Selasa, 14 Januari 2025

Pentingnya Informasi Spasial dalam Mitigasi Bencana

Murianews
Rabu, 22 Januari 2020 12:13:26
Pentingnya Informasi Spasial dalam Mitigasi Bencana
Pusdal Ops BPBD Kudus saat menunjukan peta rawan bencana di wilayah Kabupaten Kudus, Rabu (14/11/2018). (MuriaNewsCom/Dian Utoro Aji). 

BENCANA alam merupakan fenomena alam yang bersifat destruktif terhadap sendi-sendi kehidupan. Bencana tersebut sering mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, dan kerugian harta benda. Wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis dan geologis yang berpotensi bencana, baik disebabkan faktor alam maupun faktor manusia.

Menurut Sutikno (2007) Indonesia termasuk wilayah rentan berbagai bencana seperti erupsi gunungapi, gempa bumi, dan tsunami, sebab Indonesia terletak di zona subduksi antara tiga lempeng tektonik (lempeng Eurasia, India-Australia, dan Pasifik), antara dua samudra (Samudra Hindia dan Pasifik), dan antara dua benua (benua Australia dan Asia).

Selain itu, kondisi topografi yang berbukit-bergunung dengan jumlah curah hujan yang relatif tinggi turut berkontribusi terhadap kejadian bencana.

Selain faktor alam, faktor manusia juga menyumbang terhadap kejadian bencana. Aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam sering tidak memperhatikan kondisi lingkungan, namun lebih menekankan kepada aspek ekonomi. Misalnya pembangunan kompleks perumahan dan infrastruktur di lereng terjal, banyak yang belum diaudit lingkungan, akibatnya memicu bencana longsor. Perencanaan tata ruang kota juga sering kurang maksimal, sehingga memicu banjir.

Pertumbuhan penduduk di kota-kota besar di Indonesia selalu meningkat angkanya dari tahun ke tahun. Hal tersebut mempunyai konsekuensi terhadap peningkatan kebutuhan hidup baik sandang, pangan, dan papan. Akibatnya, pemenuhan tempat tinggal menjadi semakin meningkat, yang mengharuskan membuka lahan untuk permukiman.

Kota Semarang, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan Jakarta sebagai pusat industri dan perdagangan di Indonesia memberikan sumbangsih yang besar terhadap kemajuan perekonomian. Namun aktivitas tersebut juga berpengaruh negatif terhadap kondisi lingkungan, akibatnya degradasi lingkungan tidak dapat terhindarkan, yang pada gilirannya mengakibatkan becana alam seperti banjir, longsor lahan, dan intrusi air laut (Marfai and King, 2007).

Upaya alih fungsi lahan pertanian ke permukiman tidak mempertimbangkan aspek lingkungan, tetapi lebih ke aspek ekonomi. Hal tersebut banyak dijumpai di daerah perbukitan yang dibangun kompleks perumahan seperti yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Akibatnya, di daerah tersebut sering terjadi bencana longsor lahan setiap musim hujan.

Oleh karena itu, perlu adanya upaya penanggulangan bencana secara efektif dan efisien untuk mereduksi angka korban dan kerugian akibat bencana.

 

Kejadian Bencana

Berdasarkan data 10 tahun terakhir kejadian bencana di Indonesia yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa tahun 2009 terdapat 1,245 kejadian bencana, 694 korban meninggal dunia/hilang dan 204,268 rumah rusak berat. Tahun 2010 terdapat 1,945 kejadian bencana, 1,853 korban meninggal/hilang dan 20,084 unit rumah rusak berat.

Tahun 2011 terdapat 1,619 kejadian bencana, 428 orang meninggal/hilang dan 13,549 unit rumah rusak berat. Tahun 2012 terdapat 1,780 kejadian bencana, 314 korban meninggal/hilang dan 10,686 unit rumah rusak berat. Tahun 2013 terdapat 1,666 kejadian, 511 korban meninggal/hilang dan 17,727 unit rumah rusak berat. Tahun 2014 terdapat 1,961 kejadian bencana, 601 korban meninggal/hilang dan 20,079 unit rumah rusak berat.

Tahun 2015 terdapat 1,694 kejadian bencana, 276 korban meninggal dunia/hilang dan 5,217 unit rumah rusak berat. Tahun 2016 terdapat 2,306 kejadian bencana, 569 korban meninggal/hilang dan 9,029 unit rumah rusak berat. Tahun 2017 terdapat 2,866 kejadian, 360 korban meninggal/hilang dan 10,452 unit rumah rusak berat.

Sementara tahun 2018 terdapat 3,397 kejadian, 3,874 orang meninggal dunia/hilang dan 117,310 rumah rusak berat. Tahun 2019 terdapat 1,834 kejadian, 409 korban meninggal/hilang dan 3,448 unit rumah rusak berat (BNPB, 2019).

Dari data BNPB tersebut menunjukkan bahwa intensitas dan frekuensi kejadian bencana di Indonesia hingga kini masih cukup tinggi setiap tahunnya dengan jumlah korban jiwa dan kerugian harta benda cukup besar. Angka korban jiwa dan kerusakan yang cukup besar tersebut menunjukkan upaya penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana belum berjalan optimal.
Untuk itu, perlu adanya strategi dan implementasi mitigasi bencana secara efektif guna mereduksi angka korban jiwa dan kerugian sarana prasarana permukiman seperti rumah, jalan, jembatan, bangunan untuk berbagai kebutuhan manusia, da lainnya. Mitigasi BencanaPenanggulangan bencana merupakan serangkaian upaya meliputi penetapan kebijakan pembangunan berisiko bencana, pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Adapun tujuan penanggulangan bencana adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana.Menurut Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penanggulangan bencana terdiri atas tiga tahap yakni prabencana, tanggap darurat, dan pasca bencana.Dalam penanggulangan bencana alam, tidak dapat dilakukan secara instan, namun diperlukan adanya tahapan-tahapan yang terstruktur, sistematis dan massif (TMS). Tahapan tersebut penting dalam rangka mereduksi angka korban jiwa dan perencaan fungsi kawasan yang ramah lingkungan. Dari tahapan tersebut harapannya angka risiko korban jiwa dan harta benda dapat ditekan sekecil mungkin.Pengurangan risiko bencana kini mengalami pergeseran paradigma dari paradigma konvensional ke holistik. Masyarakat dahulu beranggapan bencana merupakan takdir, sehingga mereka hanya pasrah ketika terjadi bencana.Paradigma tersebut saat ini dinilai tidak relevan lagi, namun, masih tetap mengakar di masyarakat, akibatnya korban bencana masih tetap ada. Saat ini pengurangan risiko sudah berkembang menjadi paradigma holistik, yang di dalamnya mencakup analisis, penaksiran, dan pengelolaan risiko bencana (Hadmoko et al., 2010).Hal paling mendasar yang perlu dilakukan untuk menanggulangi bencana adalah penyediaan informasi spasial. Informasi ini berupa peta kerawanan bencana. Sebab, kejadian bencana masa lampau dan saat ini merupakan kunci untuk memprediksi kejadian bencana di masa yang akan datang (Panizza, 1996).Artinya bencana yang pernah terjadi di suatu daerah memungkinkan akan terjadi lagi di masa yang akan datang, walaupun intensitasnya berbeda, sehingga eksistensi peta tersebut sangat penting.Eksistensi peta bencana selain untuk mereduksi angka korban bencana, juga dapat digunakan sebagai dasar untuk merencanakan penggunaan lahan agar penggunaan lahan di daerah tersebut sesuai dengan kemampuannya, sehingga pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang berkelanjutan.Instansi pemerintah yang berwenang dan bertanggung jawab dalam mitigasi becana nasional adalah BNPB, Basarnas, KemenLHK, PMI, dan pemerintah daerah. Perlu adanya koordinasi dan sinergi yang baik dalam upaya menanggulangi bencana baik sebelum, saat, dan pascakejadian bencana. Faktor lain yang cukup penting adalah kesadaran masyakarat Indonesia itu sendiri, agar selalu waspada, siap siaga, dan selalu berperan aktif mengikuti peraturan dan kebijakan pemerintah.Selain itu perlu bersama-sama menjaga lingkungan sekitar dan ikut berkontribusi dalam memanfaatkan sumber daya alam secara bijak dengan menerapkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. (*) *) Dosen Tadris IPS IAIN Ponorogo

Baca Juga

Komentar

Terpopuler