BENCANA alam merupakan fenomena alam yang bersifat destruktif terhadap sendi-sendi kehidupan. Bencana tersebut sering mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, dan kerugian harta benda. Wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis dan geologis yang berpotensi bencana, baik disebabkan faktor alam maupun faktor manusia.
Menurut Sutikno (2007) Indonesia termasuk wilayah rentan berbagai bencana seperti erupsi gunungapi, gempa bumi, dan tsunami, sebab Indonesia terletak di zona subduksi antara tiga lempeng tektonik (lempeng Eurasia, India-Australia, dan Pasifik), antara dua samudra (Samudra Hindia dan Pasifik), dan antara dua benua (benua Australia dan Asia).
Selain itu, kondisi topografi yang berbukit-bergunung dengan jumlah curah hujan yang relatif tinggi turut berkontribusi terhadap kejadian bencana.
Selain faktor alam, faktor manusia juga menyumbang terhadap kejadian bencana. Aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam sering tidak memperhatikan kondisi lingkungan, namun lebih menekankan kepada aspek ekonomi. Misalnya pembangunan kompleks perumahan dan infrastruktur di lereng terjal, banyak yang belum diaudit lingkungan, akibatnya memicu bencana longsor. Perencanaan tata ruang kota juga sering kurang maksimal, sehingga memicu banjir.
Pertumbuhan penduduk di kota-kota besar di Indonesia selalu meningkat angkanya dari tahun ke tahun. Hal tersebut mempunyai konsekuensi terhadap peningkatan kebutuhan hidup baik sandang, pangan, dan papan. Akibatnya, pemenuhan tempat tinggal menjadi semakin meningkat, yang mengharuskan membuka lahan untuk permukiman.
Kota Semarang, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan Jakarta sebagai pusat industri dan perdagangan di Indonesia memberikan sumbangsih yang besar terhadap kemajuan perekonomian. Namun aktivitas tersebut juga berpengaruh negatif terhadap kondisi lingkungan, akibatnya degradasi lingkungan tidak dapat terhindarkan, yang pada gilirannya mengakibatkan becana alam seperti banjir, longsor lahan, dan intrusi air laut (Marfai and King, 2007).
Upaya alih fungsi lahan pertanian ke permukiman tidak mempertimbangkan aspek lingkungan, tetapi lebih ke aspek ekonomi. Hal tersebut banyak dijumpai di daerah perbukitan yang dibangun kompleks perumahan seperti yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Akibatnya, di daerah tersebut sering terjadi bencana longsor lahan setiap musim hujan.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya penanggulangan bencana secara efektif dan efisien untuk mereduksi angka korban dan kerugian akibat bencana.
Kejadian Bencana
Berdasarkan data 10 tahun terakhir kejadian bencana di Indonesia yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa tahun 2009 terdapat 1,245 kejadian bencana, 694 korban meninggal dunia/hilang dan 204,268 rumah rusak berat. Tahun 2010 terdapat 1,945 kejadian bencana, 1,853 korban meninggal/hilang dan 20,084 unit rumah rusak berat.
Tahun 2011 terdapat 1,619 kejadian bencana, 428 orang meninggal/hilang dan 13,549 unit rumah rusak berat. Tahun 2012 terdapat 1,780 kejadian bencana, 314 korban meninggal/hilang dan 10,686 unit rumah rusak berat. Tahun 2013 terdapat 1,666 kejadian, 511 korban meninggal/hilang dan 17,727 unit rumah rusak berat. Tahun 2014 terdapat 1,961 kejadian bencana, 601 korban meninggal/hilang dan 20,079 unit rumah rusak berat.
Tahun 2015 terdapat 1,694 kejadian bencana, 276 korban meninggal dunia/hilang dan 5,217 unit rumah rusak berat. Tahun 2016 terdapat 2,306 kejadian bencana, 569 korban meninggal/hilang dan 9,029 unit rumah rusak berat. Tahun 2017 terdapat 2,866 kejadian, 360 korban meninggal/hilang dan 10,452 unit rumah rusak berat.
Sementara tahun 2018 terdapat 3,397 kejadian, 3,874 orang meninggal dunia/hilang dan 117,310 rumah rusak berat. Tahun 2019 terdapat 1,834 kejadian, 409 korban meninggal/hilang dan 3,448 unit rumah rusak berat (BNPB, 2019).
Dari data BNPB tersebut menunjukkan bahwa intensitas dan frekuensi kejadian bencana di Indonesia hingga kini masih cukup tinggi setiap tahunnya dengan jumlah korban jiwa dan kerugian harta benda cukup besar. Angka korban jiwa dan kerusakan yang cukup besar tersebut menunjukkan upaya penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana belum berjalan optimal.