Rabu, 21 Mei 2025


“Semua tempat adalah sekolah”

KATA bijak bestari yang seharusnya tumbuh dalam kesadaran-kesadaran anak bangsa, kini telah dipasung. Sekolah yang menjadi alat legitimasi ilmu pengetahuan hanya diperuntukkan oleh lembaga pendidikan yang telah di klaster-klasterkan; SD, SMP, SMA, dan universitas.

Rumah, kantor, pabrik, pasar, mal, gunung, laut dan sebagainya tidak lagi dipersepsi sebagai tempat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Rumah hanya untuk berkeluarga dan beristirahat. Kantor, pabrik, dan pasar hanya untuk mencari materi. Mal, gunung, dan laut hanya untuk bersenang-senang. Sedikit orang yang menggunakan arena tersebut untuk menambah ilmu pengetahuan.

Tulisan “Sekolah diliburkan karena pandemi virus corona”, mewarani headline di media nasional. Sepintas dari narasi-narasi yang dimuat, sekolah yang dimaksud yakni lembaga pendidikan yang telah diklaster-klasterkan.

Anggapan sekolah yang telah di klasterkan tersebut, mengakibatkan adanya monopoli ilmu pengetahuan yang secara laten telah membunuh arena-arena liyan. Sehingga banyak orang secara tidak sadar telah mengakui akan monopoli ilmu pengetahuan oleh lembaga pendidikan yang diklaster-klasterkan tersebut.

Sekolah yang orientasinya ilmu pengetahuan dan membentuk kepribadian, kini mengalami peyorasi yakni orientasi paripurnanya berupa ijazah. Yang mana ijazah digunakan sebagai alat advokasi seseorang untuk memperoleh pekerjaan.

Kalau kita sedikit skeptis, orientasi utama seseorang memperoleh pekerjaan adalah materi. Sehingga acap kali menghilangkan kesadaran untuk terus menambah ilmu pengetahuan. Di situlah malapetaka seseorang yang telah mereduksi makna sekolah sebagai lembaga pendidikan yang telah diklaster-klasterkan.
Belajar dari tokoh bangsa yang ahli diplomasi dan menguasai banyak bahasa, H. Agus Salim. Beliau mendidik anak sendiri bersama istrinya yang acap kali dilakukaan sambil bermain dan di waktu makan. Saat anaknya di uji dengan anak yang sekolah Belanda, anaknya bisa unggul. Selain itu anak-anaknya juga bisa tumbuh-berkembang dan jadi “orang”.Inti dapat kita ambil dari H. Agus Salim bahwa, belajar untuk mencari ilmu pengetahuan dan pengembangan kepribadian tidak harus dengan bersekolah yang telah diklaster-klasterkan. Tempat seperti rumah dan ruang makan juga bisa menjadi kanal untuk memperoleh pengetahuan.Jadi jangan heran, jika ada intruksi dalam rangka antisipasi pandemi Covid-19, seluruh sekolah untuk semua jenjang pendidikan diliburkan. Maka persepsi orang tua dan anak adalah libur dari mencari ilmu pengetahuan dan menumbuhkan kepribadian yang lebih baik, sedangkan keinginan guru dan pemerintah hanya pindah tempat saja.Hal itu terbukti, adanya warta “Diliburkan untuk Belajar di Rumah, Pelajar Pati Malah Nongkrong di Waduk Selo Romo” (MURIANEWS.com, 23/03/2010). Dengan demikian, tempat lain termasuk rumah belum menjadi ruang para pelajar untuk mencari ilmu pengetahuan dan pengembangan kepribadian. Secara implisit, sekolah yang diklaster-klaterkan tersebut telah menjadi wahana tunggal bagi pelajar.Andaikan persepsi “semua tempat adalah sekolah”, maka tidak ada lagi kata sekolah libur. Yang ada kegiatan sekolah hanya pindah tempat, sehingga kesadaran seseorang akan ilmu pengetahuan dan pengembangan kepribadian akan terus berjalan hingga akhir hayat. Sebagaimana diktum Nabi Muhammad SAW “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat”. (*) *) Mahasiswa Pascasrjana UIN Sunan Kalijaga dan aktif di Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Baca Juga

Komentar

Gagasan Terkini

Terpopuler