ESENSI diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya negara melindungi kesehatan warganya dari penyakit agar tak terjadi darurat kesehatan.
Upayanya antara lain (1) karantina, Pasal 1 ayat (6) pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang terpapar penyakit menular, (2) isolasi, ayat (7) pemisahan orang sakit dari orang sehat di fasilitas pelayanan kesehatan untuk diobati/dirawat.
Kemudian (3) karantina rumah, ayat (8) pembatasan penghuni di rumahnya, (4) karantina rumah sakit, ayat (9) pembatasan di rumah karantina rumah sakit, (5) karantina wilayah/ayat 10, (6) pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ayat (11) yakni pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi agar mencegah kemungkinan penyebaran penyakit.
Pasal 2, asas karantina antara lain pelindungan, keadilan, dan nondiskriminatif. Pasal 7 tiap orang berhak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Faktanya, di banyak daerah, pasar modern/tradisional, fasilitas umum/publik berjalan dan terjadi pelayanan dan interaksikah?.
Awalnya, Maklumat Kapolri Nomor:Mak/2/III/2020 tanggal 19 Maret 2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19) memuat larangan kegiatan sosial yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, di tempat umum, di lingkungan sendiri, pertemuan sosial, budaya, keagamaan, dll.
Maklumat awalnya menggebrak, tetapi secara perlahan, pemerintah
nyadar bahwa bila roda perekonomian ditegakkan pula maka kehidupan makin parah, sehingga secara alami ada kebijakan pelonggaran.
Sebagaimana Surat Edaran Menhub No 13 Tahun 2020 tentang Operasional Transportasi Udara dalam Masa Kegiatan Masyarakat Produktif dan Aman dari Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tanggal 8 Juni 2020 menerapkan jaga jarak dan maksimal 70 persen kapasitas angkut (
load factor).
Pertanyaannya, mengapa ada tempat ibadah di daerah zona hijau (aman) pun tetap menaati aturan pimpinan lembaga keagamaan merujuk maklumat ?.
Makin menurunnya daya kritis pimpinan lembaga agama karena menaati tanpa mengkritisi, berpeluang terjadi gejolak batin bagi umat yang kritis akibat asupan rohani yang menghadapi unsur beda. Bila jemaat berjamaah (bercengkerama) di tempat ibadah maka konsentrasi ibadahnya terjamin dibanding (hanya) melalui edia online?
Perlu DirujukLembaga
Bahtsul Masail PWNU Jateng mengadakan pembahasan 26 Maret 2020 M/ 30 Rajab 1441 H di Semarang memutuskan No:08/LBM/PWNU Jateng/III/20 bahwa kabupaten/kota zona hijau dan kuning, wajib menyelenggarakan salat Jumat dengan tetap mengupayakan kewaspadaan dan pencegahan sesuai ketetapan pemerintah.Untuk zona merah, dirinci sesuai desa/kelurahan/lingkungan yang aman penyebaran tetap wajib Jumatan disertai upaya pencegahan, bagi daerah yang terjadi penyebaran dan khawatir terjadi hingga desa, jumatan tidak diwajibkan hingga dinyatakan aman.Jamaah dipilah atas orang sehat wajib jumatan, orang dalam pemantauan (ODP) tidak wajib dan dianjurkan tidak Jumatan, Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan yang positif diharamkan Jumatan tapi salat Zuhur di rumahnya.Persoalan kini, klasifikasi tersebut tidak selalu dipahami oleh pimpinan umat beragama, tapi pukul rata bahwa ibadah di rumah dianggap upaya mengantisipasi penyebaran virus.Idealnya, bagi zona hijau atau kuning menerapkan protap kesehatan. Hasilnya, bila sehat, tetap jemaah di tempat ibadah. Jangan dikosongkan tempat suci hanya karena lagkah antisipasi yang berlebihan (dengan kata lain takut). Ibadah adalah bagian dari upaya doa/memohon pada Tuhan agar wabah segera berakhir dengan doa secara individu dan kolosal, tidak individu.
Nuwun.
*) Penulis adalah dosen IAIN Kudus
[caption id="attachment_181865" align="alignleft" width="150"]
Moh Rosyid *)[/caption]
ESENSI diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya negara melindungi kesehatan warganya dari penyakit agar tak terjadi darurat kesehatan.
Upayanya antara lain (1) karantina, Pasal 1 ayat (6) pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang terpapar penyakit menular, (2) isolasi, ayat (7) pemisahan orang sakit dari orang sehat di fasilitas pelayanan kesehatan untuk diobati/dirawat.
Kemudian (3) karantina rumah, ayat (8) pembatasan penghuni di rumahnya, (4) karantina rumah sakit, ayat (9) pembatasan di rumah karantina rumah sakit, (5) karantina wilayah/ayat 10, (6) pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ayat (11) yakni pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi agar mencegah kemungkinan penyebaran penyakit.
Pasal 2, asas karantina antara lain pelindungan, keadilan, dan nondiskriminatif. Pasal 7 tiap orang berhak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Faktanya, di banyak daerah, pasar modern/tradisional, fasilitas umum/publik berjalan dan terjadi pelayanan dan interaksikah?.
Awalnya, Maklumat Kapolri Nomor:Mak/2/III/2020 tanggal 19 Maret 2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19) memuat larangan kegiatan sosial yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, di tempat umum, di lingkungan sendiri, pertemuan sosial, budaya, keagamaan, dll.
Maklumat awalnya menggebrak, tetapi secara perlahan, pemerintah
nyadar bahwa bila roda perekonomian ditegakkan pula maka kehidupan makin parah, sehingga secara alami ada kebijakan pelonggaran.
Sebagaimana Surat Edaran Menhub No 13 Tahun 2020 tentang Operasional Transportasi Udara dalam Masa Kegiatan Masyarakat Produktif dan Aman dari Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tanggal 8 Juni 2020 menerapkan jaga jarak dan maksimal 70 persen kapasitas angkut (
load factor).
Pertanyaannya, mengapa ada tempat ibadah di daerah zona hijau (aman) pun tetap menaati aturan pimpinan lembaga keagamaan merujuk maklumat ?.
Makin menurunnya daya kritis pimpinan lembaga agama karena menaati tanpa mengkritisi, berpeluang terjadi gejolak batin bagi umat yang kritis akibat asupan rohani yang menghadapi unsur beda. Bila jemaat berjamaah (bercengkerama) di tempat ibadah maka konsentrasi ibadahnya terjamin dibanding (hanya) melalui edia online?
Perlu Dirujuk
Lembaga
Bahtsul Masail PWNU Jateng mengadakan pembahasan 26 Maret 2020 M/ 30 Rajab 1441 H di Semarang memutuskan No:08/LBM/PWNU Jateng/III/20 bahwa kabupaten/kota zona hijau dan kuning, wajib menyelenggarakan salat Jumat dengan tetap mengupayakan kewaspadaan dan pencegahan sesuai ketetapan pemerintah.
Untuk zona merah, dirinci sesuai desa/kelurahan/lingkungan yang aman penyebaran tetap wajib Jumatan disertai upaya pencegahan, bagi daerah yang terjadi penyebaran dan khawatir terjadi hingga desa, jumatan tidak diwajibkan hingga dinyatakan aman.
Jamaah dipilah atas orang sehat wajib jumatan, orang dalam pemantauan (ODP) tidak wajib dan dianjurkan tidak Jumatan, Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan yang positif diharamkan Jumatan tapi salat Zuhur di rumahnya.
Persoalan kini, klasifikasi tersebut tidak selalu dipahami oleh pimpinan umat beragama, tapi pukul rata bahwa ibadah di rumah dianggap upaya mengantisipasi penyebaran virus.
Idealnya, bagi zona hijau atau kuning menerapkan protap kesehatan. Hasilnya, bila sehat, tetap jemaah di tempat ibadah. Jangan dikosongkan tempat suci hanya karena lagkah antisipasi yang berlebihan (dengan kata lain takut). Ibadah adalah bagian dari upaya doa/memohon pada Tuhan agar wabah segera berakhir dengan doa secara individu dan kolosal, tidak individu.
Nuwun.
*) Penulis adalah dosen IAIN Kudus