ADAGIUM/pepatah indah ini perlu ditanamkan, terutama bagi yang beribadah Ramadan, yakni: “
Perhiasan terindah adalah kerendahan hati, kasih yang teruji adalah kesetiaan, kekayaan terbesar adalah kebijaksanaan, harta terbaik adalah kejujuran, senjata terkuat adalah kesabaran, pengaman terpenting adalah iman, dan obat termanjur adalah doa”.
Orang yang puasa harus mencerminkan adagium itu tatkala dunia menghadapi wabah virus corona dan tatkala muslim dunia sedang berpuasa Ramadan. Hal ini untuk dijadikan momen berdoa agar musibah segera berlalu atas kuasa Allah.
Hal penting yang perlu dilanggengkan semenjak awal Ramadan hingga berakhir nanti di rumah masing-masing tatkala menjelang sahur kita sempatkan salat malam (tahajud dan hajat) bermunajat/memohon pada Allah agar kenyamanan dan kesehatan yang kita damba terajut lagi.
Untuk mengantisipasi agar keheningan malam Ramadan tetap lestari, tradisi yang perlu diakhiri bahwa tradisi zaman dulu (jadul) ketika orang masih primitif berpikirnya yakni ‘gemelegarnya’ suasana bising karena membangunkan calon orang sahur model
bahula.
Argumennya, pertama, tidak semua orang yang dilalui ‘pasukan gerompyang’ butuh dibangunkan sehingga suara musik yang tak merdu itu menjadi parasit keheningan Ramadan. Kedua, nalar berpikir masa lalu munculnya ‘musik gerompyang’ bila dinalar kondisi kini berbalik arus. Maksudnya, sudah tidak tepat, sehingga menjadi bahan tertawaan atas keprimitifan itu.
Ketiga, pelaku musik ‘gerompyang’ menggunakan nalar jadul di tengah kehidupan masyarakat kini bernalar milenial. Keempat, waktu membangunkan sering terlalu sore (dini hari), padahal sahur lazimnya pola instan (cepat) menjelang pagi karena sentuhan media masa kini. Kelima, lazimnya anak usia belia, membangunkan sahur tidak dengan bahasa orangtua, sehingga memicu persoalan.
Mengapa Eksis?Mengapa tradisi
bahulu masih eksis?. Semua elemen sosial tak peka untuk perubahan sehingga ‘pemusik gerompyang’ merasa nyaman dan menganggap tetap dibutuhkan, padahal tidak.
Untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang
tata tenterem kerta raharja, perlunya saling memosisikan diri secara proporsional. Pak Khatib Jumatan perlu mengingatkan bahwa grup ‘musik gerompyang’ yang mengelilingi perkampungan bertujuan membangunkan orang agar berbenah sahur untuk diingatkan agar diakhiri melalui mimbar suci, mengapa?.Banyak
madlorot daripada manfaat. Janganlah menyampaikan topik khotbah sebatas membaca buku khotbah cetakan edisi jadul dan bukan kreativitasnya khatib sendiri, sehingga dinamika kekinian tak tersentuh.Ide-ide segar dalam khotbah perlu dimunculkan, terutama masyarakat kini sudah mudah mengakses dinamika informasi kekinian, sehingga teks khutbah edisi kedaluwarsa tidak menarik bagi
mustami’in (pendengar).Hal lain, saking
update-nya informasi, Pak Khatib Jumat, kini membaca teks khotbah mengunduh/mengakses dari dunia maya/digital, tetapi materi yang disajikan tidak sesuai konteks sosial yang ada sehingga bias. Bila demikian yang terjadi, menjadi pemandangan lumrah, para pendengar khutbah mengantuk karena sudah tahu bahwa si khatib akan membacakan teks yang bulan/tahun lalu pernah dibaca, hanya pengulangan.Bahkan, teks yang dibaca khotib via medsos sudah dibaca pendengar/jemaahnya pada minggu/bulan lalu sehingga mendengar khotbah laksana membaca berita yang kedaluwarsa.Khatib tatkala khotbah pun, memanfaatkan speaker masjid untuk jemaah di dalam masjid saja, tidak perlu speaker luar yang suaranya ke luar/publik, sebagaimana Instruksi Dirjen Bimas Islam Kemenag RI Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala bahwa pengeras suara aktivitas masjid/musala tak menganggu warga yang istirahat. Pengeras suara yang disalurkan ke luar masjid (didengar khalayak umum) hanyalah ketika azan saja.
Nuwun. (*)
*) Penulis adalah dosen IAIN Kudus
[caption id="attachment_181865" align="alignleft" width="150"]
Moh Rosyid *)[/caption]
ADAGIUM/pepatah indah ini perlu ditanamkan, terutama bagi yang beribadah Ramadan, yakni: “
Perhiasan terindah adalah kerendahan hati, kasih yang teruji adalah kesetiaan, kekayaan terbesar adalah kebijaksanaan, harta terbaik adalah kejujuran, senjata terkuat adalah kesabaran, pengaman terpenting adalah iman, dan obat termanjur adalah doa”.
Orang yang puasa harus mencerminkan adagium itu tatkala dunia menghadapi wabah virus corona dan tatkala muslim dunia sedang berpuasa Ramadan. Hal ini untuk dijadikan momen berdoa agar musibah segera berlalu atas kuasa Allah.
Hal penting yang perlu dilanggengkan semenjak awal Ramadan hingga berakhir nanti di rumah masing-masing tatkala menjelang sahur kita sempatkan salat malam (tahajud dan hajat) bermunajat/memohon pada Allah agar kenyamanan dan kesehatan yang kita damba terajut lagi.
Untuk mengantisipasi agar keheningan malam Ramadan tetap lestari, tradisi yang perlu diakhiri bahwa tradisi zaman dulu (jadul) ketika orang masih primitif berpikirnya yakni ‘gemelegarnya’ suasana bising karena membangunkan calon orang sahur model
bahula.
Argumennya, pertama, tidak semua orang yang dilalui ‘pasukan gerompyang’ butuh dibangunkan sehingga suara musik yang tak merdu itu menjadi parasit keheningan Ramadan. Kedua, nalar berpikir masa lalu munculnya ‘musik gerompyang’ bila dinalar kondisi kini berbalik arus. Maksudnya, sudah tidak tepat, sehingga menjadi bahan tertawaan atas keprimitifan itu.
Ketiga, pelaku musik ‘gerompyang’ menggunakan nalar jadul di tengah kehidupan masyarakat kini bernalar milenial. Keempat, waktu membangunkan sering terlalu sore (dini hari), padahal sahur lazimnya pola instan (cepat) menjelang pagi karena sentuhan media masa kini. Kelima, lazimnya anak usia belia, membangunkan sahur tidak dengan bahasa orangtua, sehingga memicu persoalan.
Mengapa Eksis?
Mengapa tradisi
bahulu masih eksis?. Semua elemen sosial tak peka untuk perubahan sehingga ‘pemusik gerompyang’ merasa nyaman dan menganggap tetap dibutuhkan, padahal tidak.
Untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang
tata tenterem kerta raharja, perlunya saling memosisikan diri secara proporsional. Pak Khatib Jumatan perlu mengingatkan bahwa grup ‘musik gerompyang’ yang mengelilingi perkampungan bertujuan membangunkan orang agar berbenah sahur untuk diingatkan agar diakhiri melalui mimbar suci, mengapa?.
Banyak
madlorot daripada manfaat. Janganlah menyampaikan topik khotbah sebatas membaca buku khotbah cetakan edisi jadul dan bukan kreativitasnya khatib sendiri, sehingga dinamika kekinian tak tersentuh.
Ide-ide segar dalam khotbah perlu dimunculkan, terutama masyarakat kini sudah mudah mengakses dinamika informasi kekinian, sehingga teks khutbah edisi kedaluwarsa tidak menarik bagi
mustami’in (pendengar).
Hal lain, saking
update-nya informasi, Pak Khatib Jumat, kini membaca teks khotbah mengunduh/mengakses dari dunia maya/digital, tetapi materi yang disajikan tidak sesuai konteks sosial yang ada sehingga bias. Bila demikian yang terjadi, menjadi pemandangan lumrah, para pendengar khutbah mengantuk karena sudah tahu bahwa si khatib akan membacakan teks yang bulan/tahun lalu pernah dibaca, hanya pengulangan.
Bahkan, teks yang dibaca khotib via medsos sudah dibaca pendengar/jemaahnya pada minggu/bulan lalu sehingga mendengar khotbah laksana membaca berita yang kedaluwarsa.
Khatib tatkala khotbah pun, memanfaatkan speaker masjid untuk jemaah di dalam masjid saja, tidak perlu speaker luar yang suaranya ke luar/publik, sebagaimana Instruksi Dirjen Bimas Islam Kemenag RI Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala bahwa pengeras suara aktivitas masjid/musala tak menganggu warga yang istirahat. Pengeras suara yang disalurkan ke luar masjid (didengar khalayak umum) hanyalah ketika azan saja.
Nuwun. (*)
*) Penulis adalah dosen IAIN Kudus