Selasa, 14 Januari 2025

Learner Agency Mahasiswa di Masa Pandemi

Murianews
Sabtu, 25 September 2021 08:47:51
Learner Agency Mahasiswa di Masa Pandemi
Mahasiswa baru UMK mengikuti Sapamaba secara daring. (MURIANEWS/ Istimewa)

BARU-BARU ini pemerintah sudah mengizinkan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Dalam Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pembelajaran Tatap Muka Tahun Akademik 2021/2022 dijelaskan bahwa pembelajaran di perguruan tinggi mulai semester gasal tahun akademik 2021/2022 diselenggarakan dengan pembelajaran tatap muka terbatas, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, dan/atau pembelajaran daring.

Meskipun sudah ada edaran tersebut, perguruan tinggi tidak lantas mengambil keberanian utk melaksanakan pembelajaran tatap muka. Banyak hal yang harus disiapkan, sehingga keputusan yang diambil tidak menjadi persoalan baru di kemudian hari.

Pekan ini, saya mulai pembelajaran kelas untuk tahun ini secara online melalui aplikasi tatap maya. Sebagaimana biasanya, saya menyapa satu persatu mahasiswa di kelas. Saat menanyakan kabar mereka, satu persatu menjawabnya dengan datar saja, bahkan tak ada sesuatu yang spesial.

Beda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana para mahasiswa sangat antusias, hal itu karena perasaan bahagia menjadi mahasiswa baru di perguruan tinggi.

Sudah hampir dua tahun, semenjak pandemi melanda, saya merasakan perbedaan yang nyata saat bertemu mahasiswa baru. Baik itu secara langsung maupun secara maya dalam proses pembelajaran.

Tidak ada euforia perubahan status dari siswa menjadi mahasiswa. Mereka hanya datar-datar saja saat mengikuti kuliah pertama. Kalau dulu sebelum pandemi, saya menjumpai penampilan anak muda yang stylist dengan wajah sumringah.

Mereka seakan ingin memunjukkan kepada semua orang, bahwa saya tidak lagi anak remaja yang tiap hari berseragam abu-abu. Atau kalau dengan bahasa anak sekarang, "yang penting penampilan dulu, urusan kualitas belakangan".

Situasi seperti ini ternyata sangat berpengaruh terhadap motivasi, sikap dan gaya belajar para mahasiswa. Mereka seakan belum sepenuhnya menampilkan identitas sebagai mahasiswa yang tangguh, percaya diri, dan siap dengan berbagai risiko yang akan dihadapi. Tak terlihat tampilan sosok mahasiswa yang siap menjadi agen perubahan pada diri mereka.

Di sinilah lantas saya berpikir tentang pentingnya Learner Agency. Sebagaimana dijelaskan oleh Larsen-Freeman, D., Driver, P., Gao, X., dan Mercer, S. dalam bukunya Learner Agency: Maximizing Learner Potential, Learner Agency adalah perasaan memiliki dan rasa memiliki kontrol yang dimiliki peserta didik atas pembelajaran mereka.

Dalam implementasinya, peserta didik harus dilibatkan dalam merumuskan tujuan dari pembelajaran, sehingga mampu menciptakan pembelajaran yang learning centered.

Namun, selama pandemi nampaknya itu sulit terwujud, karena minimnya interaksi dan komunikasi antara dosen dengan peserta didiknya. Saking parahnya, bahkan peserta didikpun tidak tahu apa yang akan dilakukannya pada pertemuan pembelajaran berikutnya.

Perlunya Kebijakan Lembaga

Situasi dunia yang tidak menentu seperti ini, semestinya harus disikapi oleh pemangku kebijakan lembaga. Harus ada kebijakan baru yang lebih adaptif. Perubahan model pembelajaran offline (tatap muka) menjadi online (tatap maya) perlu dibarengi dengan sistem dan metode pembelajaran yang humanis. Yaitu sistem yang bisa mengakomodasi berbagai situasi dan kondisi.

Yang terjadi justru sebaliknya, meskipun melalui online, namun sistem pembelajaran tidak banyak yang berubah. Standar pencapaian sampai pada penilaian juga minim penyesuaian, sehingga justru menjadikan mahasiswa semakin berat.

Dalam hal ini, perlu ada semacam penambahan muatan dalam kurikulum pembelajaran. Bukan hanya melulu pada tataran akademik (material knowledge) saja, namun juga tataran motivasi dan emosi.

Mahasiswa perlu disisipi bekal tersebut, sehingga mereka bisa berkembang secara mental dan emosi, sehingga mereka akan siap dengan situasi apapun yang akan mereka hadapi.

Penambahan muatan tidak berarti mengubah kurikulum yang sudah ada. Namun cukup menambahkan satu instruksi untuk menyelipkan brainstorming selama beberapa menit di awal.Brainstorming tersebut ditujukan untuk memberikan satu konteks pembelajaran kepada mahasiswa, sehingga meskipun pembelajaran secara online, tapi mereka tetap merasakan konteks pembelajaran di perguruan tinggi.Reformasi Model PembelajaranPembelajaran tatap muka (PTM) terbatas bukan berarti pembelajaran klasikal sebagaimana lumrahnya yang dijalankan sebelum pandemi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, mulai dari jumlah peserta di kelas sampai dengan model blended atau hybrid yang dipilih. Dengan kata lain, PTM terbatas lebih sulit dibanding dengan full online atau offline.Seorang dosen, dituntut untuk lebih fleksibel dan bahkan kreatif untuk membuat pembelajaran bisa mencapai target yang diharapkan. Bukan hanya urusan ketuntasan materi atau kompetensi, namun juga sejauh mana motivasi dan perhatian mahasiswa dalam mengikuti pembelajaran.Jika dianalogikan, ibarat tujuan pembelajaran adalah tujuan akhir dari sebuah perjalanan, maka tidak harus selalu menggunakan transportasi bus saja. Namun bisa mencoba transportasi lain. Jika biasanya melewati jalur regular, maka dimungkinkan juga lewat jalur alternatif.Untuk itu diperlukan sebuah terobosan untuk menjembatani semua model pembelajaran. Salah satunya dengan menyesuaikan karakteristik tiap materi pembelajaran.Ada materi yang bisa disampaikan dengan model Asyncronous (daring tidak langsung), namun ada juga materi yang memerlukan adanya daring langsung (syncronous).Selain itu, model pembelajaran juga bisa didesain dengan aktivitas yang open-ended. Mahasiswa diberi kesempatan lebih banyak untuk mengeksplorasi materi yang dipelajari dengan cara mereka dan memungkinkan untuk mengaitkannya dengan konteks kehidupan mereka. Sehingga dengan model seperti ini, dosen tidak lantas mengukur kinerja mahasiswa dengan benar dan salah. Namun mahasiswa yang pada akhirnya akan menemukan mana yang sesuai dan mana yang tidak.Peran Orang TuaBerbeda dengan pendidikan tingkat dasar atau menengah. Para orang tua bagi mahasiswa biasanya cenderung menyerahkan semua urusan kuliah pada anaknya. Orang tua hanya sesekali menanyakan perkembangan belajar anaknya di kampus. Atau bahkan hanya komunikasi saat si anak menyampaikan kebutuhan biaya kuliah.Semenjak pandemi, intensitas pertemuan orang tua dan anak semakin sering. Saat perkuliahan, mahasiswa hanya duduk di kamar atau ruang keluarga dengan melihat laptop atau gadgetnya.Di sinilah, waktu yang tepat bagi orang tua untuk mengamati dan mendampingi anaknya. Bahkan sesekali bisa menanyakan tentang proses perkuliahannya. Dengan pendampingan tersebut, orang tua bisa memberikan masukan, nasehat dan semangat kepada anaknya.Meskipun terkesan biasa saja, namun pendampingan tersebut mampu menjadi ajang berbagi. Sehingga si anak tidak merasa sendiri, dan punya teman dan tempat diskusi.Selain itu, orang tua juga bisa mengambil peran sebagai penilai dan evaluator bagi anaknya. Tentunya ini tidak pada tataran akademik, namun tataran emosional dan sosial. Minimnya interaksi dalam pembelajaran online, akan berdampak juga pada kompetensi emosional dan sosial mereka. Sehingga yang bisa mengambil peran ini adalah orang tua, karena yang setiap hari selalu membersamainya. (*) *) Dosen Universitas Muria Kudus

Baca Juga

Komentar

Terpopuler