SAYA sangat tergelitik saat setahun yang lalu membaca sebuah artikel di sebuah media. Dalam artikel tersebut, dinyatakan bahwa sistem pendidikan kita kurang maju disebabkan pandangan keagamaan yang lebih mementingkan kehidupan akhirat daripada dunia.
Penulisnya mengkritisi fenomena pemahaman keagamaan yang seperti itu sebagai menjadi penyebab turunnya minat dan semangat siswa untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan ketrampilan hidup (baca: life skills).
Para agamawan dianggap kurang responsif terhadap mutu pendidikan kita terutama di bidang sains dan teknologi hanya karena posisi ranking PISA (Programme for International Students Asassment) negeri kita sering di posisi bawah, yakni urutan 62 dari 70 negara. PISA adalah asesmen yang menilai tingkat literasi siswa dalam membaca, matematika, dan sains.
Dengan hasil yang masih rendah itu, kita sudah dianggap seolah-olah kalah bersaing dengan negara-negara lain dalam semua bidang. Saya kira penarikan simpulan seperti itu terlalu terburu-buru dan agak gegabah.
Memang membicarakan mutu pendidikan bukanlah suatu yang gampang. Hal itu dikarenakan banyak faktor dan variabel yang mempengaruhinya. Sebagai contoh, sebetulnya yang kita butuhkan sumber daya manusia seperti apa?, model pendidikan yang bagaimana?.
Jika, kita cermati misi pembangunan pemerintah Jokowi periode kedua saat ini, yaitu mengutamakan pembangunan SDM Indonesia, maka kita segera dapat menangkap arah pendidikan negeri ini lima tahun ke depan, yakni pembangunan manusia Indonesia unggul. Lalu keunggulan seperti apa yang kita inginkan. Keunggulan dalam pengusaan sains dan teknologi (baca: ketrampilan) tanpa karakter, atau pendidikan ketrampilan plus karakter?.
Karakter dan Skill
Pada Abad ke-21 ini. Ada beberapa jenis keterampilan yang harus dikuasai lulusan sekolah kita jika mereka ingin dapat berkompetisi dengan SDM asing, yaitu yang disingkat dengan 4 K; Komunikasi, Kolaborasi, Berpikir Kritis dan Pemecah Masalah, serta Kreativitas dan inovasi. 4 kompetensi itulah yang dikenal dengan soft skill. Di samping itu hard skill (pengetahuan dan ketrampilan) juga tak kalah pentingya, karena itu sebagai tolak ukur profesionalisme seseorang dalam bidang keahliannya.
Gabungan keduanya akan membawa SDM kita unggul terlebih lagi jika diperkuat dengan karakter yang mulia, kerja keras, disiplin, tanggung jawab, berperilaku jujur, antikorupsi. Dan tentunya itu semua didasarkan pada keimanan yang kuat dan kokoh.
Artinya tatkala karakter dan skill dijadikan patokan perumusan muatan pendidikan, tentunya dapat dihasilkan generasi dengan profil terampil sekaligus berkarakter mulia. Sosok generasi seperti itulah yang dapat diharapkan membawa bangsa kita menjadi bangsa yang maju dan berperadaban tinggi.
Oleh karena itu, pendidikan kita seharusnya diarahkan untuk tidak mendikotomikan antara pendidikan ketrampilan hidup (life skill) dengan pendidikan karakter (character building). Keduanya sangat dibutuhkan untuk menghasilkan manusia Indonesia unggul.
Hanya saja, persepsi guru tentang hal itu masih beraneka ragam sehingga berdampak pada implementasi di lapangan yang berbeda-beda pula. Hal itu, tentu saja dapat membingungkan siswa dan orang tua. Ada yang menganggap pendidikan karakter dilakukan dengan agamisasi kurikulum.