DALAM dunia pendidikan anti-plagiarism atau antiplagiat sudah sering diperbincangkan. Bahkan sudah wajib dilakukan untuk kelengkapan sebuah karya ilmiah. Plagiarism adalah merupakan tindakan menjiplak ide, gagasan atau karya orang lain untuk diakui sebagai karya sendiri atau menggunakan karya tanpa menyebutkan sumbernya sehingga menimbulkan asumsi yang salah atau keliru mengenai asal muasal dari suatu ide, gagasan atau karya. (Soelistyo,2011).
Dalam regulasi, sebenarnya plagiarism sudah sangat jelas digambarkan dalam undang-undang plagiarism. Salah satunya yaitu Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa plagiat merupakan tindakan pidana yang dijelaskan dalam pasal 72 ayat 1, pasal 49 ayat 1, dan 2. Bisa juga dilihat di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 17 Tahun 2010.
Dalam regulasi itu disebut bahwa “Plagiat adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.”
Di lingkup perguruan tinggi, bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti penelitian dosen, skripsi mahasiswa, pembuatan buku, referensi, buku ajar, jurnal atau karya karya yang lain yang mendukung karya intelektual. Seberapa persentase plagiasi seseorang dapat dilihat melalui verifikasi sebuah karya dengan melakukan pengecekan melalui sistem atau aplikasi yang saat ini bisa kita peroleh dengan mudah. Melalui aplikasi itulah kemudian kita dapat menemukan berapa persentase plagiasi kita, dan sumbernya dari mana sudah terlihat dengan jelas.
Namun demikian, setiap institusi atau editor memiliki kebijakan tersendiri dalam menentukan besaran persentase untuk plagiarism. Ada batasannya, relatif antara 10-25 persen, atau mungkin kurang lebihnya di angka itu. Sebagai contoh skripsi atau tugas akhir, setiap lembaga pendidikan memberikan toleransi yang berbeda-beda soal plagiarism, bisa sekitar 20 persen.
Namun, bisa juga pada institusi yang lain akan menggunakan dengan nilai yang berbeda, tergantung kebijakan mereka. Pada sektor yang lain, misalnya dalam penerbitan buku. Editor biasanya sudah menentukan bahwa untuk mengirimkan sebuah artikel diwajibkan bahwa angka plagiasi dengan kisaran angka tertentu harus dilampirkan.
Masih banyak contoh terkait dengan plagiasi dalam bentuk-bentuk yang lain. Contoh di atas hanyalah bagian kecil tentang plagiarism dalam dunia pendidikan. Terpenting adalah sebuah karya ilmiah itu memiliki rambu-rambu yang jelas sebelum karya itu dipublikasikan secara luas.
Plagiat versus Korupsi
Kalimat ini tentu mengandung makna yang sangat mendalam. Apa hubungan plagiat dan korupsi. Bagaimana seseorang yang melakukan plagiat bisa dikatakan korupsi?. Menurut saya ini menjadi sebuah pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan.
Kita masih ingat, beberapa waktu ini salah seorang rektor di perguruan tinggi negeri di Semarang, Jawa Tengah diduga melakukan plagiasi atas karya skripsi mahasiswanya. Hal itu ditulis dengan gamblang oleh sebuah media online serad.id. Media ini mengupas secara detail tentang praktik plagiarism itu dan kemudian menjadi konsumsi publik. Tidak hanya itu, kasus ini kemudian berkembang dan menimbulkan efek pada banyak aspek, termasuk aspek hukum. Kasus tersebut mungkin hanya satu dari sekian banyak kasus lain dari plagiat yang ramai dibicarakan publik.
Yang menjadi perhatian adalah bagaimana jika plagiarism itu dilakukan oleh seorang intelektual dengan jenjang akademik tertinggi yakni profesor seperti ditulis dalam liputan berita tersebut. Inilah yang menarik untuk didiskusikan.
Plagiarisme atau lebih familiar dengan kata menjiplak merupakan aib bagi dunia pendidikan. Secara administratif tentu memiliki konsekuensi karena dianggap telah melanggar aspek akademis. Tidak hanya itu, tentu sanksi moral dan sanksi sosial perlu diterapkan sehingga perbuatan tidak tersebut terjadi lagi.