USIA anak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan adalah bagi individu yang belum berusia 19 tahun. Bagi diri yang ingin/akan kawin harus sudah berumur 19 tahun.
Perubahan UU ini dipicu masih banyaknya calon mempelai yang berumur belum 19 tahun. Hanya saja, UU Perkawinan memberi jurus bagi yang pra-19 tahun dan ingin kawin dengan memohon dispensasi pada Hakim Pengadilan Agama (PA) bagi muslim dan di Pengadilan Negeri (PN) bagi non-muslim dan penghayat di kota/kabupaten setempat.
Perkawinan anak hakikatnya merugikan kedua mempelai, karena belum memiliki kemampuan yang mapan berkeluarga.
Indonesia tercatat tingkat perkawinan anak tertinggi ketujuh dunia, 14 persen anak perempuan dan 4,9 persen anak lelaki kawin. Secara nasional, Jawa Tengah angka prevalensi kawin usia anak ada 20,72 persen.
Terjadinya perkawinan anak akibat ragam persoalan. Data Kanwil Kemenag Jateng tahun 2021, ada 290 ribu perkawinan dan dispensasi kawin ada 8.700 kasus (3%). Data PA Kabupaten Pati 2021, ada 2.322 perkara cerai, 65 persen atau 1.509 perkara karena gugat cerai (permintaan cerai dari istri), 710 perkara (55%) hasil dispensasi kawin akibat hamil pra-nikah, ada 25 persen dispensasi kawin akibat hubungan intim pranikah meski belum hamil.
Data PA Jepara pada 2021 ada 2.072 kasus cerai, ada 1.576 perkara gugat cerai dari istri, ada 944 kasus cerai karena konflik keluarga, 846 perkara akibat ekonomi keluarga, dan 206 akibat salah satu pihak meninggalkan keluarga. Jumlah tersebut, ada 496 gugat cerai dari suami dan dispensasi kawin ada 509 perkara.
Data PA Kabupaten Kudus 2021, ada 1.370 perkara cerai, ada 986 kasus gugat cerai (permintaan istri) dominasi akibat suami selingkuh, ada 384 cerai/talak (diajukan suami) dan 270 perkara akibat dispensasi kawin akibat hamil pra-nikah.
Keprihatinan BersamaHal yang memprihatinkan bahwa usia anak dan mengandung dalam posisi belum kawin seakan-akan tidak lagi menjadi aib. Bila tidak ada upaya bersama antara warga, pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat dalam menanggulanginya, maka kegadisan atau mahkota perkawinan yang nyaris sudah tidak lagi menjadi kebanggaan akan menjadi tradisi pilu.Menikah status gadis/perjaka harus menjadi kredo (kecuali kawin status janda/duda). Pihak yang perlu dilibatkan sebagai upaya preventif/pencegahan agar kawin minimal usia 19 tahun dan anak kawin dalam posisi hamil tidak berkelanjutan (1) penceramah agama pada forum publik atau keagamaan (khotbah Jumat, pengajian umum atau terbatas) menyampaikan materi UU Perkawinan dan etika pergaulan muda-mudi, tidak hanya mengulas seputar kewajiban salat dan kehidupan akhirat saja, (2) pemerintah desa melakukan inspeksi mendadak secara insidental dan periodik bila di desanya ada persewaan jaringan
online untuk anak agar dipantau.Kemudian, (3) orangtua mengawasi ekstraketat penggunaan
handphone anaknya, dan (4) penyelenggara pendidikan pun menyampaikan materi pendidikan seks secara massif sejak usia dini sesuai porsi pemahamannya agar anak tidak menjadi korban perilaku naïf.Pergaulan yang ekstra-longgar antara muda-mudi dan penggunaan
gadget yang tanpa dibatasi ruang dan waktu menjadi problem bersama, sehingga memerlukan upaya bersama agar perilaku anak bangsa tidak terbawa kehidupan masa kini yang terkesan kian longgar antar-anak dan mengarah perilaku non-Islami. Dengan demikian, untuk segera dicari solusi bijak bermodal kepedulian bersama.
Nuwun. (*)
*) Doktor Bidang Hukum Keluarga Islam, Dosen Fakultas Syariah/Hukum Islam IAIN Kudus
[caption id="attachment_265607" align="alignleft" width="150"]
Lina Kushidayati *)[/caption]
USIA anak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan adalah bagi individu yang belum berusia 19 tahun. Bagi diri yang ingin/akan kawin harus sudah berumur 19 tahun.
Perubahan UU ini dipicu masih banyaknya calon mempelai yang berumur belum 19 tahun. Hanya saja, UU Perkawinan memberi jurus bagi yang pra-19 tahun dan ingin kawin dengan memohon dispensasi pada Hakim Pengadilan Agama (PA) bagi muslim dan di Pengadilan Negeri (PN) bagi non-muslim dan penghayat di kota/kabupaten setempat.
Perkawinan anak hakikatnya merugikan kedua mempelai, karena belum memiliki kemampuan yang mapan berkeluarga.
Indonesia tercatat tingkat perkawinan anak tertinggi ketujuh dunia, 14 persen anak perempuan dan 4,9 persen anak lelaki kawin. Secara nasional, Jawa Tengah angka prevalensi kawin usia anak ada 20,72 persen.
Terjadinya perkawinan anak akibat ragam persoalan. Data Kanwil Kemenag Jateng tahun 2021, ada 290 ribu perkawinan dan dispensasi kawin ada 8.700 kasus (3%). Data PA Kabupaten Pati 2021, ada 2.322 perkara cerai, 65 persen atau 1.509 perkara karena gugat cerai (permintaan cerai dari istri), 710 perkara (55%) hasil dispensasi kawin akibat hamil pra-nikah, ada 25 persen dispensasi kawin akibat hubungan intim pranikah meski belum hamil.
Data PA Jepara pada 2021 ada 2.072 kasus cerai, ada 1.576 perkara gugat cerai dari istri, ada 944 kasus cerai karena konflik keluarga, 846 perkara akibat ekonomi keluarga, dan 206 akibat salah satu pihak meninggalkan keluarga. Jumlah tersebut, ada 496 gugat cerai dari suami dan dispensasi kawin ada 509 perkara.
Data PA Kabupaten Kudus 2021, ada 1.370 perkara cerai, ada 986 kasus gugat cerai (permintaan istri) dominasi akibat suami selingkuh, ada 384 cerai/talak (diajukan suami) dan 270 perkara akibat dispensasi kawin akibat hamil pra-nikah.
Keprihatinan Bersama
Hal yang memprihatinkan bahwa usia anak dan mengandung dalam posisi belum kawin seakan-akan tidak lagi menjadi aib. Bila tidak ada upaya bersama antara warga, pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat dalam menanggulanginya, maka kegadisan atau mahkota perkawinan yang nyaris sudah tidak lagi menjadi kebanggaan akan menjadi tradisi pilu.
Menikah status gadis/perjaka harus menjadi kredo (kecuali kawin status janda/duda). Pihak yang perlu dilibatkan sebagai upaya preventif/pencegahan agar kawin minimal usia 19 tahun dan anak kawin dalam posisi hamil tidak berkelanjutan (1) penceramah agama pada forum publik atau keagamaan (khotbah Jumat, pengajian umum atau terbatas) menyampaikan materi UU Perkawinan dan etika pergaulan muda-mudi, tidak hanya mengulas seputar kewajiban salat dan kehidupan akhirat saja, (2) pemerintah desa melakukan inspeksi mendadak secara insidental dan periodik bila di desanya ada persewaan jaringan
online untuk anak agar dipantau.
Kemudian, (3) orangtua mengawasi ekstraketat penggunaan
handphone anaknya, dan (4) penyelenggara pendidikan pun menyampaikan materi pendidikan seks secara massif sejak usia dini sesuai porsi pemahamannya agar anak tidak menjadi korban perilaku naïf.
Pergaulan yang ekstra-longgar antara muda-mudi dan penggunaan
gadget yang tanpa dibatasi ruang dan waktu menjadi problem bersama, sehingga memerlukan upaya bersama agar perilaku anak bangsa tidak terbawa kehidupan masa kini yang terkesan kian longgar antar-anak dan mengarah perilaku non-Islami. Dengan demikian, untuk segera dicari solusi bijak bermodal kepedulian bersama.
Nuwun. (*)
*) Doktor Bidang Hukum Keluarga Islam, Dosen Fakultas Syariah/Hukum Islam IAIN Kudus