PERGERAKAN Islam di Nusantara diperankan oleh ormas Islam antaralain Muhammadiyah. Dalam ormas ini, ada sosok yang (mungkin) belum dikenal generasi Z yakni Oey Tjeng Hien yang menjadi mualaf (masuk Islam) tahun 1928 M dan berganti nama menjadi Abdul Karim Oey.
Oey sukses sebagai saudagar dan menetap di Bintuhan, Bengkulu. Ia berjuang membesarkan Muhammadiyah bersama Mas Mansur dan Buya Hamka. Bagi Abdul Karim, orang yang benar-benar muslim harus mencintai Tanah Air.
Jauh sebelumnya, terjadi tragedi berdarah diderita etnis Tionghoa di Batavia (kini Jakarta) tahun 1727 M dan 1740 M karena kelaliman kolonial Belanda pada mereka. Tampillah sosok perempuan Tionghoa, Tan Peng Nio, anak Jenderal Tan Wan Swee.
Tan Peng singgah di Nusantara akibat kekalahan sang ayahandanya melawan Kaisar Kien Long era Dinasti Qing, Manchuria. Maka Tan Peng dititipkan pada sahabat Tan Wen, Lia Beeng Goe yang merantau ke Singapura hingga singgah di Sunda Kelapa (kini Jakarta).
Pada saat Geger Pecinan di Batavia (1740 M) Lia Beeng dan Tan Peng menyelamatkan diri hingga singgah di Kutowinangun. Tan Peng diperistri KRT Kolopaking III (Sulaiman Kertowongso) keluarga ningrat di wilayah Kutowinangun, Kebumen/Banyumas sehingga bergelar Raden Ayu.
Tan Peng adalah kerabat Kapitan Sepanjang, pasukan Perang Tionghoa di bawah kendali Mas Garendi atau Sunan Kuning melawan
kompeni. Makam Tan Peng ada di Desa Jatimulyo, Kebumen.
Ada pula yang menyelamatkan diri ke arah timur, ada yang singgah dan menetap di sepanjang kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Lasem (kini kota kecamatan di Kabupaten Rembang, Jateng).
Oei Ing Kiat, Adipati Lasem (Oei dinobatkan oleh Pakubuwono II) memfasilitasi warga Tionghoa yang hingga kini menjadi perkampungan di Desa Karangturi, Lasem.
Memadunya etnis Tionghoa dan Jawa terlihat saat melawan kolonial di Jawa Tengah bagian timur yakni wilayah Rembang.
Perlawanannya dari arah laut (Pelabuhan Juwana) dipimpin Tan Kee Wie dan pasukan pejalan kaki menyerbu pelabuhan Jepara dipimpin oleh Raden Panji Mergono (babah Tan Piang Ciang) dan Oei Ing Kiat (Raden Tumenggung Widyaningrat, putra Raden Panji) bersama pasukan dari unsur orang Jawa (Dresi dan Jangkungan) dan warga Purwodadi, Pati, dan Blora.
Hanya saja saat serbuan kompeni di Pulau Mandalika pada 5 November 1742 M tewaslah Tan Kee Wie.
Geger Pecinan di Pantura Timur Jateng terjadi lagi pada 1750 M menewaskan Tan Piang dan Oei Ing Kiat, keduanya diabadikan dalam wujud patung di Kelenteng Gie Yong Bio di Lasem hingga kini sebagai wujud penghormatan. Penghargaan keduanya juga diberikan dari Tiongkok dengan gelar Chen Huang Er Xian Sheng (dua tuan terhormat dari keluarga Chen dan Huang).
Mengenang untuk Masa Kini dan MendatangSebagian kecil fakta sejarah tersebut sebagai bukti bahwa etnis Tionghoa ikut serta bersama warga non-Tionghoa berjuang bersama melawan kolonial demi kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, tidak perlu terjadi lagi pendiskriminasian pada etnis apa pun di Nusantara sebagaimana Inpres Nomor 14/1967.Kepres Soeharto mendiskriminasikan segala tradisi Tionghoa oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 9 April 2001 dicabut dengan Kepres Nomor 19 Tahun 2001. Maka perayaan Imlek dan budaya Tionghoa dapat leluasa di ruang publik dan direspon positif publik.Presiden Megawati pada 9 April 2002 menerbitkan Kepres Nomor 19 Tahun 2002 bahwa Imlek sebagai Hari Libur Nasional hingga kini.Presiden ke-4 RI (Gus Dur) mendapat julukan Bapak Tionghoa Indonesia dari masyarakat Tionghoa. Bahkan, foto Gus Dur dipasang di Kelenteng Hian Thian Siang Tee di Welahan Jepara dan Kelenteng Boen Bio di Surabaya.Ada pula yang membuat
Sin Ca/Sinca (papan arwah) di altar Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong di Semarang yakni wadah perkumpulan sosial warga Tionghoa dan non-Tionghoa.Boen Hian Tong atau Rasa Dharma bermakna ruang menyimpan bahan pustaka bersejarah. Perkumpulan ini lahir 9 Februari 1876 (Perkumpulan tertua bidang sosial bagi warga Tionghoa di Semarang) di Jalan Wotgandul, Gang Pinggir Nomor 31, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang.Sinci Gus Dur diletakkan di altar bagian tengah (dari 20
sinci lain) Boen Hian Tong pada 24 Agustus 2014 seizin keluarga Gus Dur yang juga hadir pada saat pemasangan. Sinci Gus Dur tidak untuk disembah, tapi wujud penghormatan, tulisannya berwarna kuning emas.Di balik Sinci ada silsilah nenek moyang Gus Dur, dari kakek, ayah, istri hingga anaknya. Sesaji di altar (di depan sinci Gus Dur) setelah didoakan diberi kalung bunga melati (setiap Imlek) sesajian berupa mendoan dan sambal kecap dalam satu rinjing (bejana terbuat dari anyaman lidi), kopi pahit, dan seporsi ayam kecombrang (disetarakan dengan sesajian sang raja).Sajian dipahami sebagai makanan kesukaan Gus Dur semasa hidup. Sejak ada sinci Gus Dur, sesajian berupa daging babi di altar diganti dengan daging kambing.Jadilah pemimpin yang memuliakan sesama hamba Tuhan maka akan dikenang sepanjang sejarah kehidupan bangsa,
Nuwun. (*)
*) Dosen IAIN Kudus
[caption id="attachment_270327" align="alignleft" width="150"]
Moh Rosyid *)[/caption]
PERGERAKAN Islam di Nusantara diperankan oleh ormas Islam antaralain Muhammadiyah. Dalam ormas ini, ada sosok yang (mungkin) belum dikenal generasi Z yakni Oey Tjeng Hien yang menjadi mualaf (masuk Islam) tahun 1928 M dan berganti nama menjadi Abdul Karim Oey.
Oey sukses sebagai saudagar dan menetap di Bintuhan, Bengkulu. Ia berjuang membesarkan Muhammadiyah bersama Mas Mansur dan Buya Hamka. Bagi Abdul Karim, orang yang benar-benar muslim harus mencintai Tanah Air.
Jauh sebelumnya, terjadi tragedi berdarah diderita etnis Tionghoa di Batavia (kini Jakarta) tahun 1727 M dan 1740 M karena kelaliman kolonial Belanda pada mereka. Tampillah sosok perempuan Tionghoa, Tan Peng Nio, anak Jenderal Tan Wan Swee.
Tan Peng singgah di Nusantara akibat kekalahan sang ayahandanya melawan Kaisar Kien Long era Dinasti Qing, Manchuria. Maka Tan Peng dititipkan pada sahabat Tan Wen, Lia Beeng Goe yang merantau ke Singapura hingga singgah di Sunda Kelapa (kini Jakarta).
Pada saat Geger Pecinan di Batavia (1740 M) Lia Beeng dan Tan Peng menyelamatkan diri hingga singgah di Kutowinangun. Tan Peng diperistri KRT Kolopaking III (Sulaiman Kertowongso) keluarga ningrat di wilayah Kutowinangun, Kebumen/Banyumas sehingga bergelar Raden Ayu.
Tan Peng adalah kerabat Kapitan Sepanjang, pasukan Perang Tionghoa di bawah kendali Mas Garendi atau Sunan Kuning melawan
kompeni. Makam Tan Peng ada di Desa Jatimulyo, Kebumen.
Ada pula yang menyelamatkan diri ke arah timur, ada yang singgah dan menetap di sepanjang kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Lasem (kini kota kecamatan di Kabupaten Rembang, Jateng).
Oei Ing Kiat, Adipati Lasem (Oei dinobatkan oleh Pakubuwono II) memfasilitasi warga Tionghoa yang hingga kini menjadi perkampungan di Desa Karangturi, Lasem.
Memadunya etnis Tionghoa dan Jawa terlihat saat melawan kolonial di Jawa Tengah bagian timur yakni wilayah Rembang.
Perlawanannya dari arah laut (Pelabuhan Juwana) dipimpin Tan Kee Wie dan pasukan pejalan kaki menyerbu pelabuhan Jepara dipimpin oleh Raden Panji Mergono (babah Tan Piang Ciang) dan Oei Ing Kiat (Raden Tumenggung Widyaningrat, putra Raden Panji) bersama pasukan dari unsur orang Jawa (Dresi dan Jangkungan) dan warga Purwodadi, Pati, dan Blora.
Hanya saja saat serbuan kompeni di Pulau Mandalika pada 5 November 1742 M tewaslah Tan Kee Wie.
Geger Pecinan di Pantura Timur Jateng terjadi lagi pada 1750 M menewaskan Tan Piang dan Oei Ing Kiat, keduanya diabadikan dalam wujud patung di Kelenteng Gie Yong Bio di Lasem hingga kini sebagai wujud penghormatan. Penghargaan keduanya juga diberikan dari Tiongkok dengan gelar Chen Huang Er Xian Sheng (dua tuan terhormat dari keluarga Chen dan Huang).
Mengenang untuk Masa Kini dan Mendatang
Sebagian kecil fakta sejarah tersebut sebagai bukti bahwa etnis Tionghoa ikut serta bersama warga non-Tionghoa berjuang bersama melawan kolonial demi kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, tidak perlu terjadi lagi pendiskriminasian pada etnis apa pun di Nusantara sebagaimana Inpres Nomor 14/1967.
Kepres Soeharto mendiskriminasikan segala tradisi Tionghoa oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 9 April 2001 dicabut dengan Kepres Nomor 19 Tahun 2001. Maka perayaan Imlek dan budaya Tionghoa dapat leluasa di ruang publik dan direspon positif publik.
Presiden Megawati pada 9 April 2002 menerbitkan Kepres Nomor 19 Tahun 2002 bahwa Imlek sebagai Hari Libur Nasional hingga kini.
Presiden ke-4 RI (Gus Dur) mendapat julukan Bapak Tionghoa Indonesia dari masyarakat Tionghoa. Bahkan, foto Gus Dur dipasang di Kelenteng Hian Thian Siang Tee di Welahan Jepara dan Kelenteng Boen Bio di Surabaya.
Ada pula yang membuat
Sin Ca/Sinca (papan arwah) di altar Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong di Semarang yakni wadah perkumpulan sosial warga Tionghoa dan non-Tionghoa.
Boen Hian Tong atau Rasa Dharma bermakna ruang menyimpan bahan pustaka bersejarah. Perkumpulan ini lahir 9 Februari 1876 (Perkumpulan tertua bidang sosial bagi warga Tionghoa di Semarang) di Jalan Wotgandul, Gang Pinggir Nomor 31, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang.
Sinci Gus Dur diletakkan di altar bagian tengah (dari 20
sinci lain) Boen Hian Tong pada 24 Agustus 2014 seizin keluarga Gus Dur yang juga hadir pada saat pemasangan. Sinci Gus Dur tidak untuk disembah, tapi wujud penghormatan, tulisannya berwarna kuning emas.
Di balik Sinci ada silsilah nenek moyang Gus Dur, dari kakek, ayah, istri hingga anaknya. Sesaji di altar (di depan sinci Gus Dur) setelah didoakan diberi kalung bunga melati (setiap Imlek) sesajian berupa mendoan dan sambal kecap dalam satu rinjing (bejana terbuat dari anyaman lidi), kopi pahit, dan seporsi ayam kecombrang (disetarakan dengan sesajian sang raja).
Sajian dipahami sebagai makanan kesukaan Gus Dur semasa hidup. Sejak ada sinci Gus Dur, sesajian berupa daging babi di altar diganti dengan daging kambing.
Jadilah pemimpin yang memuliakan sesama hamba Tuhan maka akan dikenang sepanjang sejarah kehidupan bangsa,
Nuwun. (*)
*) Dosen IAIN Kudus