SAAT berkunjung ke kampung halaman yang damai nan sejuk dengan terbentang luas tumbuhan hijau, ternyata banyak menyimpan gejolak. Desa yang masyarakatnya terlihat ramah ternyata sedang terjadi kehebohan ihwal pemilihan kepalas desa (pilkades).
Pemilihan pemimpin di tingkat desa ternyata tidak kalah riuh dengan pemilihan presiden (pilpres). Terjadinya polarisasi antara pendukung calon kades mengingatkan pada pilpres 2019 yang penuh kebencian dan cacian. Polarisasi pilpres yang terkenal dengan sebutan kurang manusiawi yakni Cebong dan Kampret telah merenggut nyawa. Tentu hal tersebut menjadi preseden buruk bagi perjalanan demokrasi kita.
Pilkades di kampung halaman yang hanya ada dua kandidat, tak pelak kalau ada penamaan kubu utara dan kubu selatan. Entah penamaan yang berlandaskan pada letak geografis rumah calon kades atau hanya sebagai penanda pemilih dalam rangka mengkalkulasi hitung cepat. Isu pilkades tersebut tentulah sangat menguras energi baik pikiran, emosional, dan material.
Terjadinya segregasi di kalangan bawah yang cenderung homogen tidaklah berdasarkan pada isu-isu kepartaian, suku, ras, maupun agama sebagaimana terjadi pada pemilu tingkat nasional, melainkan lebih pada geneaologi dan partikularisme.
Faktor geneaologi tentu terkait dengan keterikatan emosional antara pemilih dan calon kades, yang dapat ditebak akan ke mana suara pemilih diberikan. Relasi emosional ini memberi sinyal bahwa budaya yang mengarah pada nepotisme masih mengakar kuat dalam menentukan pilihan suara dan secara tidak sadar telah menghilangkan ruang memilih berdasarkan meritokrasi.
Anasir-anasir kekeluargaan, pertalian saudara, maupun kerabat dekat dan kerabat jauh lebih menentukan suara pilihan calon kades dari pada kecakapan, prestasi, dan kinerja. Insaflah bahwa perilaku reaksioner tersebut akan membawa pada penderitaan.
Desa yang terkenal akan budaya gotong-royong ternyata mulai terdegradasi oleh nilai-nilai kapitalisme yang individualis dan partikular. Berani melabrak dan merampas hak orang banyak untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga secara laten telah dilakukan oleh calon kades dan pendukungnya.
Kolusi yang dijalankan ini memang sulit untuk dibawa ke ranah hukum, karena bukti-bukti yang didapat sering kali tidak cukup kuat. Kongkalikong cukup dilakukan lewat oral antara calon kades dan pendukung. Setimulus yang berupa iming-iming akan diberi jabatan, menggarap proyek-proyek desa, menggarap ladang, sawah atau ternak milik desa telah menutupi hati nurani seseorang.Insaflah bahwa perilaku kolusi tersebut telah menodai demokrasi dan hanya memperkaya keluarga atau kelompok tertentu yang berdampak pada tidak meratanya kesejahteraan rakyat.Insyaflah rakyat dalam memilih kades. Jangan pilih calon kades yang nyata-nyata telah merugikan hajat hidup orang banyak. Tengoklah kembali, apakah pembangunan infrasetruktur sudah benar-benar dijalankan dengan baik atau hanya formalitas belaka, yang secara kualitas jauh dari kata baik.Tengoklah kembali, siapa calon kades yang benar-benar memikirkan nasib rakyat daripada keluarga maupun kerabat dekat. Lihatlah, apakah sudah adil calon-calon sebelumnya dalam memberikan jabatan, proyek-proyek pembangunan, dan bantuan uang tunai maupun hewan ternak.Insyaflah rakyat bahwa pesta demokrasi di tingkat desa sangatlah menentukan nasib hajat orang banyak. Jangan gadaikan hak memilih untuk memperoleh kenikmatan sesaat (hedonis) dan jangan pula untuk memperoleh kepentingan diri sendiri, keluarga, atau kelompok (patrikular). Dahulukan hajat orang banyak di atas segala-galanya.Polarisasi yang telah terjadi di desa haruslah tetap berpijak pada persatuan. Upayakan perjuangan untuk rakyat, sebagaimana dalam pidato Bung Hatta, “Berjuanglah dengan hati yang panas beserta kepala yang dingin dengan rakyat dan untuk rakyat”. Dengan demikian, keyakinan untuk menunaikan cita-cita luhur bangsa yang merdeka, adil, dan makmur dapat terwujud. (*)
*) Penulis aktif di Rumah Kearifan (House of Wisdom)
[caption id="attachment_182320" align="alignleft" width="150"]
Hamam Fitriana *)[/caption]
SAAT berkunjung ke kampung halaman yang damai nan sejuk dengan terbentang luas tumbuhan hijau, ternyata banyak menyimpan gejolak. Desa yang masyarakatnya terlihat ramah ternyata sedang terjadi kehebohan ihwal pemilihan kepalas desa (pilkades).
Pemilihan pemimpin di tingkat desa ternyata tidak kalah riuh dengan pemilihan presiden (pilpres). Terjadinya polarisasi antara pendukung calon kades mengingatkan pada pilpres 2019 yang penuh kebencian dan cacian. Polarisasi pilpres yang terkenal dengan sebutan kurang manusiawi yakni Cebong dan Kampret telah merenggut nyawa. Tentu hal tersebut menjadi preseden buruk bagi perjalanan demokrasi kita.
Pilkades di kampung halaman yang hanya ada dua kandidat, tak pelak kalau ada penamaan kubu utara dan kubu selatan. Entah penamaan yang berlandaskan pada letak geografis rumah calon kades atau hanya sebagai penanda pemilih dalam rangka mengkalkulasi hitung cepat. Isu pilkades tersebut tentulah sangat menguras energi baik pikiran, emosional, dan material.
Terjadinya segregasi di kalangan bawah yang cenderung homogen tidaklah berdasarkan pada isu-isu kepartaian, suku, ras, maupun agama sebagaimana terjadi pada pemilu tingkat nasional, melainkan lebih pada geneaologi dan partikularisme.
Faktor geneaologi tentu terkait dengan keterikatan emosional antara pemilih dan calon kades, yang dapat ditebak akan ke mana suara pemilih diberikan. Relasi emosional ini memberi sinyal bahwa budaya yang mengarah pada nepotisme masih mengakar kuat dalam menentukan pilihan suara dan secara tidak sadar telah menghilangkan ruang memilih berdasarkan meritokrasi.
Anasir-anasir kekeluargaan, pertalian saudara, maupun kerabat dekat dan kerabat jauh lebih menentukan suara pilihan calon kades dari pada kecakapan, prestasi, dan kinerja. Insaflah bahwa perilaku reaksioner tersebut akan membawa pada penderitaan.
Desa yang terkenal akan budaya gotong-royong ternyata mulai terdegradasi oleh nilai-nilai kapitalisme yang individualis dan partikular. Berani melabrak dan merampas hak orang banyak untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga secara laten telah dilakukan oleh calon kades dan pendukungnya.
Kolusi yang dijalankan ini memang sulit untuk dibawa ke ranah hukum, karena bukti-bukti yang didapat sering kali tidak cukup kuat. Kongkalikong cukup dilakukan lewat oral antara calon kades dan pendukung. Setimulus yang berupa iming-iming akan diberi jabatan, menggarap proyek-proyek desa, menggarap ladang, sawah atau ternak milik desa telah menutupi hati nurani seseorang.
Insaflah bahwa perilaku kolusi tersebut telah menodai demokrasi dan hanya memperkaya keluarga atau kelompok tertentu yang berdampak pada tidak meratanya kesejahteraan rakyat.
Insyaflah rakyat dalam memilih kades. Jangan pilih calon kades yang nyata-nyata telah merugikan hajat hidup orang banyak. Tengoklah kembali, apakah pembangunan infrasetruktur sudah benar-benar dijalankan dengan baik atau hanya formalitas belaka, yang secara kualitas jauh dari kata baik.
Tengoklah kembali, siapa calon kades yang benar-benar memikirkan nasib rakyat daripada keluarga maupun kerabat dekat. Lihatlah, apakah sudah adil calon-calon sebelumnya dalam memberikan jabatan, proyek-proyek pembangunan, dan bantuan uang tunai maupun hewan ternak.
Insyaflah rakyat bahwa pesta demokrasi di tingkat desa sangatlah menentukan nasib hajat orang banyak. Jangan gadaikan hak memilih untuk memperoleh kenikmatan sesaat (hedonis) dan jangan pula untuk memperoleh kepentingan diri sendiri, keluarga, atau kelompok (patrikular). Dahulukan hajat orang banyak di atas segala-galanya.
Polarisasi yang telah terjadi di desa haruslah tetap berpijak pada persatuan. Upayakan perjuangan untuk rakyat, sebagaimana dalam pidato Bung Hatta, “Berjuanglah dengan hati yang panas beserta kepala yang dingin dengan rakyat dan untuk rakyat”. Dengan demikian, keyakinan untuk menunaikan cita-cita luhur bangsa yang merdeka, adil, dan makmur dapat terwujud. (*)
*) Penulis aktif di Rumah Kearifan (House of Wisdom)