SUARA langkah kaki terdengar pekat dikala para pelajar memasuki ruang-ruang kelas di pagi buta. Hiruk-pikuk keramaian mulai terasa ketika waktu kian dekat dengan kegiatan belajar-mengajar. Selalu ada asa yang terpatri dalam diri jutaan pelajar saat mengikuti proses pendidikan.
Seremoni wisuda dan pemberian ijazah menjadi ujung pelipur paripurna perjuangan panjang dan melelahkan dalam proses pendidikan yang dilalui para pelajar di pelbagai jenjang pendidikan: TK, SD, SMP, SMA, dan unversitas. Tak pelak sorak-sorai menjadikan wisuda dan penerimaan ijazah sebagai manifestasi prestasi pribadi.
Persepsi pendidikan sebagai prestasi pribadi acap kali menjangkiti kaum terpelajar. Sehingga membuat mereka terjatuh pada lubang oportunis, yang mana pengetahuan dan pengalaman dijadikan alat untuk memperoleh kekayaan materi, jabatan, dan kesenangan pribadi. Tentu persepsi sempit tersebut telah menegasikan dimensi sosial dalam diri kaum terpelajar.
Bagaikan kacang yang lupa kulitnya, banyak kaum terpelajar yang lupa pada ibu pertiwi yang telah membesarkannya. Mereka lupa bahwa pendidikan yang diperoleh semata-mata bukanlah hasil prestasi pribadi, tapi hasil kolektif.
Artinya, prestasi tersebut tidak lepas dari campur tangan masyarakat. Kaum terpelajar lupa atau bahkan amnesia, bahwa sarana-prasarana sekolah yang mereka peroleh berasal dari subsidi masyarakat, baik dari pajak maupun SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan).
Kaum terpelajar lupa, guru yang mendidik mereka di bangku sekolah digaji dari hasil jerih payah dan perasan keringat masyarakat. Jadi sangat ironis bila kaum terpelajar masih berperilaku asosial.
Dimensi sosial merupakan ajaran moral bangsa Indonesia yang termanifestasi dalam konsep ekasila yakni gotong-royong. Kaum terpelajar hendaknya ikut berkontribusi, memikirkan, dan berpihak pada masyarakat Indonesia terutama masyarakat papa. Hal tersebut merupakan menifestasi kesadaran kamu terpelajar akan hutang budi yang mereka peroleh saat mengikuti proses pendidikan.
Sejarah kekejaman kolonialisme Belanda membuat mereka tergerak hati untuk melakukan kebijakan pilitik etis atau politik balas budi yang terkenal dengan Trias Van Deventer. Kebijakan yang terinspirasi dari tulisan Een Eereschuld (utang kehormatan) karya Van Deventer (1857-1915) tersebut memberikan gambaran bagaimana utang kehormatan harus dibayar meski tidak dapat dituntut di muka hakim. Bagaimana dengan kaum terpelajar?.
Tanamkan Sejak Dini