Catatan Haul 115 RA Kartini: Refleksi Perjalanan Kesetaraan Perempuan
Murianews
Rabu, 18 September 2019 09:31:23
'Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya'
LAGU ini berkumandang di negeri tercinta sebagai penghormatan kepada Pahlawan Nasional kita - RA Kartini - dan hari kelahirannya di tanggal 21 April kini diperingati sebagai Hari Kartini - sebagai penghargaan atas jasanya memperjuangkan emansipansi perempuan.
Lahir di Jepara, 21 April 1869 sebagai anak kelima Bupati Jepara Raden Mas Sosroningrat, R.A. Kartini adalah anak dari seorang selir, dan menjadi anak perempuan pertama dari sebelas bersaudara. Ibunya, Ngasirah, adalah perempuan kalangan biasa dan bukan keluarga bangsawan .
Meskipun demikian, R.M. Sosroningrat mempunyai pikiran yang cukup maju pada masa itu. Anak-anak perempuannya diizinkannya bersekolah. R.A Kartini berkesempatan bersekolah di ELS (Eropese Lagere School). Namun sayang, aturan kala itu hanya memungkinkan perempuan bersekolah sampai usia 12 tahun. Setelah mencapai usia tersebut, perempuan dari kalangan bangsawan harus dipingit dan tidak diizinkan keluar rumah.
Pendidikan di ELS, memberi kesempatan R.A. Kartini belajar banyak dan mampu memetik pemikiran maju. Kemahirannya berbahasa Belanda, kegemarannya membaca dan berdiskusi serta sikapnya yang kritis - membuka ruang luas untuk pengembangan pikirannya.
Sekalipun dalam pingitan R.A. Kartini pun tidak pernah berdiam diri. Korespondesi dengan teman-temannya di Negeri Belanda terus dilakukan, dan inilah yang kemudian mendorong R.A. Kartini untuk berjuang memajukan kaumnya. Di antara kawan penanya, adalah Rosa Abendanon dan Estelle (Stalla) Zeehandelaar, yang antara lain mendorong dan membuat pikiran Kartini menjadi lebih terbuka.
Dari kumpulan surat-suratnya kepada sahabatnya di negeri Belanda yang dikumpulakan dan diterbitkan menjadi buku oleh JA Abendanon sepeninggal Kartini - “Door Duistermis tox Licht" - Habis Gelap Terbitlah Terang - tecatat jelas berbagai pemikian besar yang menjadi bukti betapa keinginannya untuk melepaskan perempuan dari belenggu diskriminasi yang membudaya pada masa itu bukan sekadar harapan namun adalah sebuah keniscayaan yang harus menjadi keharusan.
Perempuan Jawa saat itu sangat tertinggal dibanding mereka yang di Belanda. Mereka tertinggal dalam pendidikan, dalam melakukan kegiatan sosial, dan dalam berpikir kritis, bahkan dipaksa menerima saja nasibnya Inilah yang kemudian diperjuangkan oleh Kartini - bahwa perempuan Jawa perlu memperoleh persamaan hak dalam menimba ilmu, perlu kebebasan berpikir, memperoleh kesetaraan, mampu menentukan nasibnya dan berdiri di atas kaki sendiri.
Perjuangannya dimulai dengan mengelola sekolah perempuan di rumahnya di Jepara. Bukan itu saja, semangat perjuangan melepaskan diri dari keterbelakangan dibarengi pula dengan jiwa kewirausahaan mendorong Kartini untuk terus maju mencari cara memberdayakan masyarakat - bukan hanya perempuan, tetapi seluruh masyarakat dengan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.
Di usia 17 tahun, Kartini mengikuti Pameran Nasional Karya Perempuan tahun 1898 di Den Haag, Belanda, dengan mengirimkan 21 karya Jepara termasuk, seni ukir, pigura, lukisan, sisir dan juga batik yang ia kirim beserta tata cara membuatnya. Tata cara dan prosedur pengerjaan batik itulah yang kemudian menjadi penting untuk sejarah batik Hindia-Belanda. Kartini pun dikenal sebagai pelopor batik Lunglungan Bunga, batik motif Jepara. Demikian pula dengan ukiran Jepara yang dipamerkannya membuka jalan bagi terciptanya industri mebel ukir Jepara yang kemudian mendunia.
Setelah dirasa usahanya cukup besar, Kartini melakukan hubungan dagang dengan Oost en West yang baru saja membuka cabang di Batavia. Lembaga yang dipimpin oleh Ny. N Van Zuylen ini berdiri tahun 1899 dan kerap menggelar pameran di Den Haag dengan untuk mengembangkan dan memasarkan hasil kerajinan bumiputera. Karya ukir Jepara menjadi mendunia atas jasa Kartini.
Keberhasilan dalam pameran tersebut, mendorong dan sekaligus menginspirasi untuk membantu perajin mengembangkan usahanya. Atas jasanya, Jepara kemudian berkembang menjadi kota meubel dengan kekhasan ukiran yang terkenal .
Berkat kerja keras Kartini di bidang ini, pada tahun 1923 Pemerintah Belanda memberikan penghargaan untuk Kartini, dengan membangun sekolah pertukangan, untuk mendidik anak muda menjadi perajin mebel.
Ironisnya, di tengah keberhasilannya mendobrak berbagai tradisi dan memajukan perempuan dan masyarakat, pada perjalanan hidupnya RA Kartini harus menyerah kepada tuntutan adat dan budaya - dengan mengalami poligami - menjadi istri keempat dari Adipati Djojoadiningrat, Bupati Rembang saat itu. Alasan usia - 24 tahun - yang pada masa itu terhitung tidak lagi muda - bahkan sudah dikategorikan sebagai perawan tua, serta demi baktinya pada sang ayah, Kartini menerima pernikahan tersebut.
Namun demikian, Kartini tegar yang berpikiran maju menjadikan peristiwa ini sebagai salah satu langkah perjuangannya - dengan mengajukan sejumlah syarat kepada Adipati Djojoadiningrat untuk bisa menikahinya.