KERAGAMAN suku dan agama agar tetap nyaman dan lestari dalam kehidupan memerlukan kesadaran bersama menerima perbedaan. Kehidupan ini dititahkan Tuhan tidak tunggal, tetapi majemuk/ragam, termasuk Indonesia sedari dulu hingga mendatang.
Agama mengajarkan, di balik kemajemukan, secara alami muncul kompetisi/persaingan yang memerlukan sikap
fair play agar terwujud persaingan sehat. Persoalannya, modal dasar yang sehat belum menjadi pemahaman bersama.
Untuk mendidik warga bangsa dunia yang sehat, tokoh dunia dan badan dunia/PBB (Unesco) telah mendeklarasikan Hari Toleransi Sedunia yang pada tahun 2020 ini memfokuskan pada cara penyelesaian yang tepat. Cara ini dilakukan dengan tindakan pencegahan (sebelum terjadi konflik).
Sejarah Tolerance DayHari toleransi sedunia diperingati sejak 16 November 1996 oleh negara anggota PBB yang menitikberatkan pada penanaman nilai toleransi sedari dini di lembaga pendidikan. Unesco terilhami upaya Mahatma Ghandi dengan gerakan nirkekerasan di India tahun 1915.
Tahun 1963 Martin Luther King memopulerkan adagium 'I have a Dream' dan tahun 1964 terbit Undang-Undang Hak Sipil yang melarang diskriminasi ras, warna kulit, etnis, agama, jenis kelamin, dan asal negara.
Tahun 1995 digelar perayaan Hari Toleransi untuk memperingati The Declaration of Principle on Tolerance (sikap dan prinsip bertoleransi). Indonesia pun memiliki Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Mohandas Karamchand Gandhi (Mahatma Gandhi) lahir di Porbandar, Gujarat, India, 2 Oktober 1869, wafat di New Delhi, India 30 Januari 1948 pada usia 78 tahun. Ia mendeklarasikan gerakan Satya Graha dan Ahimsa sebagai gerakan melawan kolonial Inggris di India.
Satya (kebenaran)
Graha (keteguhan)
Ahimsa (cara nirkekerasan) yang diilhami oleh muatan Kitab Bhagavad Gita (nyanyian Tuhan/Ilahi/Sri Bhagavan).
Pilkada NirkekerasanPemilihan kepala daerah (pilkada) bupati/wali kota/gubernur di beberapa daerah pada Rabu 9 Desember 2020 perlu disikapi dengan prinsip
Ahimsa yakni tidak menggunakan kekerasan fisik seperti tindak pemukulan, pengeroyokan dan kekerasan psikis seperti umpatan, provokasi kebencian dan stigma (pelabelan) dengan dalih beda agama, ras, dan kepentingan menyasar pada lawan politik.Meraih jabatan pimpinan dengan cara kekerasan menghasilkan pemimpin yang intoleran. Untuk menghindari hal tersebut, kesadaran bersama menghormati perbedaan sebagai modal dasar.Bagi calon pemimpin dan simpatisan dalam berkompetisi harus bermodal siap kalah atau menang, tidak hanya siap menang.
Nuwun. (*)
*) Penulis adalah dosen IAIN Kudus
[caption id="attachment_189443" align="alignleft" width="150"]
Moh Rosyid *)[/caption]
KERAGAMAN suku dan agama agar tetap nyaman dan lestari dalam kehidupan memerlukan kesadaran bersama menerima perbedaan. Kehidupan ini dititahkan Tuhan tidak tunggal, tetapi majemuk/ragam, termasuk Indonesia sedari dulu hingga mendatang.
Agama mengajarkan, di balik kemajemukan, secara alami muncul kompetisi/persaingan yang memerlukan sikap
fair play agar terwujud persaingan sehat. Persoalannya, modal dasar yang sehat belum menjadi pemahaman bersama.
Untuk mendidik warga bangsa dunia yang sehat, tokoh dunia dan badan dunia/PBB (Unesco) telah mendeklarasikan Hari Toleransi Sedunia yang pada tahun 2020 ini memfokuskan pada cara penyelesaian yang tepat. Cara ini dilakukan dengan tindakan pencegahan (sebelum terjadi konflik).
Sejarah Tolerance Day
Hari toleransi sedunia diperingati sejak 16 November 1996 oleh negara anggota PBB yang menitikberatkan pada penanaman nilai toleransi sedari dini di lembaga pendidikan. Unesco terilhami upaya Mahatma Ghandi dengan gerakan nirkekerasan di India tahun 1915.
Tahun 1963 Martin Luther King memopulerkan adagium 'I have a Dream' dan tahun 1964 terbit Undang-Undang Hak Sipil yang melarang diskriminasi ras, warna kulit, etnis, agama, jenis kelamin, dan asal negara.
Tahun 1995 digelar perayaan Hari Toleransi untuk memperingati The Declaration of Principle on Tolerance (sikap dan prinsip bertoleransi). Indonesia pun memiliki Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Mohandas Karamchand Gandhi (Mahatma Gandhi) lahir di Porbandar, Gujarat, India, 2 Oktober 1869, wafat di New Delhi, India 30 Januari 1948 pada usia 78 tahun. Ia mendeklarasikan gerakan Satya Graha dan Ahimsa sebagai gerakan melawan kolonial Inggris di India.
Satya (kebenaran)
Graha (keteguhan)
Ahimsa (cara nirkekerasan) yang diilhami oleh muatan Kitab Bhagavad Gita (nyanyian Tuhan/Ilahi/Sri Bhagavan).
Pilkada Nirkekerasan
Pemilihan kepala daerah (pilkada) bupati/wali kota/gubernur di beberapa daerah pada Rabu 9 Desember 2020 perlu disikapi dengan prinsip
Ahimsa yakni tidak menggunakan kekerasan fisik seperti tindak pemukulan, pengeroyokan dan kekerasan psikis seperti umpatan, provokasi kebencian dan stigma (pelabelan) dengan dalih beda agama, ras, dan kepentingan menyasar pada lawan politik.
Meraih jabatan pimpinan dengan cara kekerasan menghasilkan pemimpin yang intoleran. Untuk menghindari hal tersebut, kesadaran bersama menghormati perbedaan sebagai modal dasar.
Bagi calon pemimpin dan simpatisan dalam berkompetisi harus bermodal siap kalah atau menang, tidak hanya siap menang.
Nuwun. (*)
*) Penulis adalah dosen IAIN Kudus