“Jika para pelajar mendapatkan pengajaran cukup tentang sejarah, efek sosial, dan dampak psikologi dari teknologi, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang mengetahui bagaimana cara menggunakan teknologi dan bukan sebaliknya, generasi yang diperbudak teknologi”Demikianlah ungkapan Neil Postman dalam buku
“Technology: the Surrender of Culture to Technology”. Peringatan Neil Postman tentang dampak buruk teknologi tersebut tentu sangat relevan dikontekstualisasikan pada saat ini, setelah dominasi peran teknologi semakin hari semakin terkoreksi.
Meski tak bisa dimungkiri juga bahwa pesatnya perkembangan teknologi juga telah memberikan beragam kemudahan di ranah masyarakat. Namun, nyatanya perkembangan teknologi juga telah memberikan konstribusi negatif terhadap tumbuh kembang generasi digital.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Informasi dan Unicev pada tahun 2014, setidaknya penggna
smartphone telah mencapai sekitar 47 juta jiwa. Jumlah tersebut jika dipersentasikan telah mencapai 14 persen dari seluruh pengguna handphone di dunia.
Sementara jika dilihat dari komposisi usia, maka persentase pengguna
gadget anak-anak dan remaja di Indonesia telah mencapai 79,5 %. Adapun sebagian besar dari keseluruhan persentase tersebut digunakan untuk mencari informasi, hiburan, dan menjalin relasi melalui media sosial.
Tidak hanya sampai di situ, hasil surve dari
Indonesia Hottes Insight juga menunjukkan bahwa 63 persen anak telah memiliki akun Facebook yang digunakan untuk
update ’status’, mengunggah foto-foto, serta bermain
game. Kemudian 9 persen anak telah memiliki akun Twitter, dan 19 persen anak terlibat secara aktif bermain
game online di internet melalui
gadget-nya (Primatia Yogi Wulandari: Anak Asuhan Gadget).
Data tersebut setidaknya telah tersaji sekitar 6 tahun yang lalu. Bagaimana dengan tahun 2020?. Tentu sudah terjadi peningkatan secara signifikan, mengingat begitu mudah dan murahnya
gadget didapatkan.
Lebih jauh dari itu, bahkan data yang ditunjukkan oleh Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat menyebutkan bahwa hingga akhir tahun 2019, telah terjadi peningkatan hingga mencapai 209 pasien yang kecanduan bermain
gadget. Dalam konteks ini, penulis buku
“Mendidik Anak di Era Digital”, Shin Ye Jin juga menjelaskan tentang candu yang dimiliki oleh generasi digital.
Candu itu ialah ketergantungan yang dimiliki oleh generasi-generasi milenial terhadap dunia maya, sehingga berampak pada pola disiplin dan kontrol diri setiap jiwa (Moh. Nurul Huda: Menyelamatkan Generasi Digital Native).
Berpijak pada kenyataan itulah, maka diperlukan penyelamatan yang konstruktif, agar generasi milenial tidak menjadi korban atas pesatnya perkembangan arus digital. Tentu saja, banyak hal yang bisa dilakukan untuk meredam agar korban-korban tidak lagi berjatuhan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melaksanakan literasi media digital dunia pendidikan.
Literasi DigitalOemar Hamalik dalam hal ini mendefiniskan pendidikan sebagai suatu proses dalam rangka memengaruhi siswa agar dapat menyesuaikan diri sebaik mungkin terhadap lingkungan dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk berfungsi secara kuat dalam kehidupan masyarakat.Pendidikan memiliki peran besar terhadap kualitas kehidupan manusia. Peran pendidikan ini menjadi bagian penting untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.Tentu saja, pendidikan merupakan salah satu pilihan logis yang bisa dijadikan sebagai alternatif dalam menyelamatkan generasi digital. Penyelamatan ini bukan berarti sebagai upaya penghentian secara total, melainkan upaya untuk memberikan keteladanan bagi para generasi digital agar bisa memanfaatkan penggunaan teknologi dengan sebaik-baiknya.Dalam hal ini, kita perlu meneladani Negara Kanguru. Di sana, literasi digital menjadi bagian penting dalam dunia pendidikan. Bahkan, pendidikan literasi digital juga ditempatkan sebagai salah satu kurikulum di sekolahan-sekolahan. Melalui kurikulum itu, anak-anak diajarkan beragam hal, termasuk cara-cara mengakses internet secara sehat dan bermartabat.Lebih jauh, dalam pendidikan itu juga secara spesifik menanamkan kesadaran kepada generasi-generasi muda untuk memahami bahwa teknologi memang memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan manusia. Namun, jika tidak digunakan secara turut dan patut, maka akan memberikan dampak yang tidak baik bagi kehidupan manusia (Agus Sudibyo: Menyelamatkan Generasi Digital).Berpijak pada kenyataan itulah, literasi digital perlu digemakan secara nasional agar tujuan pendidikan segera terwujudkan. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa penyelamatan terhadap dampak tenologi melalui literasi digital bukanlah solusi yang bersifat final. Namun tentu juga diperlukan bantuan dari banyak pihak, terlebih dari keluarga.Hanya saja dengan adanya pendidikan digital seperti ini, minimal bisa meredam dampak buruk teknologi yang hanya digunakan secara serampangan, sehingga mengakibatkan banyak korban berjatuhan. Lebih jauh, adanya literasi digital ini juga bisa dijadikan sebagai batu loncatan untuk membangun inovasi bagi generasi muda untuk memanfaatkan teknologi dengan sebaik-baiknya.Apalagi, di zaman modern seperti saat ini, usaha-usaha di bidang
startup dan hampir semua bidang pekerjaan meniscayakan adanya pemanfaatan teknologi, maka literasi digital melalui pendidikan menjadi hal yang wajar untuk segera diimplementasikan.
Wallahu a’lam bi al-shawaab. (*)
*) Mahasiswi Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus
[caption id="attachment_184305" align="alignleft" width="150"]
Naily Ulyamillati *)[/caption]
“Jika para pelajar mendapatkan pengajaran cukup tentang sejarah, efek sosial, dan dampak psikologi dari teknologi, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang mengetahui bagaimana cara menggunakan teknologi dan bukan sebaliknya, generasi yang diperbudak teknologi”
Demikianlah ungkapan Neil Postman dalam buku
“Technology: the Surrender of Culture to Technology”. Peringatan Neil Postman tentang dampak buruk teknologi tersebut tentu sangat relevan dikontekstualisasikan pada saat ini, setelah dominasi peran teknologi semakin hari semakin terkoreksi.
Meski tak bisa dimungkiri juga bahwa pesatnya perkembangan teknologi juga telah memberikan beragam kemudahan di ranah masyarakat. Namun, nyatanya perkembangan teknologi juga telah memberikan konstribusi negatif terhadap tumbuh kembang generasi digital.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Informasi dan Unicev pada tahun 2014, setidaknya penggna
smartphone telah mencapai sekitar 47 juta jiwa. Jumlah tersebut jika dipersentasikan telah mencapai 14 persen dari seluruh pengguna handphone di dunia.
Sementara jika dilihat dari komposisi usia, maka persentase pengguna
gadget anak-anak dan remaja di Indonesia telah mencapai 79,5 %. Adapun sebagian besar dari keseluruhan persentase tersebut digunakan untuk mencari informasi, hiburan, dan menjalin relasi melalui media sosial.
Tidak hanya sampai di situ, hasil surve dari
Indonesia Hottes Insight juga menunjukkan bahwa 63 persen anak telah memiliki akun Facebook yang digunakan untuk
update ’status’, mengunggah foto-foto, serta bermain
game. Kemudian 9 persen anak telah memiliki akun Twitter, dan 19 persen anak terlibat secara aktif bermain
game online di internet melalui
gadget-nya (Primatia Yogi Wulandari: Anak Asuhan Gadget).
Data tersebut setidaknya telah tersaji sekitar 6 tahun yang lalu. Bagaimana dengan tahun 2020?. Tentu sudah terjadi peningkatan secara signifikan, mengingat begitu mudah dan murahnya
gadget didapatkan.
Lebih jauh dari itu, bahkan data yang ditunjukkan oleh Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat menyebutkan bahwa hingga akhir tahun 2019, telah terjadi peningkatan hingga mencapai 209 pasien yang kecanduan bermain
gadget. Dalam konteks ini, penulis buku
“Mendidik Anak di Era Digital”, Shin Ye Jin juga menjelaskan tentang candu yang dimiliki oleh generasi digital.
Candu itu ialah ketergantungan yang dimiliki oleh generasi-generasi milenial terhadap dunia maya, sehingga berampak pada pola disiplin dan kontrol diri setiap jiwa (Moh. Nurul Huda: Menyelamatkan Generasi Digital Native).
Berpijak pada kenyataan itulah, maka diperlukan penyelamatan yang konstruktif, agar generasi milenial tidak menjadi korban atas pesatnya perkembangan arus digital. Tentu saja, banyak hal yang bisa dilakukan untuk meredam agar korban-korban tidak lagi berjatuhan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melaksanakan literasi media digital dunia pendidikan.
Literasi Digital
Oemar Hamalik dalam hal ini mendefiniskan pendidikan sebagai suatu proses dalam rangka memengaruhi siswa agar dapat menyesuaikan diri sebaik mungkin terhadap lingkungan dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk berfungsi secara kuat dalam kehidupan masyarakat.
Pendidikan memiliki peran besar terhadap kualitas kehidupan manusia. Peran pendidikan ini menjadi bagian penting untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tentu saja, pendidikan merupakan salah satu pilihan logis yang bisa dijadikan sebagai alternatif dalam menyelamatkan generasi digital. Penyelamatan ini bukan berarti sebagai upaya penghentian secara total, melainkan upaya untuk memberikan keteladanan bagi para generasi digital agar bisa memanfaatkan penggunaan teknologi dengan sebaik-baiknya.
Dalam hal ini, kita perlu meneladani Negara Kanguru. Di sana, literasi digital menjadi bagian penting dalam dunia pendidikan. Bahkan, pendidikan literasi digital juga ditempatkan sebagai salah satu kurikulum di sekolahan-sekolahan. Melalui kurikulum itu, anak-anak diajarkan beragam hal, termasuk cara-cara mengakses internet secara sehat dan bermartabat.
Lebih jauh, dalam pendidikan itu juga secara spesifik menanamkan kesadaran kepada generasi-generasi muda untuk memahami bahwa teknologi memang memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan manusia. Namun, jika tidak digunakan secara turut dan patut, maka akan memberikan dampak yang tidak baik bagi kehidupan manusia (Agus Sudibyo: Menyelamatkan Generasi Digital).
Berpijak pada kenyataan itulah, literasi digital perlu digemakan secara nasional agar tujuan pendidikan segera terwujudkan. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa penyelamatan terhadap dampak tenologi melalui literasi digital bukanlah solusi yang bersifat final. Namun tentu juga diperlukan bantuan dari banyak pihak, terlebih dari keluarga.
Hanya saja dengan adanya pendidikan digital seperti ini, minimal bisa meredam dampak buruk teknologi yang hanya digunakan secara serampangan, sehingga mengakibatkan banyak korban berjatuhan. Lebih jauh, adanya literasi digital ini juga bisa dijadikan sebagai batu loncatan untuk membangun inovasi bagi generasi muda untuk memanfaatkan teknologi dengan sebaik-baiknya.
Apalagi, di zaman modern seperti saat ini, usaha-usaha di bidang
startup dan hampir semua bidang pekerjaan meniscayakan adanya pemanfaatan teknologi, maka literasi digital melalui pendidikan menjadi hal yang wajar untuk segera diimplementasikan.
Wallahu a’lam bi al-shawaab. (*)
*) Mahasiswi Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus