragu memikirkan bahasa Indonesia. Begitu. (*)
*) Kuncen di Bilik Literasi (Solo)