SALAT merupakan komunikasi batin hamba pada Tuhan dan kebutuhan hamba pada Tuhan. Dengan demikian, salat atau tidak salat, ditentukan kebutuhan pribadi muslim/muslimah atas kebutuhannya pada Tuhan.
Tuhan disembah atau tidak disembah seseorang/manusia, jati dirinya tetap Tuhan. Bila prinsip ini dipegang teguh maka tidak ada kata merasa terpaksa atau dipaksa oleh syariat Islam.
Padahal, pelaksanaan salat diberi kemurahan Tuhan bagi hambanya. Dikenal istilah
ruhsoh bagi musyafir (pelancong) dengan di-
qosor yakni diringkas/dikurangi jumlah rakaatnya, dijamak (digabung dua waktu salat menjadi satu waktu). Kemudian bagi perempuan yang haid (menstruasi) dan nifas (pascamelahirkan ketika masih memproduksi darah lahiran) dibebaskan untuk tidak salat selama haid/nifas, bahkan dilarang salat, karena sedang menanggung
hadas besar.
Orang jompo pun bila secara fisik dan psikis sudah tidak mampu, bisa dengan membayar
fidyah (mengganti kewajiban salat dengan menderma/sedekah berupa makanan pokok pada si fakir dan miskin).
Pertanyaannya, mengapa ada muslim/muslimah dewasa yang belum terpanggil salat?. Pertama, karena belum merasakan nikmatnya terpenuhinya kebutuhan batin. Kedua, tatacara (
kaifiyah) salat belum dipahami dengan bekal ilmu fikih. Tidak sedikit sebagai muslim tetapi cara salatnya tidak dipahami karena tidak pernah mengaji ilmunya atau merasa sudah bisa hanya karena pernah salat. Ketiga, tidak merasa butuh pada Tuhan. Padahal, salat adalah media memohon pada-Nya.
Qiyamul LailBagi muslim yang telah mampu memenuhi salat
fardlu lima waktu, Islam pun mengajarkan untuk melaksanakan salat sunah (bila dilaksanakan mendapat poin/pahala, bila tidak melaksanakan tidak berdosa) yakni salat tahajud yang dilaksanakan setiap tengah malam (
qiyamu al-lail).
Hasil disertasi (karya ilmiah untuk mendapatkan gelar doktor) bidang ilmu kedokteran oleh M. Sholeh
‘Pengaruh Salat Tahajud terhadap Peningkatan Perubahan Respon Ketahanan Tubuh Imunologik suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi’ menyimpulkan, bila salat tahajud secara rutin, benar (secara fikih), ikhlas dan khusyuk, akan terbebas dari penyakit infeksi dan kanker.Riset ilmiah ini memberi fakta bahwa salat tahajud disunahkan Tuhan yang pelaksanaannya memiliki faedah secara medis pula. Hanya saja, kata kuncinya, rutin, benar, ikhlas, dan khusuk.Rutinitas bertahajud terlaksana bila salat lima waktu sudah baik. Mewujudkan sikap ikhlas, langkah yang harus dilakukan adalah janganlah bila salat tahajud diberitahukan pada pihak lain agar murni hubungan keeratan hamba pada Tuhan terwujud (terjauh dari sikap ingin dianggap ahli ibadah/
abid/abidin).Maka di rumah adalah tempat yang representatif (layak) karena tak seorang pun tahu. Nabi SAW pun mengajarkan, jadikanlah rumahmu sebagai surga yang digunakan untuk salat dan membaca al-Quran.Hal lain, bila rutin salat dan salat tahajud, janganlah bekas salat di jidat ditampakkan pada pihak lain dengan bentuk/bekas hitamnya (di jidat) menjadi pemandangan ketidakikhlasan. Model primitif ini menjadi bahan tertawaan dalam batin orang yang ikhlas beribadah.Kekhawatiran bahwa doa tidak dikabulkan Tuhan meski salat karena salatnya tidak ikhlas sebuah konsekuensi. Dengan demikian, sudah selazimnya dalam beribadah apa pun, ikhlas menjadi kata kunci dengan prinsip ibadahku hanya untuk-Mu Tuhan.Perjalanan mengakhiri Ramadan, dimanfaatkan salat tahajud, hajad, tasbih yang ikhlas, tidak memburu pahala. Sehingga ada pertanyaan ‘nakal’, bila stok pahala habis berarti tidak beribadah?. Keikhlasan beribadah pada Tuhan bukan karena pahala tapi mengharap rida-Nya akan diberi kompensasi berupa kemuliaan sesuai pilihan Tuhan pada si ahli ibadah. Amin. (*) *)
Penulis adalah dosen IAIN Kudus