SEPAK BOLA merupakan olahraga paling populer di muka bumi saat ini. Tak terkecuali di negeri kita sendiri, Indonesia. Dari ujung Banda Aceh sampai Tanah Papua, hampir semua orang pasti tahu tentang seluk beluk permainan kulit bundar ini.
Jiwa sepak bola bahkan sudah tertanam pada anak-anak Indonesia yang setiap sore, biasanya setelah mengaji mereka menyempatkan diri berkumpul di padang yang luas dan berbekal sandal ataupun batu sebagai gawangnya. Walaupun pada saat ini hal tersebut mulai bergeser ke era teknologi dengan adanya video game, tetap saja sepak bola menjadi primadona.
Mengenal sepak bola rasanya hambar jika tidak memiliki tim kesayangan. Dimulai dari sinilah fanatisme itu muncul dari setiap individu yang memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap tim kesayangan mereka, bahwa tim yang mereka dukung adalah tim terbaik. Atas dasar tersebut, individu-individu dengan keyakinan yang sama dan tim kesayangan yang sama kemudian berkumpul dalam satu komando yang kemudian dikenal sebagai “suporter sepak bola”.
Merekalah yang senantiasa menemani sebuah kesebelasan ketika bertanding. Mereka juga yang senantiasa tak henti-hentinya menyorakkan dukungan dengan lantang agar kesebelasan yang mereka dukung memperoleh hasil yang maksimal. Dilihat dari hal tersebut, fanatisme secara tidak langsung mencerminkan nilai “Persatuan” dalam sila ketiga Pancasila. Para suporter bersatu padu karena mereka sadar pentingnya persatuan.
Tetapi fanatisme semakin lama mengakibatkan rivalitas yang dapat berasal dari berbagai latar belakang seperti agama, ras, golongan dan masih banyak lagi. Tak jarang pula hal tersebut masih menjadi sesuatu yang dipermasalahkan. Ada sebagian kelompok suporter sepak bola yang masih tidak terima jika ada perbedaan latar belakang tersebut.
Rivalitas kelompok suporter yang berlatar belakang agama, sebenarnya tidak begitu banyak permasalahan karena sebenarnya nilai-nilai agama mengajarkan kebaikan yang berasal dari sang Pencipta. Kebanyakan permasalahan yang berlatar belakang agama terjadi karena kesalahpahaman antarpemeluk agama yang saking fanatiknya terbawa hingga ke ranah sepak bola.
Contohnya seperti rivalitas suporter di kota Glasgow, Skotlandia. Di mana Glasgow Rangers FC yang berdiri pada tahun 1873 yang notabene didukung oleh penduduk lokal yang beragama katolik, eksistensinya ditandingi oleh Glasgow Celtics FC yang berdiri 15 tahun setelahnya, dan mendapat dukungan dari para imigram yang membawa agama Protestan.
Ditinjau dari nilai ketuhanan dalam sila pertama Pancasila, memiliki keyakinan yang kuat terhadap agama yang dianutnya merupakan pencerminan nilai ketuhanan, tetapi menganggap ajaran agama lain sebagai sebuah ketidakbenaran merupakan salah satu bentuk intoleransi agama yang mana bertentangan dengan nilai ketuhanan.
Untuk kasus perbedaan ras atau yang biasa disebut rasisme sendiri, juga masih banyak terjadi di sepak bola. Tidak jarang para suporter menyanyikan lagu rasis kepada kesebelasan lawan ataupun seperti suporter rasis di Eropa. Di mana mereka tidak menghargai dan tidak menyukai adanya pemain keturunan Afrika.Mereka masih menganggap bahwa bangsa ras kulit putih lebih tinggi derajatnya dari ras kulit hitam yang dalam sejarahnya ras kulit hitam adalah golongan para budak. FIFA sebagai induk organisasi sepak bola internasional sebenarnya juga telah menyebarkan seruan “SAY NO TO RACISM” sebagai kampanye penolakan terhadap rasisme di sepak bola. Berdasar hal tersebut, rasisme suporter sepak bola merupakan bentuk penyelewengan nilai kemanusiaan dalam Pancasila sila kedua.Di sisi lain, dari suporter fanatik terdapat suporter garis keras atau yang biasa dikenal dengan “Hooligan”. Para hooligan mendukung tim kesayangan mereka dengan cara apapun. Dan tidak jarang pula para hooligan berbuat melampaui batas. Terlebih jika tim yang mereka dukung menuai kekalahan dalam pertandingan.Tak jarang pula mereka yang menjadi biang keladi kerusuhan dalam stadion yang berujung perusakan fasilitas stadion dan mengganggu ketertiban serta keamanan suporter lain yang ingin menyaksikan indahnya pertandingan sepak bola. Hal tersebut secara tidak langsung mengganggu ketertiban umum dan hak keadilan antarpenonton di stadion. Dapat disimpulkan juga hal tersebut menyeleweng dari nilai keadilan dalam Pancasila sila kelima.Untuk mencegah hal tersebut berlarut-larut, Komisi Disiplin dalam kompetisi sepak bola biasanya memberi hukuman sesuai pelanggaran yang dilakukan para suporter, dan bahkan bisa jadi mendapat hukuman pertandingan tanpa penonton seperti yang dilakukan Komdis PT. LIB kepada kesebelasan peserta Liga 1 di Indonesia saat ada pelanggaran yang dilakukan oleh para suporter. Dan tentunya hal tersebut merugikan klub itu sendiri.Demi meminimalisir beberapa hal di atas, di momen yang cukup tepat ini, saat sedang dilaksanakannya pesta sepak bola terbesar di Asia Tenggara yang bertajuk AFF Suzuki Cup 2018. Marilah kita tunjukkan nasionalisme kita untuk menjadi Suporter setia Timnas Indonesia. Dengan latar belakang apapun mari tunjukkan Persatuan kita. Karena perbedaanlah yang membuat Indonesia ada.Marilah menjadi suporter yang cerdas. Bukan hanya fanatik dalam mendukung, tetapi juga berkepribadian Pancasila. Di manapun, kapanpun, dalam kondisi apapun, bentuk dukungan kita secara langsung di stadion maupun live dari rumah, bisa jadi hal tersebut menjadi Partisipasi kita mendukung, membela Indonesia. Dan mari cerminkan partisipasi rakyat dalam sila keempat Pancasila, agar Sang Garuda pembawa Tameng Pancasila bangga terlepas dari apa yang terbaik dari yang direncanakan Tuhan nantinya. (*)