PEMERINTAH resmi mengumumkan masuknya wabah Covid-19 di Indonesia yang sudah menjadi pandemi global ini pada (2/3/2020). Informasi ini menjawab bantahan bahwa Indonesia “kebal” terhadap virus dari Cina tersebut. Padahal sebelumnya peneliti Harvard telah memprediksi
cases Covid-19 sudah ada sebelum tanggal pemerintah melakukan siaran pers tersebut.
Organisasi kesehatan PBB, WHO-pun meragukan Indonesia dalam hal deteksi Covid-19. Akan tetapi menurut laporan
Global Health Security atau Ketahanan Kesehatan Global 2019 yang dirilis
The Economist Inteligence Unit, menempatkan kemampuan Indonesia di posisi 30 dari 195 negara.
Artinya Indonesia memiliki
ability yang mumpuni untuk mendeteksi segala sesuatu yang mengancam ketahanan kesehatan, termasuk virus corona. Walaupun begitu, semestinya hasil penelitian dari Harvard ini bisa dijadikan informasi penting bahwa potensi Indonesia terinfeksi corona tetap ada. Hanya saja itu tidak terjadi. Informasi “berharga” ini disikapi skeptis dan percaya diri berlebihan bahwa Indonesia kuat dari Covid-19.
Dalam sistem demokrasi, hasil penelitian Harvard ini bagi seorang pemimpin politik, seharusnya bukan hanya menjadi informasi yang bersifat akademik saja. Melainkan sumber pertimbangan pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang berpengaruh pada kondisi masyarakat.
Sayangnya pada kasus Covid-19 ini pemerintah cenderung tidak transparan akan informasi dan data persebaran
suspect corona. Terbukti pemerintah tidak menginformasikan lokasi spesifik yang dilalui positif
suspect corona. Berbeda dengan Korea Selatan yang menginformasikan detil mengenai letak, moda transportasi hingga menit dan jamnya.
Padahal menurut penelitian Stiglitz yang fokus pada informasi menyebut, informasi memengaruhi keputusan-keputusan kebijakan ekonomi maupun politik. Stiglitz mencermati baik dalam karya teoretisnya maupun dalam perannya sebagai Ketua Dewan Penasehat Ekonomi Presiden Bill Clinton dan Ekonom Kepala di Bank Dunia bahwa dengan informasi yang akuntable, mampu memperkaya kualitas informasi yang menyusun dasar-dasar pengambilan keputusan dalam sistem ekonomi dan politik kita.
Akan tetapi ada resistensi politik yang menyebabkan inisiatif-inisiatif itu terpatahkan. Artinya dalam kondisi darurat corona ini, pemerintah masih sempat berpikir dampak politis dalam menangani wabah Covid-19. Informasi ini sangatlah penting. Sehingga ada pihak-pihak yang takut akan kejelasan yang mungkin dihadirkan oleh sistem informasi yang lebih baik. Kelompok kepentingan tertentu tidak mau informasi yang nyata macam itu tersebar di publik, karena memiliki dampak yang sungguh nyata.
Ujung dari simpulan informasi yang salah menurut Stiglitz mememengaruhi kebijakan ekonomi. Salah satu indikatornya ialah mengenai satuan ukur yang menafikan lingkungan hidup (polusi udara, air, atau suara dan barangkali juga pandemic virus) pada sesuatu yang vital bagi masyarakat. Maka celaka seorang pemimpin politik yang mengabaikan ini.
Salah menyikapi informasi bagi seorang pemimpin politik yang berupaya memenuhi harapan-harapan warganya dan mendorong kesejahteraan keamanan, terjamin secara kesehatan, dan pendidikan, baik yang bersifat ekonomi maupun fisik mereka, justru ditarik ke arah yang berlainan: ia akan dinilai berdasarkan kinerjanya di bidang ekonomi, sekalipun sebagian besar dari itu berada di luar kendali presiden, melainkan “pembisik-pembisik”-nya.
Supply Terganggu, Membayar Lebih MahalKetidakpastian informasi mengenai pandemik Covid-19 ini akhirnya menyebabkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Masyarakat menjadi
panic buying, dan sebagian lagi melihat peluang mencari keuntungan pribadi dengan melakukan stok masker,
hand sanitizer yang merupakan komoditas yang paling banyak permintaan di pasaran.
Rantai
supply pun terganggu; dampaknya tidak hanya pada kelangkaan masker tetapi pada komoditas kebutuhan lainnya. Akhirnya risiko melebar bukan hanya kepada me-
recovery suspect Covid, tapi pada stabilitas ekonomi nasional.
Kesalahan menyikapi informasi akhirnya memecah fokus pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid-19. Bukan malah berpikir bagaimana cara mencegah, tapi sibuk mencari pelaku stok masker. Di sisi lain, terjadi transaksi ekspor masker, padahal dalam negeri sedang mengalami peningkatan permintaan.
Andaikata pemerintah tanggap menghadapi situasi ini, saat kemunculan wabah, pemerintah sudah melakukan upaya-upaya kewaspadaan, bukan hanya menangkal virus masuk dan mewabah, tetapi juga menjaga persedian barang dalam negeri, mengatur
supply dan distribusi. Sehingga kelangkaan bisa diminimalisir dan harga dapat dikendalikan.
Meski telat mengawali
start, baiknya saat ini pemerintah segera mengambil tindakan. Pemerintah bisa mengambil alih semua
supply masker agar bisa didistribusikan secara merata dan masyarakat menjadi lebih terlindungi sementara waktu. Cara ini ampuh diterapkan oleh pemerintah Korea Selatan di bawah kepemimpinan presiden Moon Jae In pada saat wabah corona mengalami peningkatan yang signifikan di Negeri Ginseng ini.
Faktanya, kenaikan harga tidak bisa dihindari karena hukum ekonominya mengatakan jika permintaan banyak
supply sedikit, maka harga akan mengalami kenaikan. Tetapi dalam kebutuhan, masyarakat kadang mengabaikan harga karena tuntutan kebutuhan yang tidak bisa ditunda apalagi dihindari. Keteledoran ini membuat kita membayar lebih mahal.
Menjaga AsetDunia ekonomi kita terjerembab karena dalam menyikapi wabah; pemerintah tidak memberikan argumentasi dengan dasar pemikiran yang kuat. Efeknya investor maupun masyarakat tidak bisa membuat simulasi kebutuhannya. Mereka tidak bisa mengukur diri mengenai apa yang bisa diperbuat, dilakukan, dan menakar tentang kesanggupan mengahadapi situasi ekonomi yang berisiko ini.Padahal antara investor serta pelaku ekonomi dan pemerintah cenderung berbeda dalam menyikapi persoalan ekonomi. Karena semua didasarkan pada
gain, changes, and risk. Investor memiliki kecenderungan dalam menentukan sikap apakah mereka akan melakukan investasi ataupun transaksi. Investor berfokus pada laba maksimal, ekspansi bisnis, serta sesuatu yang bersifat menaikan nilai perusahaan.Sedangkan pemerintah harus berupaya untuk menjaga stabilitas perekonomian dan juga kesejahteraan masyarakatnya. Pada akhirnya semua negara tidak berdaya menghadapi wabah yang secara tiba-tiba mengubah keputusan-keputusan investasi dan transaksi.Negara yang kuat ekonominya seperti Cina saja mencatatkan penurunan ekonomi hingga 30% selama wabah. Korea Selatan ekonominya turun 30%. Pun dengan Amerika, serta negara-negara Eropa yang mencatatkan penurunan ekonominya pada masa pandemik corona sekarang ini.Padahal negara-negara ini memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang baik dan cenderung stabil. Selain itu, fasilitas kesehatan negara-negara tersebut cukup memadai. Bahkan selama wabah, Cina mampu mendirikan rumah sakit khusus menangangi wabah Covid-19 dalam hitungan hari. Pendirian rumah sakit ini tidak hanya melihat dari faktor kecepatan, kecanggihan teknologi, tetapi juga pada persediaan tenaga kerja: keperawatan dan kedokteran.Sulit bagi Indonesia mengkovertisasi kemampuan ini. Kita sudah tertinggal banyak dan jauh. Tapi pada kondisi sebaliknya, kita sangat bisa membayangkan jika wabah ini menginfeksi masyarakat kita.Ekonomi Indonesia yang saat ini bertumpu pada sektor pariwisata dan industri akhirnya jatuh. Menurut data dari Kementerian Pariwisata, Indonesia telah kehilangan dua juta dari turis Cina dengan total devisa mencapai Rp 6,1 trilliun. Jumlah tersebut belum dari negara lain yang mengambil langkah
lockdown menyusul wabah covid yang makin merebak.Selanjutnya, adalah angka
banned penerbangan dan
booking time yang biasanya terjadi pada caturwulan pertama setiap tahunnya. Dengan situasi itu maka pelaku UMKM di sekitar area wisata yang merasakan dampaknya secara langsung.Tetapi apakah ini hanya terjadi di Indonesia?. Tidak! Masing-masing negara mengalaminya. Hanya saja terjadi pada industri yang berbeda, karena setiap negara memiliki sumber pendapatan sendiri dengan model industrinya sendiri. Akibat wabah ini, Cina memberhentikan sementara industri produksinya. Sementara seluruh negara juga menerapkan
lockdown dan
banned penerbangan dari berbagai negara yang mengalami wabah.Artinya, seluruh negara sebenarnya sama-sama tidak mampu membendung risiko ekonomi dari wabah ini. Maka daripada berpikir untuk berusaha memperbaiki ekonomi dan situasi sulit, pemerintah maupun pengusaha seharusnya menjaga aset dan sumber daya yang mereka miliki.Tujuannya agar tidak merugi dua kali yaitu tidak bisa melakukan transaksi dan kehilangan aset yang sudah dimiliki. Langkah memberi subsidi penerbangan hingga 50% oleh pemerintah mungkin akan membantu pelaku industri wisata untuk tetap bisa beroperasi, akan tetapi jauh lebih berisiko karena sama saja membuka peluang terjadinya wabah yang besar.Apabila itu terjadi, maka pemerintah harus melakukan pengeluaran bidang kesehatan untuk melakukan
recovery. Padahal untuk melakukannya pemerintah perlu menyediakan fasilitas kesehatan, butuh waktu dan dana yang lebih besar. Dan jika itu dimulai di tengah wabah yang berlangsung, terus terang; saya ragu.Maaf tanpa maksud mengutamakan antara satu dan yang lain, tapi wabah Covid-19 ini justru merenggut garda terdepan kita dalam melakukan pembangunan dan pertahanan melawan ganasnya virus. Berpulangnya Guru Besar Epidemiologi FKM-UI, guru besar UGM, dan para dokter spesialis yang bertugas merawat para korban Covid-19 justru menjadi korban pertama. Korban-korban ini adalah aset besar bangsa dalam kepakarannya. Dan entah berapa lama Indonesia akan memiliki generasi yang memiliki kemampuan yang sama dengan beliau-beliau ini. Semoga tidak lama.Tutup setiap peluang yang memungkinkan wabah ini merebak, karena setiap masyarakat berhak untuk hidup sehat. Maka kebijakan pemerintahlah yang dijadikan arah pengambilan keputusan. Kebijakan inilah penjamin dari setiap risiko yang diambil secara ekonomi atau Ketidakpastian pasar.Imbauan untuk beraktivitas di luar rumah untuk menekan penyebaran wabah mestinya ditingkatkan menjadi sebuah kebijakan yang bersifat memaksa. Bagi pelanggar dikenakan risiko hukum. Dan bagi masyarakat, hendaknya tidak abai dengan hal ini. Boleh Anda tidak takut mati, tapi jangan mengajak bunuh diri bersama-sama. Patuhlah! (*)
*) Pengamat Ekonomi Untag Semarang, International Bussines Student YSu University, Korea Selatan
[caption id="attachment_185815" align="alignleft" width="150"]
Ahmad Farub *)[/caption]
PEMERINTAH resmi mengumumkan masuknya wabah Covid-19 di Indonesia yang sudah menjadi pandemi global ini pada (2/3/2020). Informasi ini menjawab bantahan bahwa Indonesia “kebal” terhadap virus dari Cina tersebut. Padahal sebelumnya peneliti Harvard telah memprediksi
cases Covid-19 sudah ada sebelum tanggal pemerintah melakukan siaran pers tersebut.
Organisasi kesehatan PBB, WHO-pun meragukan Indonesia dalam hal deteksi Covid-19. Akan tetapi menurut laporan
Global Health Security atau Ketahanan Kesehatan Global 2019 yang dirilis
The Economist Inteligence Unit, menempatkan kemampuan Indonesia di posisi 30 dari 195 negara.
Artinya Indonesia memiliki
ability yang mumpuni untuk mendeteksi segala sesuatu yang mengancam ketahanan kesehatan, termasuk virus corona. Walaupun begitu, semestinya hasil penelitian dari Harvard ini bisa dijadikan informasi penting bahwa potensi Indonesia terinfeksi corona tetap ada. Hanya saja itu tidak terjadi. Informasi “berharga” ini disikapi skeptis dan percaya diri berlebihan bahwa Indonesia kuat dari Covid-19.
Dalam sistem demokrasi, hasil penelitian Harvard ini bagi seorang pemimpin politik, seharusnya bukan hanya menjadi informasi yang bersifat akademik saja. Melainkan sumber pertimbangan pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang berpengaruh pada kondisi masyarakat.
Sayangnya pada kasus Covid-19 ini pemerintah cenderung tidak transparan akan informasi dan data persebaran
suspect corona. Terbukti pemerintah tidak menginformasikan lokasi spesifik yang dilalui positif
suspect corona. Berbeda dengan Korea Selatan yang menginformasikan detil mengenai letak, moda transportasi hingga menit dan jamnya.
Padahal menurut penelitian Stiglitz yang fokus pada informasi menyebut, informasi memengaruhi keputusan-keputusan kebijakan ekonomi maupun politik. Stiglitz mencermati baik dalam karya teoretisnya maupun dalam perannya sebagai Ketua Dewan Penasehat Ekonomi Presiden Bill Clinton dan Ekonom Kepala di Bank Dunia bahwa dengan informasi yang akuntable, mampu memperkaya kualitas informasi yang menyusun dasar-dasar pengambilan keputusan dalam sistem ekonomi dan politik kita.
Akan tetapi ada resistensi politik yang menyebabkan inisiatif-inisiatif itu terpatahkan. Artinya dalam kondisi darurat corona ini, pemerintah masih sempat berpikir dampak politis dalam menangani wabah Covid-19. Informasi ini sangatlah penting. Sehingga ada pihak-pihak yang takut akan kejelasan yang mungkin dihadirkan oleh sistem informasi yang lebih baik. Kelompok kepentingan tertentu tidak mau informasi yang nyata macam itu tersebar di publik, karena memiliki dampak yang sungguh nyata.
Ujung dari simpulan informasi yang salah menurut Stiglitz mememengaruhi kebijakan ekonomi. Salah satu indikatornya ialah mengenai satuan ukur yang menafikan lingkungan hidup (polusi udara, air, atau suara dan barangkali juga pandemic virus) pada sesuatu yang vital bagi masyarakat. Maka celaka seorang pemimpin politik yang mengabaikan ini.
Salah menyikapi informasi bagi seorang pemimpin politik yang berupaya memenuhi harapan-harapan warganya dan mendorong kesejahteraan keamanan, terjamin secara kesehatan, dan pendidikan, baik yang bersifat ekonomi maupun fisik mereka, justru ditarik ke arah yang berlainan: ia akan dinilai berdasarkan kinerjanya di bidang ekonomi, sekalipun sebagian besar dari itu berada di luar kendali presiden, melainkan “pembisik-pembisik”-nya.
Supply Terganggu, Membayar Lebih Mahal
Ketidakpastian informasi mengenai pandemik Covid-19 ini akhirnya menyebabkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Masyarakat menjadi
panic buying, dan sebagian lagi melihat peluang mencari keuntungan pribadi dengan melakukan stok masker,
hand sanitizer yang merupakan komoditas yang paling banyak permintaan di pasaran.
Rantai
supply pun terganggu; dampaknya tidak hanya pada kelangkaan masker tetapi pada komoditas kebutuhan lainnya. Akhirnya risiko melebar bukan hanya kepada me-
recovery suspect Covid, tapi pada stabilitas ekonomi nasional.
Kesalahan menyikapi informasi akhirnya memecah fokus pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid-19. Bukan malah berpikir bagaimana cara mencegah, tapi sibuk mencari pelaku stok masker. Di sisi lain, terjadi transaksi ekspor masker, padahal dalam negeri sedang mengalami peningkatan permintaan.
Andaikata pemerintah tanggap menghadapi situasi ini, saat kemunculan wabah, pemerintah sudah melakukan upaya-upaya kewaspadaan, bukan hanya menangkal virus masuk dan mewabah, tetapi juga menjaga persedian barang dalam negeri, mengatur
supply dan distribusi. Sehingga kelangkaan bisa diminimalisir dan harga dapat dikendalikan.
Meski telat mengawali
start, baiknya saat ini pemerintah segera mengambil tindakan. Pemerintah bisa mengambil alih semua
supply masker agar bisa didistribusikan secara merata dan masyarakat menjadi lebih terlindungi sementara waktu. Cara ini ampuh diterapkan oleh pemerintah Korea Selatan di bawah kepemimpinan presiden Moon Jae In pada saat wabah corona mengalami peningkatan yang signifikan di Negeri Ginseng ini.
Faktanya, kenaikan harga tidak bisa dihindari karena hukum ekonominya mengatakan jika permintaan banyak
supply sedikit, maka harga akan mengalami kenaikan. Tetapi dalam kebutuhan, masyarakat kadang mengabaikan harga karena tuntutan kebutuhan yang tidak bisa ditunda apalagi dihindari. Keteledoran ini membuat kita membayar lebih mahal.
Menjaga Aset
Dunia ekonomi kita terjerembab karena dalam menyikapi wabah; pemerintah tidak memberikan argumentasi dengan dasar pemikiran yang kuat. Efeknya investor maupun masyarakat tidak bisa membuat simulasi kebutuhannya. Mereka tidak bisa mengukur diri mengenai apa yang bisa diperbuat, dilakukan, dan menakar tentang kesanggupan mengahadapi situasi ekonomi yang berisiko ini.
Padahal antara investor serta pelaku ekonomi dan pemerintah cenderung berbeda dalam menyikapi persoalan ekonomi. Karena semua didasarkan pada
gain, changes, and risk. Investor memiliki kecenderungan dalam menentukan sikap apakah mereka akan melakukan investasi ataupun transaksi. Investor berfokus pada laba maksimal, ekspansi bisnis, serta sesuatu yang bersifat menaikan nilai perusahaan.
Sedangkan pemerintah harus berupaya untuk menjaga stabilitas perekonomian dan juga kesejahteraan masyarakatnya. Pada akhirnya semua negara tidak berdaya menghadapi wabah yang secara tiba-tiba mengubah keputusan-keputusan investasi dan transaksi.
Negara yang kuat ekonominya seperti Cina saja mencatatkan penurunan ekonomi hingga 30% selama wabah. Korea Selatan ekonominya turun 30%. Pun dengan Amerika, serta negara-negara Eropa yang mencatatkan penurunan ekonominya pada masa pandemik corona sekarang ini.
Padahal negara-negara ini memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang baik dan cenderung stabil. Selain itu, fasilitas kesehatan negara-negara tersebut cukup memadai. Bahkan selama wabah, Cina mampu mendirikan rumah sakit khusus menangangi wabah Covid-19 dalam hitungan hari. Pendirian rumah sakit ini tidak hanya melihat dari faktor kecepatan, kecanggihan teknologi, tetapi juga pada persediaan tenaga kerja: keperawatan dan kedokteran.
Sulit bagi Indonesia mengkovertisasi kemampuan ini. Kita sudah tertinggal banyak dan jauh. Tapi pada kondisi sebaliknya, kita sangat bisa membayangkan jika wabah ini menginfeksi masyarakat kita.
Ekonomi Indonesia yang saat ini bertumpu pada sektor pariwisata dan industri akhirnya jatuh. Menurut data dari Kementerian Pariwisata, Indonesia telah kehilangan dua juta dari turis Cina dengan total devisa mencapai Rp 6,1 trilliun. Jumlah tersebut belum dari negara lain yang mengambil langkah
lockdown menyusul wabah covid yang makin merebak.
Selanjutnya, adalah angka
banned penerbangan dan
booking time yang biasanya terjadi pada caturwulan pertama setiap tahunnya. Dengan situasi itu maka pelaku UMKM di sekitar area wisata yang merasakan dampaknya secara langsung.
Tetapi apakah ini hanya terjadi di Indonesia?. Tidak! Masing-masing negara mengalaminya. Hanya saja terjadi pada industri yang berbeda, karena setiap negara memiliki sumber pendapatan sendiri dengan model industrinya sendiri. Akibat wabah ini, Cina memberhentikan sementara industri produksinya. Sementara seluruh negara juga menerapkan
lockdown dan
banned penerbangan dari berbagai negara yang mengalami wabah.
Artinya, seluruh negara sebenarnya sama-sama tidak mampu membendung risiko ekonomi dari wabah ini. Maka daripada berpikir untuk berusaha memperbaiki ekonomi dan situasi sulit, pemerintah maupun pengusaha seharusnya menjaga aset dan sumber daya yang mereka miliki.
Tujuannya agar tidak merugi dua kali yaitu tidak bisa melakukan transaksi dan kehilangan aset yang sudah dimiliki. Langkah memberi subsidi penerbangan hingga 50% oleh pemerintah mungkin akan membantu pelaku industri wisata untuk tetap bisa beroperasi, akan tetapi jauh lebih berisiko karena sama saja membuka peluang terjadinya wabah yang besar.
Apabila itu terjadi, maka pemerintah harus melakukan pengeluaran bidang kesehatan untuk melakukan
recovery. Padahal untuk melakukannya pemerintah perlu menyediakan fasilitas kesehatan, butuh waktu dan dana yang lebih besar. Dan jika itu dimulai di tengah wabah yang berlangsung, terus terang; saya ragu.
Maaf tanpa maksud mengutamakan antara satu dan yang lain, tapi wabah Covid-19 ini justru merenggut garda terdepan kita dalam melakukan pembangunan dan pertahanan melawan ganasnya virus. Berpulangnya Guru Besar Epidemiologi FKM-UI, guru besar UGM, dan para dokter spesialis yang bertugas merawat para korban Covid-19 justru menjadi korban pertama. Korban-korban ini adalah aset besar bangsa dalam kepakarannya. Dan entah berapa lama Indonesia akan memiliki generasi yang memiliki kemampuan yang sama dengan beliau-beliau ini. Semoga tidak lama.
Tutup setiap peluang yang memungkinkan wabah ini merebak, karena setiap masyarakat berhak untuk hidup sehat. Maka kebijakan pemerintahlah yang dijadikan arah pengambilan keputusan. Kebijakan inilah penjamin dari setiap risiko yang diambil secara ekonomi atau Ketidakpastian pasar.
Imbauan untuk beraktivitas di luar rumah untuk menekan penyebaran wabah mestinya ditingkatkan menjadi sebuah kebijakan yang bersifat memaksa. Bagi pelanggar dikenakan risiko hukum. Dan bagi masyarakat, hendaknya tidak abai dengan hal ini. Boleh Anda tidak takut mati, tapi jangan mengajak bunuh diri bersama-sama. Patuhlah! (*)
*) Pengamat Ekonomi Untag Semarang, International Bussines Student YSu University, Korea Selatan