CUKUP lama saya menjadi manajer HRD di perusahaan multi-nasional di Kudus. Dari 10 tahun bekerja, separuhnya di HRD. Menyenangkan tinggal di kota kecil, karena setiap orang saling mengenal. Sebagai warga baru di kota ini, saya senang dikunjungi teman-teman, ada karyawan, tokoh masyarakat sampai para pejabat.
Lebih dari delapan jam setiap hari di kantor, meski sudah bertemu, waktu bagi mereka rasanya masih kurang. Di antara mereka menemui saya di rumah dinas. Setiap hari dua sampai tiga tamu datang. Menjelang magrib saya baru pulang dan tak berapa lama setelah itu tamu-tamu datang.
Banyak tema kami obrolkan, tetapi satu yang saya catat dan paling dominan dibicarakan adalah tema tentang lamaran pekerjaan. Lama-lama saya sadar, tamu-tamu itu datang karena posisi saya. Map-map berisi lamaran selalu dititipkan menjelang mereka pulang. Setiap pagi map-map itu saya bawa dan saya teruskan ke bagian lamaran. Ada di antara lamaran itu kualifikasinya memang kami butuhkan.
Sebagai mantan santri tajug, saya tak kuasa menolak tamu-tamu itu. Fal yukrim dhaifahu, muliakanlah tamu-tamumu. Tetapi, lama-lama kunjungan itu mengganggu saya. Ini bukan silaturrahmi biasa. Saya mulai membatasi mereka dan kalau urusannya soal pekerjaan, saya minta disampaikan ke bagian lamaran. Tentu saja saya sampaikan dengan sangat sopan.
Sebagai tuan rumah, saya tetap melayani tamu itu sambil mencoba mengalihkan pembicaraan ke tema lain yang lebih menarik. Seperti sungai, tak ada aliran yang lurus tanpa kelokan. Demikian juga obrolan tamu saya malam itu. Kalau obrolan kembali dibelokkan ke tema lamaran, saya mencoba membelokkan lagi ke tema lain yang lebih menantang. Tentu dengan berjuang.
Lama-lama saya dan tamu-tamu itu seperti pembalap F-1, saling berbelok menikung dan salip-menyalip pengalihan. Dan satu yang saya harus perhatikan, setiap satu belokan tak boleh abai mengembangkan sikap sopan. Tetapi, sesopan-sopannya sikap, kesopanan yang paling dibutuhkan mereka adalah perhatian saya terhadap surat lamaran.