Selasa, 14 Januari 2025

Sejarah Idulfitri dan Koreksi Diri

Murianews
Minggu, 24 April 2022 09:09:46
Sejarah Idulfitri dan Koreksi Diri
Penjual janur yang berada di area depan Pasar Jepang, Kecamatan Mejobo, Kudus. (MURIANEWS/Yuda Auliya Rahman)

HARI RAYA Idulfitri tak lama lagi kita rayakan. Sering kita mendengar bahwa tradisi Idulfitri hanya di Nusantara, benarkah?

Sejarah Idul Fitri, pada masa Arab Jahiliyah (pra-Nabi SAW) dikenal dua hari raya, Nairuz dan Mahrajan yang bersumber pada tradisi Persia Kuno. Dilangsungkan pesta dengan tarian, nyanyian, dan hidangan makan lezat.

Pada era Nabi Muhammad SAW, diubah, perayaan Idulfitri kali pertama dirayakan pasca-Perang Badar (tahun kedua hijriyah/ 624 M) untuk mengurangi dampak psikis Perang Badar. Kegembiraan mengakhiri Ramadan dimeriahkan dengan takbir mursal/kolosal, membunyikan alat perkusi sebagai lambang kebahagiaan karena mampu melaksanakan ibadah di bulan Ramadan.

Pada 1 Syawal, Nabi SAW melaksanakan salat Id di lapangan, dilanjutkan mengunjungi rumah sahabat dan sebaliknya untuk saling bermaafan. Pada masa Dinasti Umayyah (661-750 M) 1 Syawal dirayakan dengan merapikan taman kota dan masjid di Damaskus (Suriah).

Era Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) jalan-jalan di Baghdad (Irak) diramaikan dengan atraksi musik panggung dengan membaca syair dan puisi. Istana juga menggelar open house selama tiga hari dengan disediakan makan prasmanan.

Semasa Dinasti Mamluk (1250-1517 M) di Mesir terdapat acara pembagian hadiah berupa pakaian dan uang pada si miskin. Era Dinasti Mughal (1525-1858 M) di India dirayakan dengan arak-arakan pengawal kerajaan dengan masyarakat.

Masa kekuasaan Dinasti Ottoman (Turki Utsmani) (1700-1922 M) diadakan open house antara pejabat dengan rakyat dan bazar sembako di halaman masjid, diutamakan bagi si miskin pembelinya (Jadi area masjid tak hanya utk tempat ibadah saja).

Tanda khas mengakhiri Ramadan, tembakan meriam ke angkasa dari Istana Raja yang disebut Seker Bayrami, terompet ditiup bersama-sama, lampu menara di pinggir jalan dinyalakan dengan terang.

Menjelang berangkat salat Idulfitri mengonsumi makanan lezat dan setelah salat Id berziarah kubur. Dilanjutkan pertunjukan marching band militer, pertunjukan teater siluet hacivat dan karagoz.

Dengan demikian, tradisi Syawal sudah berlangsung sejak masa itu hingga kini. Hanya saja, tradisi tersebut perlu dievaluasi yakni tidak perlu lagi mentradisikan membunyikan mercon karena pelanggaran hukum dan pemborosan.

Syiar Tak Pamer

Selain itu, membaca takbir di tempat ibadah dengan pengeras suara ke luar tempat ibadah dengan santun, tidak melebihi kewajaran, misalnya melebihi jam 22.00 karena mengganggu kenyamanan sesama.

Kesuksesan hamba berpuasa Ramadan tercermin dalam sikap dalam hidupnya. Pertama, ikhlas dalam beribadah. Ukuran ikhlas bila ibadah tidak dipamerkan pada sesama, hanya mengharap ridla Allah.
Hanya saja, agar pamer tak nampak, ditutupi dengan dalih syiar Islam. Hal ini dikritik Alquran, Robbukum a’lamu bima fi nufusikum, (al-Isra: 25). yang artinya kurang lebih Tuhanmu yang mengetahui apa yang ada dalam hati nuranimu, apakah ikhlas atau pamer.Hati nurani tak bisa bohong karena tanpa unsur nafsu. Penggunaan pengeras suara di tempat ibadah diatur oleh pemerintah via Kemenag bahwa pengeras suara ke luar masjid hanya azan dan murotal menjelang salat lima waktu saja.Bagi yg beribadah mengharap pahala maka keislamannya masih belum dewasa. Selama ini, ibadah Ramadan ditampilkan ragam pahala, tetapi sumber hadis yang dijadikan rujukan tidak selalu sahih/valid, seperti pahala salat tarawih malam ke-29 sama dengan 1.000 kali pahala haji mabrur, merujuk hadis dalam Kitab Durrotun Nasihin (mutiara nasehat) karya Syeh Usman bin Hasan bin Syakir al-Khubawi, wafat tahun 1824 M. Kitab ini ditulis abad ke-13, hinga kini usia kitab 1.400-an tahun.Perlu kita pahami, musonif/pengangggit kitab bertujuan memotivasi/mendorong agar giat beribadah pada kondisi masa itu serba terbatas. Logiskah hanya salat tarawih, malam ke-29 dengan pahala yang megah?Perlu diketahui, biaya haji per orang kini Rp 40-an juta, mendaftar haji tahun ini, diberangkatkan 20-25 tahun ke depan karena banyaknya peminat haji dan terbatasnya kuota pemberangkatan haji.Kini, era millenial, perlu menelaah hasil kajian ilmu hadis bidang takhrijul hadis oleh Dr. K.H Ahmad Lutfi Fathullah, M.A bahwa hadis dalam Kitab Durrotun Nasihin ada 251 hadis palsu (30 %), hadis dloif (lemah) 180 hadis (21 %), amat lemah 48 hadis (5,7 %), belum dipastikan kesahihannya 56 hadis (6,7 %).  Jadi, beribadahlah karena ikhlas, hanya mengharap ridlo Allah, bukan karena pahala.FidyahRagam pendapat ulama fikih menyikapi perihal orang yang telah mati, tatkala hidup sejak masa balig, meninggalkan salat atau puasa Ramadan. Ada yang berpendapat, tak perlu diganti fidyah berupa makanan pokok (beras), ada yang berpendapat perlu membayar fidyah bila si mayit berwasiat dan memiliki harta warisan.Ada pula yang berpendapat, perlu membayar fidyah meski tak berwasiat. Perbedaan pendapat ini untuk saling menghormati. Fidyah menurut Imam Syafi’i, diberikan dengan memberi 0,6 kg atau ¾ liter beras tiap meninggalkan salat wajib atau puasa Ramadan. Bila merujuk mazhab Hanafi, 1,9 kg beras.Hanya saja, yang berhak menerima fidyah (beras) hanyalah fakir-miskin, diutamakan saudaranya atau tetangga dekatnya yang fakir-miskin, bukan yang kaya meski tokoh agama. Bila si kaya menerima beras fidyah maka ingatlah pesan Alquran surat al-Ma’un. “Taukah kamu siapakah yang mendustakan Islam? Mereka yang tidak peduli pada si miskin”.Ingat, beras fidyah yang Anda terima, wahai si kaya, tak menjadikanmu makin kaya tapi mengotori hartamu yang berlimpah. Nuwun. (*) *) Dosen IAIN Kudus

Baca Juga

Komentar

Terpopuler