BARU-BARU ini pemerintah sudah mengizinkan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Dalam Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pembelajaran Tatap Muka Tahun Akademik 2021/2022 dijelaskan bahwa pembelajaran di perguruan tinggi mulai semester gasal tahun akademik 2021/2022 diselenggarakan dengan pembelajaran tatap muka terbatas, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, dan/atau pembelajaran daring.
Meskipun sudah ada edaran tersebut, perguruan tinggi tidak lantas mengambil keberanian utk melaksanakan pembelajaran tatap muka. Banyak hal yang harus disiapkan, sehingga keputusan yang diambil tidak menjadi persoalan baru di kemudian hari.
Pekan ini, saya mulai pembelajaran kelas untuk tahun ini secara online melalui aplikasi tatap maya. Sebagaimana biasanya, saya menyapa satu persatu mahasiswa di kelas. Saat menanyakan kabar mereka, satu persatu menjawabnya dengan datar saja, bahkan tak ada sesuatu yang spesial.
Beda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana para mahasiswa sangat antusias, hal itu karena perasaan bahagia menjadi mahasiswa baru di perguruan tinggi.
Sudah hampir dua tahun, semenjak pandemi melanda, saya merasakan perbedaan yang nyata saat bertemu mahasiswa baru. Baik itu secara langsung maupun secara maya dalam proses pembelajaran.
Tidak ada euforia perubahan status dari siswa menjadi mahasiswa. Mereka hanya datar-datar saja saat mengikuti kuliah pertama. Kalau dulu sebelum pandemi, saya menjumpai penampilan anak muda yang stylist dengan wajah sumringah.
Mereka seakan ingin memunjukkan kepada semua orang, bahwa saya tidak lagi anak remaja yang tiap hari berseragam abu-abu. Atau kalau dengan bahasa anak sekarang, "yang penting penampilan dulu, urusan kualitas belakangan".
Situasi seperti ini ternyata sangat berpengaruh terhadap motivasi, sikap dan gaya belajar para mahasiswa. Mereka seakan belum sepenuhnya menampilkan identitas sebagai mahasiswa yang tangguh, percaya diri, dan siap dengan berbagai risiko yang akan dihadapi. Tak terlihat tampilan sosok mahasiswa yang siap menjadi agen perubahan pada diri mereka.
Di sinilah lantas saya berpikir tentang pentingnya Learner Agency. Sebagaimana dijelaskan oleh Larsen-Freeman, D., Driver, P., Gao, X., dan Mercer, S. dalam bukunya Learner Agency: Maximizing Learner Potential, Learner Agency adalah perasaan memiliki dan rasa memiliki kontrol yang dimiliki peserta didik atas pembelajaran mereka.
Dalam implementasinya, peserta didik harus dilibatkan dalam merumuskan tujuan dari pembelajaran, sehingga mampu menciptakan pembelajaran yang learning centered.
Namun, selama pandemi nampaknya itu sulit terwujud, karena minimnya interaksi dan komunikasi antara dosen dengan peserta didiknya. Saking parahnya, bahkan peserta didikpun tidak tahu apa yang akan dilakukannya pada pertemuan pembelajaran berikutnya.
Perlunya Kebijakan Lembaga
Situasi dunia yang tidak menentu seperti ini, semestinya harus disikapi oleh pemangku kebijakan lembaga. Harus ada kebijakan baru yang lebih adaptif. Perubahan model pembelajaran offline (tatap muka) menjadi online (tatap maya) perlu dibarengi dengan sistem dan metode pembelajaran yang humanis. Yaitu sistem yang bisa mengakomodasi berbagai situasi dan kondisi.
Yang terjadi justru sebaliknya, meskipun melalui online, namun sistem pembelajaran tidak banyak yang berubah. Standar pencapaian sampai pada penilaian juga minim penyesuaian, sehingga justru menjadikan mahasiswa semakin berat.
Dalam hal ini, perlu ada semacam penambahan muatan dalam kurikulum pembelajaran. Bukan hanya melulu pada tataran akademik (material knowledge) saja, namun juga tataran motivasi dan emosi.
Mahasiswa perlu disisipi bekal tersebut, sehingga mereka bisa berkembang secara mental dan emosi, sehingga mereka akan siap dengan situasi apapun yang akan mereka hadapi.