PEMERINTAH pusat mengklaim bahwa sektor pertanian tetap bisa bertahan di tengah resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19. Pemerintah pusat menggunakan indikator besaran ekspor pertanian dan sumbangsih sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) yang tetap tumbuh dibandingkan sektor lainnya.
Kementerian Pertanian menjelaskan bahwa pada tahun 2020 saat pandemi Covid-19 berlangsung, sektor pertanian menyumbang 16,24 terhadap PDB. Data Kementerian Pertanian memaparkan bahwa ekspor pertanian pada tahun 2020 mencapai Rp 451 triliun, didominasi produk perkebunan sebesar 91%, peternakan 6%, pangan 1% dan hortikultura 2%.
Kementerian Pertanian pada acara Pelepasan Merdeka Ekspor tahun 2021 yang dilaksanakan tanggal 14 Agustus 2021 mengakui bahwa ekspor produk perkebunan didominasi oleh komoditas kelapa sawit. Data dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sampai dengan Agustus 2020 menjelaskan bahwa ekspor kelapa sawit telah menyumbangkan devisa sebesar USD13 miliar.
Namun, besaran ekspor dan sumbangsih terhadap PDB tidak dapat dijadikan satu-satunya indikator untuk menjelaskan kesejahteraan masyarakat yang bekerja di sektor pertanian selama pandemi Covid-19.
Upaya untuk memahami masalah kesejahteraan sektor pertanian selama pandemi Covid-19 harus mengacu pada realitas penghidupan petani sebagai pelaku aktivitas ekonomi. Kondisi penghidupan petani kelapa sawit selama masa pandemi sebagai komoditas penyumbang ekspor utama justru semakin berat disebabkan mereka harus menanggung beban pengeluaran baru akibat pandemi Covid-19.
Kenaikan harga Tandan Buah Segar (TBS) dan insentif dari pemerintah tidak menjamin kesejahteraan petani kelapa sawit selama pandemi disebabkan petani harus menanggung biaya produksi, mendapat harga murah dari pengepul dan insentif yang sebenarnya diberikan kepada pengusaha biodesel.
Petani kecil pada komoditas sawit sendiri dapat didefinisikan sebagai mereka yang mengelola lahan seluas 2-5 hektarwe. Kajian Serikat Petani Kelapa Sawit (2021) menunjukan bahwa petani kecil komoditas sawit terpaksa harus mengalihkan pendapatan non sawit untuk menutupi pembengkakan biaya perawatan, pupuk bersubsidi, dan transportasi yang mereka tanggung sendiri.
Petani kecil komoditas sawit juga tidak dapat menikmati keuntungan dari harga TBS yang tiap tahun fluktuatif disebabkan bergantung pada peran tengkulak dalam pemasaran. Hal tersebut sebenarnya adalah masalah rantai pasokan yang sudah terjadi sebelum pandemi Covid-19.
Masalah rantai pasokan di sektor pertanian juga harus dihadapi oleh petani kecil komoditas tanaman pangan dan hortikultura yang semakin parah pada masa pandemi Covid-19. Sebelum masa pandemi Covid-19, petani kecil tidak memiliki daya tawar dalam menentukan harga jual disebabkan mengantungkan pemasaran pada tengkulak.
Kondisi pandemi Covid-19 yang menyebabkan terganggunya distribusi komoditas dengan adanya pembatasan mobilitas, penutupan pasar tradisional dan pasar induk serta hotel dan restoran semakin berdampak pada petani kecil.
Masalah rantai pasokan selama masa pandemi Covid-19 juga membuat petani kesulitan dalam mendapatkan input pertanian seperti pupuk. Survei yang dilakukan oleh PRISMA (Australia-Indonesia Partnership for Promoting Rural Incomes through Support for Market in Agriculture) pada 12-22 Oktober 2020 di Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT dan Papua Barat memaparkan bahwa 34% petani yang menjadi responden harus menanggung peningkatan biaya pupuk untuk produksi pertanian. Hal tersebut disebabkan oleh pengurangan kuota subsidi pupuk pada tahun 2020, gangguan distribusi dan peningkatan biaya hidup akibat pandemi Covid-19.
Petani kecil selama masa pandemi Covid-19 juga harus terjerat masalah lain yakni meluasnya konflik agraria. Petani kecil memerlukan lahan untuk menunjang penghidupannya, tetapi adanya peningkatan penyerobotan lahan mereka selama masa pandemi Covid-19 telah memperburuk keadaan.