BAGI muslimin yang taat, terdapat satu bulan dalam setahun yang aktivitasnya mewarnai pemberitaan media massa di Indonesia yakni bulan Ramadan. Andre Moller ilmuwan asing pun tertarik menelaah Ramadan di Jawa.
Ia ahli sejarah agama yang lahir di Jonstorp Swedia 1975. Pada 1999 ia belajar di Universitas Negeri Yogyakarta selama tiga tahun. Disertasinya di Universitas Lund Swedia berjudul Ramadan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting.
Riset tersebut sebagai bentuk respon orang Barat tatkala berbulan Ramadan di Jawa. Sebagai non-muslim, Moller menemukan sesuatu yang dianalisisnya. Bulan Ruwah sebagai bulan persiapan menyongsong Ramadan dengan tradisi bersih lingkungan, nyekar di makam leluhur, adanya tradisi khas yang bergeser menjadi pasar publik (Dugderan di Semarang, Dandangan di Kudus), pemasangan spanduk menyongsong Ramadan.
Adapun di bulan Ramadan, orang yang puasa beramal/bersedekah secara maksimal sehingga para pengamen memanfaatkan peluang untuk mendapatkan rezeki, biaya hidup pada bulan Ramadan meningkat sehingga pegadaian dijadikan alternatif mendapatkan dana, toko yang menjual sajadah, al-Quran, CD/kaset mengaji, mukena laris, penjualan petasan meningkat, mentradisikan kontroversi penentuan 1 Ramadan yang lama kelamaan masih belum dianggap hal biasa, salat tarwih yang semula diduga Moller sebagai sumber persatuan umat Islam.
Tapi kenyataannya terdapat perselisihan dalam jumlah rekaat salat, adanya tradisi membaca al-Quran di malam Ramadan (tadarus), iktikaf di tempat ibadah, adanya lailatul qadar, perbedaan penentuan 1 Syawal, tradisi mudik, takbiran, salat Idul Fitri, dan anjangsana (halalbihalal). Mengapa Ramadan ‘seksi’ untuk ditelaah?.
Menurut penulis, pertama, kaum muslimin ekstra-sibuk beraktivitas ibadah wajib dan sunah karena secara teologis, ibadah di bulan Ramadan pahala dilipatgandakan (penuh dengan bonus).
Padahal, bila merujuk pesan para sufi, janganlah bersandar pada amalmu dalam ibadah, tapi bersandarlah pada Tuhanmu (ikhlas). Ciri orang ikhlas (mukhlis) bila beribadah tak bertendensi mendapat apa, berapa pahalanya?. Tapi, ada atau tidak adanya pahala, tidak pokok, yang penting ngabekti marang Gusti dengan yakin Gusti iba pada hamba.
Bila jiwa ikhlas ini tertanam dalam hati setiap muslim yang beribadah (apa pun) tidak mungkin ibadahnya ‘disuarakan’ hingga terdengar publik (rentan tak ikhlas, ibadah muspro).