Minggu, 26 Januari 2025


ADA dua istilah. Regrouping yakni dua sekolah atau lebih dijadikan satu (disatukan) misalnya karena kekurangan siswa. Relokasi, yakni sekolah dipindah dari satu zona ke zona lain karena kebijakan.

Hal yang menarik ditelaah, banyaknya jabatan kepala SDN, SMPN, dan pengawas PAUD di kota Kudus menyimpan persoalan karena ada unsur enggan bagi guru menjabat kepala SDN, terlepas dari gosip (yang belum tentu benar) bahwa menjabat kepala SDN dan SMPN tidak nihil persyaratan 'khusus'. Di sisi lain, menjabat membutuhkan kecermatan dalam tatabirokrasi, terutama keuangan.

Hanya guru senior yang memenuhi persyarat,tapi menjelang akhir mengabdi lazimnya ingin mengakhiri dg mulus, tanpa cela. Padahal, birokrasi butuh ubo rampe yang kadang sulit menghindar dari "persyaratan".

Banyak SDN yang berdekatan jarak dan masing-masing minim siswa (memenuhi syarat di-regrouping). Solusinya, menyegerakan regrouping SDN tersebut yang sesuai peraturan untuk mengurangi jumlah guru, pengawas, dan kepala SDN.

Hal ini sudah dimafhumi pejabat, tapi lamban mengeksekusi sehingga spekulasi yang muncul memperkuat sinyalemen yang kadang tak hoax, bahwa jabatan guru dan kepala sekolah dijadikan "lumbung padi" bagi oknum yang mengangkatnya. Bila ontran-ontran ini hoax, tentu regrouping sekolah tidak memerlukan waktu lama dan tanpa harus ada kritik dari publik.

Regrouping akan meningkatkan pelayanan pada siswa. Hal lain, yang dikeluhkan pemda adalah kekurangan tenaga guru, tapi ada beberapa guru yang potensial malah dibirokratkan, setelah tidak menjabat birokrat, distafkan. Idealnya dikembalikan menjadi guru untuk memperkuat barisan tenaga kependidikan.
Imbas kekurangan guru ditambal dengan mengangkat guru honorer yang kadang tanpa seleksi, hanya mengandalkan kedekatan pada penentu kebijakan. Hal ini merupakan pantangan besar dalam dunia pendidikan.Tak diangkatnya guru honorer sebagai ASN dengan sebutan K3 sejak diberlakukannya UU ASN karena mereka kala itu menjadi tenaga honorer tanpa tes/seleksi. Tetapi, fakta itu, kini terulang kembali dengan pengangkatan guru honorer di jenjang SDN dan SMPN tanpa seleksi.Persoalan kian rumit dengan diberlakukannya Peraturan Mendikbud Nomor 8 Tahun 2020 tertanggal 5 Feb 2020 tentang juknis BOS Reguler bahwa dana BOS diberikan langsung kepada sekolah, dapat digunakan maksimal 50 % (sebelumnya  maksimal 15 %) untuk membayar guru honorer dengan dua syarat (1) yang diangkat sebelum tahun 2020 (31 Des 2019 ke belakang). Guru honorer merupakan guru non-ASN/PNS yang tak terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), (2) guru yang memiliki Nomor Unit Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).Tidak semua pemkab/pemkot menerbitkan NUPTK merupakan persoalan tersendiri akibat lanjutan dalam hal pengangkatan status kepegawaian. Upaya UU ASN memilah job  pegawai selain ASN tetapi belum mencapai hasil maksimal karena kesenjangn antara kebutuhan tenaga guru yang mendesak di satu sisi, di sisi lain guru berjibun di perkotaan. (*) *) Dosen IAIN Kudus

Baca Juga

Komentar

Gagasan Terkini

Terpopuler