Gaya hidup “cegito Ergo Sum” jika ditelaah lebih dalam bisa ditarik pemahaman bahwa manusia dihidupkan untuk berpikir, jika tidak berpikir maka orang itu telah “mati” walapun kenyataanya hidup. Dengan kata lain, keberadaan seseorang akan diakui jika mereka berpikir. Artinya, ketika seseorang-terlebih kaum muda- tidak berpikir bisa dikatakan telah mati karena tidak punya eksistensi dalam hal berpikir.
Di zaman yang serba moderen ini, katakanlah zaman now, sepertinya kondisi kaum muda saat ini seolah mengalami keterlemparan dalam suatu arus budaya yang memaksanya bergaya. Ini cocok dengan kalimat yang berkebalikan dari konsepsi diatas, “copenicullus ergo sum” (aku bergaya, maka aku ada).
Gaya hidup bisa diartikan sebagai pola-pola kebiasaan saat bertindak. Namun, pada pemahaman yang lebih luas, gaya hidup bisa menjadi peran pembeda satu orang dengan orang lain. Sering dikaitkan dengan sikap kecenderungan mengikuti arus yang lagi tranding di manapun dan kapan pun berada. Hal ini tidak salah, karena pada kenyataan hidup bergaya memang demikian.
Dalam buku “Motivasi Harian resreshing U’re soul” membahas persoalan gaya bagaikan hidup yang penuh gemerlapan dan keglamoran, extravagansa- yang kesemuanya adalah bersifat hedonistik, demi kesenangan dan menjadi bagian dari desain setan yang fana’ (dalam bahasa Arab-Indonesia artinya rusak).
Hal inilah yang terjadi di lingkungan ruang pemuda sekarang ini. Dalam ruang pendidikan misalnya para pemuda saat pembelajaran berlangsung, sekarang sudah sedikit atau jarang sekali ditemui yang membawa banyak buku seperti zaman dulu. Cukup hanya laptop dan HP dengan dalih lebih simpel dan efisien. Mereka mempraktikkan gaya ala Plato, meski kadang arahnya tak tau ke mana. Bukan manfaat yang didapat melainkan hanya bahaya karena menjadi bahan pamer atas alat-alat yang serba canggih.
Selain itu, di dalam ruang kebutuhan pemuda. Sudah jelas tempat wisata, gedung bioskop, shoping mall, rumah kecantikan, serta wisata kuliner seolah menjadi prioritas yang harus dipenuhi dengan menyampingkan tugas utamanya, belajar. Buktinya, ruang perpustakaan sering kali kosong bahkan sepi. Tidak kalah menarik lagi dari mereka adalah menjadi korban bajakan mode. Di mana setiap new mode, life style menjadi sebuah ketertarikan yang khas di kalangan pemuda.
Dari segi dominasi budaya, budaya-budaya kapitalis dengan ekonomi pencitraan membuat kaum muda harus membeli segalanya yang ditawarkan demi sebuah gengsi. Mode dan segala rupa extravaganza menjadi konsumsi yang dipandang eskulin lambat laun berdampak pada boros yang tidak lain menghamburkan uang yang berujung pemerasan kantong. Tidak hanya kantong yang terperas, tapi juga otak dan waktu mereka terperas. Demikian karena seiring waktu yang terbuang sia-sia hanya karena duniawian, saat itu juga tidak difungsikannya otak berpikir jernih.
Semua itu tidak lebih dalah hal-hal semu yang bisa mendatangkan banyak sisi negatif di kemudian hari. Mereka bukan lagi menjadi penikmat di hidupnya tapi menjadi budak dari gaya. Model victim. Khalil Gibran dalam bukunya “Tasirun Sulaiman” berkata: “Hasrat kepada kenikmatan adalah sesuatu yang datang bagai tamu, lalu berubah menjadi tuan rumah, kemudian dia pun menjadi tuan yang berkuasa.” Ini sangatlah sesuai untuk menggambarkan dampak dari bergaya.
Kemungkinan besar yang bersemayan di dalam kepala hanyalah euforia belaka. Terlepas itu semua kiprah pemuda sebagai penerus kepemimpinan bangsa sama sekali tidak mereka pedulikan. Padahal ini jauh lebih penting dan lebih mulia dari kacamata bangsa. Mau dibawa seperti apa bangsa ini ke depannya jika generasi hanya bermodal gaya? Padahal Indonesia seiring berjalannya waktu selalu mendapatkan porsi yang meningkat dalam persentase problematikanya.
Dengan demikian hidup dengan segala kenikmatan yang relatif alami jauh lebih teroganisir dan dipandang apik dari segi intelek kepemudaan. Jika harus menuntut bergaya di setiap liniatur kehidupan maka tidak heran jika kiprah pemuda di negeri ini sedikit demi sedikit akan hilang tertelan arus budaya glamor yang sesat.
Ini bisa menjadi cambuk bagi semua orang terlebih pemuda, agar lebih terbentengi seiring bertambahnya budaya kapitalisme barat; seperti industri kecantikan, industri kuliner, industri wisata, mall, kawasan huni megah dan lain-lain, artinya godaan bergaya semakin tinggi. Sehingga peran pemuda untuk bangsa tidak terkikis hilang. (*)
[bs-quote style="style-16" align="left" author_name="Alwi Ahmad Sulthon" author_job="Mahasiswa Fakultas SAINTEK, UIN Walisongo" author_avatar="https://www.murianews.com/wp-content/uploads/2018/02/Alwi-e.jpg"][/bs-quote]