Minggu, 26 Januari 2025


BULAN Ramadan dan Syawal ditunggu kehadirannya oleh muslim sedunia, sehingga penentuannya menarik disimak.

Versi ahli ilmu falak konteks Indonesia ada delapan model. Pertama yakni Aboge berpedoman pada tahun Jawa lama dengan ketetapan Tahun Alif pada Rabu Wage (Aboge).  Aliran ini diikuti muslim di Dusun Golak, Ambarawa, warga Bonokeling di Desa Adiraja, Kecamatan Adipala, Cilacap, dan lainnya.

Kedua, Asapon yang berpedoman pada kalender Jawa Islam yang diperbarui, sebagaimana Keraton Yogyakarta, (3) Rukyah dalam satu negara (rukyatul hilal fi wilayatil hukmi) berpegang hasil rukyat (meneropong) tiap menjelang awal bulan.

Keberhasilan melihat bulan, esok harinya masuk tanggal 1 bulan berikutnya, bila tak berhasil, bulan yang telah berjalan disempurnakan 30 hari. Berpegang hadis Nabi “berpuasalah setelah melihat bulan”.

Model ini dipegang NU (Nahdlatul Ulama), keberadaan perhitungan (hisab) hanya alat bantu me-rukyat, (4) Rukyah air pasang bagi kelompok An-Nadir di Kota Goa, Sulsel, (5) Rukyah internasional, di negara mana pun jika ada yang melihat hilal (dengan alat astronomi) waktu itu mulai tanggal 1 tanpa mempertimbangkan wilayah. Ini dipegangi Hizbut Tahrir,

Kemudian (6) Hisab Imkanur Rukyah, berdasar perhitungan ilmu falak (hisab) yang memungkinkan me-rukyat, sebagaimana pemerintah RI melalui Badan Hisab dan Rukyah Kemenag, (7)  penetapan Makkah, dalihnya sebagai sentral Islam, (8) Hisab Wujudul Hilal, perhitungan ilmu falak (hisab) tatkala bulan (hilal) atau bulan sabit di atas ufuk dan matahari tenggelam.

Peristiwa itu pada siang hari ketika terjadi konjungsi (ijtimak) yakni matahari, bumi, dan bulan berada pada satu dataran. Jeda antara saat konjungsi dan saat matahari tenggelam diperkirakan posisi matematis bulan di cakrawala, sehingga ketinggian bulan sabit dapat diketahui/diperkirakan.

Angka ketinggian itu dapat didefinisikan sebagai wujudul hilal (imkanul rukyat) yakni manakala posisi bulan sabit sudah di atas ufuk pada ketinggian tertentu, meski tak dapat dirukyat (imkanul rukyat) yakni manakala posisi bulan sabit pada ketinggian yang memungkinkan bisa dirukyat secara visual, esok harinya dinyatakan tanggal 1, tanpa menunggu hasil rukyat. Model ini dipegang Muhammadiyah.Bagi yang menggunakan prosedur hisab mengandalkan wujudul hilal (hisab haqiqi) dan pengamatan dengan rukyat, sebagai penyempurna atau konfirmasi hasil hisab (model rukyat) beranggapan kondisi wujudul hilal belum bisa disebut bulan baru bila tak terjadi imkanul rukyat, sehingga perlu rukyatul hilal bil fi’li meski yakin belum atau tak imkanul rukyat, tetap merukyat.Penetapan awal puasa dan Syawal terjadi karena perbedaan penetapan kriteria hilal. Ada yang menerapkan tinggi hilal 8, 6, 2, atau 1 derajat, dalih menurut keyakinannya. Jadi, tak bijaksana bila menyalahkan karena perbedaan.Khazanah pemikiran kalender Islam, khususnya di Indonesia dikenal istilah wujudul hilal (WH) sebagai upaya kreatif atau jalan tengah antara teori ijtimak (qabla al-ghurub) dan visibilitas hilal (VH) (imkanur rukyat) yakni jalan tengah antara hisab murni dan rukyat murni. Hal ini bersumber dari pengalaman subyektif para pengamat yang melahirkan ragam varian.VH lebih populer di kalangan astronom karena empiris. WH mempertimbangkan posisi hilal saat matahari terbenam. Metode ini memulai tanggal satu bulan baru pada kalender Islam. Awal bulan Qomariyah dimulai bila matahari terbenam terlebih dulu dibanding bulan.Selain delapan teknik di atas, ada yang memberi pemaknaan kata rukyat (melihat) dengan pemahaman ‘melihat dalam hati’ (keyakinan). Hal ini tidak ada standar baku yang bersifat umum dan menafikan teknologi. Menyikapi hal ini, berpulang pada diri individu dalam penentuan bulan baru (1 Ramadan/1 Syawal). Selamat beribadah Ramadan di rumah dengan khusuk.  (*) *) Penulis dosen IAIN Kudus

Baca Juga

Komentar

Gagasan Terkini

Terpopuler