SABTU Kliwon 9 Muharam 1200 H/12 November 1785 M lahirlah putra bangsa yang menjadi kiai dan pejuang, KH Ahmad Rifai bin Muhammad Marhum di Desa Tempuran, Kecamatan Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah (1785-1869 M). Semasa hidupnya, ia berjuang dan berdakwah sehingga gerakannya disebut Rifaiyah.
Sebelum berjuang
all out, ia belajar keislaman di Makkah bersama Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Nawawi al-Bantani. Mereka menimba ilmu pada Syaikh Abdul Aziz al-Habsyi, Syaikh Ahmad Utsman, dan Syaikh al-Barawi.
Ragam gerakan Rifaiyah masa awal dilakukan mulai dari mendirikan ponpes di kawasan hutan di Kalisalak, Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang, Jateng, berkarya kitab (mushonif) berbahasa Jawa Pegon (tulisan huruf Arab, terbaca bahasa Jawa) yang dikenal Kitab Tarjumah sebanyak 67 judul.
Kitab ada yang memuat perlawanan pada kolonial Belanda, seperti dalam Kitab Wiqoyah: ”...
ngelawan rojo kafir sak kuasane kapikiro (melawan Raja kafir/kolonial Belanda atas kuasanya untuk dipikirkan),
perang sabil linuwih kadane ukoro (jihad/perang membela Islam) melawan kolonial jalan terbaik,
tan kanti akeh bolo kuncoro (melawan tanpa banyak pasukan)”.
Kritik juga dialamatkan pada pangreh praja (pejabat pribumi). "
sumerep badan hino seba gelangsur (melihat tubuh terhina karena menghadap Belanda dengan merayap ke tanah),
maring rojo kafir podo asih anutan (mencintai dan mengikuti Raja kafir),
kuwatir yen ora nemu derajat (khawatir bila tak mulia),
ikulah lakune wong munafik imane suwung (itulah sikap pendusta tak beriman)”.
Dampaknya, ia dipenjara di Kendal, lalu diasingkan ke Ambon, lantas dibuang ke Kampung Jawa Tondano, Manado hingga wafat pada Ahad 6 Rabiul Akhir 1286 H/1870 M dan dimakamkan di kompleks Pemakaman Kiai Modjo di Kelurahan Kampung Jawa, Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Warga Rifaiyah eksis hingga kini di sebagian wilayah Kabupaten Tegal, Brebes, Pekalongan, Batang, Pemalang, Wonosobo, Temanggung, Purworejo, Boyolali, Kendal, Kabupaten Semarang, Kudus, Grobogan, Pati, dan lainnya. Kekhasannya, beribadah dibekali dengan mengkaji ilmunya (dingilmuni) yang bersumber dari Kitab Tarjumah (memuat aqidah, syariah, dan tasawuf) dan kitab salaf lainnya.
Etos Nasionalisme Kiai Rifa'iBerkat perjuangannya, Presiden SBY mengukuhkan Kiai Rifai sebagai Pahlawan Nasional bidang agama dengan Kepres Nomor 89/TK/2004 tanggal 5 November 2004.Karya kitabnya bila terpenuhi syarat, agar diusulkan pada Unesco sebagai ingatan kolektif dunia (memory of the world) yakni dokumen warisan bersejarah dunia yang penting bagi kehidupan manusia, khususnya melestarikan penulisan pegon.Hingga kini, warga Rifaiyah tetap menelaah kitab pegon di pesantren Rifaiyah dan lembaga pendidikan formal yang dikelolanya. Hal ini merespon program ingatan kolektif dunia diluncurkan oleh Lembaga Arsip Nasional sejak 25 Agustus 2021 sebagai rangkaian proses mitigasi, penilaian, penyelamatan, pelestarian, pelayanan, dan registrasi. Semoga karya leluhur tetap mendapat perhatian oleh generasi milenial.
Nuwun. (*)
*) Pemerhati Sejarah dan Budaya dari IAIN Kudus
[caption id="attachment_201688" align="alignleft" width="150"]
Moh Rosyid *)[/caption]
SABTU Kliwon 9 Muharam 1200 H/12 November 1785 M lahirlah putra bangsa yang menjadi kiai dan pejuang, KH Ahmad Rifai bin Muhammad Marhum di Desa Tempuran, Kecamatan Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah (1785-1869 M). Semasa hidupnya, ia berjuang dan berdakwah sehingga gerakannya disebut Rifaiyah.
Sebelum berjuang
all out, ia belajar keislaman di Makkah bersama Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Nawawi al-Bantani. Mereka menimba ilmu pada Syaikh Abdul Aziz al-Habsyi, Syaikh Ahmad Utsman, dan Syaikh al-Barawi.
Ragam gerakan Rifaiyah masa awal dilakukan mulai dari mendirikan ponpes di kawasan hutan di Kalisalak, Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang, Jateng, berkarya kitab (mushonif) berbahasa Jawa Pegon (tulisan huruf Arab, terbaca bahasa Jawa) yang dikenal Kitab Tarjumah sebanyak 67 judul.
Kitab ada yang memuat perlawanan pada kolonial Belanda, seperti dalam Kitab Wiqoyah: ”...
ngelawan rojo kafir sak kuasane kapikiro (melawan Raja kafir/kolonial Belanda atas kuasanya untuk dipikirkan),
perang sabil linuwih kadane ukoro (jihad/perang membela Islam) melawan kolonial jalan terbaik,
tan kanti akeh bolo kuncoro (melawan tanpa banyak pasukan)”.
Kritik juga dialamatkan pada pangreh praja (pejabat pribumi). "
sumerep badan hino seba gelangsur (melihat tubuh terhina karena menghadap Belanda dengan merayap ke tanah),
maring rojo kafir podo asih anutan (mencintai dan mengikuti Raja kafir),
kuwatir yen ora nemu derajat (khawatir bila tak mulia),
ikulah lakune wong munafik imane suwung (itulah sikap pendusta tak beriman)”.
Dampaknya, ia dipenjara di Kendal, lalu diasingkan ke Ambon, lantas dibuang ke Kampung Jawa Tondano, Manado hingga wafat pada Ahad 6 Rabiul Akhir 1286 H/1870 M dan dimakamkan di kompleks Pemakaman Kiai Modjo di Kelurahan Kampung Jawa, Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Warga Rifaiyah eksis hingga kini di sebagian wilayah Kabupaten Tegal, Brebes, Pekalongan, Batang, Pemalang, Wonosobo, Temanggung, Purworejo, Boyolali, Kendal, Kabupaten Semarang, Kudus, Grobogan, Pati, dan lainnya. Kekhasannya, beribadah dibekali dengan mengkaji ilmunya (dingilmuni) yang bersumber dari Kitab Tarjumah (memuat aqidah, syariah, dan tasawuf) dan kitab salaf lainnya.
Etos Nasionalisme Kiai Rifa'i
Berkat perjuangannya, Presiden SBY mengukuhkan Kiai Rifai sebagai Pahlawan Nasional bidang agama dengan Kepres Nomor 89/TK/2004 tanggal 5 November 2004.
Karya kitabnya bila terpenuhi syarat, agar diusulkan pada Unesco sebagai ingatan kolektif dunia (memory of the world) yakni dokumen warisan bersejarah dunia yang penting bagi kehidupan manusia, khususnya melestarikan penulisan pegon.
Hingga kini, warga Rifaiyah tetap menelaah kitab pegon di pesantren Rifaiyah dan lembaga pendidikan formal yang dikelolanya. Hal ini merespon program ingatan kolektif dunia diluncurkan oleh Lembaga Arsip Nasional sejak 25 Agustus 2021 sebagai rangkaian proses mitigasi, penilaian, penyelamatan, pelestarian, pelayanan, dan registrasi. Semoga karya leluhur tetap mendapat perhatian oleh generasi milenial.
Nuwun. (*)
*) Pemerhati Sejarah dan Budaya dari IAIN Kudus