MUSIBAH yang diderita warga dunia dengan pandemi virus corona (Covid-19) memunculkan kemiskinan baru, karena banyak yang kehilangan sumber penghasilan. Musibah yang tak pernah diduga ini menjadi bahan renungan, terutama di bulan Ramadan.
Pertama, jatuhnya selembar daun pepohonan hanya atas kehendak Tuhan. Jadi, apa pun yang terjadi di dunia ini hanyalah kuasa-Nya. Dengan demikian, Dia-lah yang berkuasa menyingkirkan musibah.
Sebagai hamba tidak hanya berusaha secara dlohiriyah menaati anjuran pemerintah semata seperti social distancing, tidak berkerumun, memakai pelindung, menaati jam malam, juga upaya batiniyah dengan berdoa yang tak dibatasi ruang dan waktu oleh semua elemen bangsa, apa pun agama dan etnisnya.
Kedua, Al-Quran surat Al-Asr mengingatkan, sesungguhnya kehidupan manusia menderita kerugian karena wabah dan lainnya, kecuali orang yang beriman dan berbuat kebajikan sesuai kemampuan dan porsinya, serta upayanya saling mengingatkan pada sesamanya untuk mendekat pada Tuhan dengan berbuat kebajikan, diimbangi dengan kesabaran.
Mengajak hal ini kadangkala dihadapkan dengan respon negatif. Sehingga memerlukan strategi berupa umpan papan (sesuai situasi dan kondisi dalam mengajaknya). Tatkala orang sedang susah, lazimnya lebih mudah bila diajak ingat kepada Tuhan, tapi bila yang diingatkan/diajak lebih kaya, berpangkat, dan memiliki massa, mereka merasa enggan diingatkan karena (terbiasa) sombong.
Karakter inilah bibit kawit (embrio) diingatkan oleh Tuhan dengan ragam musibah dan menimpa lingkungannya, baik yang taat atau yang mbalelo perintah-Nya terimbas. Sebagai contoh, menjadi kelaziman bahwa membunyikan petasan, kembang api, dan sejenisnya mewarnai riuhnya bulan Ramadan, terutama malam Idul Fitri.
Tradisi boros tersebut perlu diakhiri, mengapa? itu bukan anjuran agama apa pun, bukan kebutuhan, tapi pemborosan yang dibalut dengan hobi foya-foya mengatasnamakan kesempatan.
Begitu pula bermewah-mewah dalam membelanjakan dana untuk membuat ornamen karnaval malam 1 Syawal (takbir keliling desa) ditiadakan karena derita corona. Hal yang utama adalah mengagungkan kebesaran Tuhan dengan bacaan takbir dan takhmid.
Bila menggunakan pengeras suara di tempat umum dan tempat ibadah pun dengan suara yang rendah manah, wajib dibatasi waktu, tidak larut malam.
Ingat, Allah Maha Mendengar doa hamba, tidak berdalih syiar yang kebablasen. Terpublikasikannya suara takbir tidak hanya didengar oleh orang yang seagama, tapi lintas agama sehingga perlu menghargainya dengan cara etis.
Ukuran etikanya dapat digambarkan, bila setiap tempat ibadah umat Islam di tiap RT/RW menyeruak suaranya alangkah hebohnya ’di angkasa’ karena bersaut-sautan yang (katanya) memuji kebesaran Tuhan dan berdoa.
Umat agama lain bila merayakan hari raya agamanya, khususnya di Jawa, tidak pernah menggunakan pengeras suara yang menggelegar, mengapa kita tidak menyadari hal itu!. Kedewasaan beragama diukur dengan sejauhmana kepekaannya memahami apa yang dialami pihak lain. Nuwun. (*)
*) Penulis adalah dosen IAIN Kudus