ISTILAH pungli yang merupakan sebuah akronim dari pungutan liar, dalam beberapa hari terakhir ini seolah sangat akrab di telinga kita.Publik menjadi latah membicarakan pungli. Abang Tukang Bakso, calon pengantin, pengangguran diambang keputusasaan, hingga tukang parkir jabatan, selalu menyempurnakan harinya dengan perbincangan seputar pungli.
Kehebohan soal pungli ini, dimungkinkan dalam satu bulan ini masih akan menjadi perbincangan hangat di semua kalangan. Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan agar praktik pungli dibumihanguskan, dengan memberikan sanksi tegas terhadap pelaku, yakni dipecat dari kepegawaian.
Perintah ini dikeluarkan setelah Presiden Jokowi menyambangi secara langsung operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan polisi terhadap pelaku pungli terkait pengurusan buku pelaut dan surat kapal di Kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub) beberapa hari lalu.
Sikap dan pernyataan Presiden Jokowi ini, kemudian juga direspon oleh Kapolri, yang selanjutnya memerintahkan agar setiap polda membentuk tim “bersih-bersih” pungli.
Jadi, jangan heran ketika nanti Anda sedang mengurus perizinan atau atau hal lainnya, misalnya SIM, tiba-tiba ada sidak dan ditanya-tanya mengenai bagaimana proses pengurusan administrasi di tempat terkait, apakah ada pungutan atau tidak. Jangan heran pula, ketika Anda nanti “tiba-tiba” mendapat pelayanan yang lebih mulus dibandingkan biasanya.
Sidak semacam ini, juga sudah dilakukan di berbagai polres. Contoh saja di Rembang dan juga Grobogan. Kapolres Rembang beberapa hari lalu sempat memantau pelayanan di Samsat untuk memastikan tidak ada pungli. Pun demikian di Grobogan. Bahkan, Wakapolres turun sendiri ke Samsat, juga untuk memastikan tidak ada praktik pungli di tempat tersebut.
Namun demikian, kenapa “baru” sekarang upaya pemberantasan pungli ini dilakukan? Penegak hukum seakan terkaget-kaget dengan aksi pungli yang terjadi di sejumlah instansi termasuk di tubuh birokrasi mereka sendiri. Meski sebenarnya, praktik pungli ini sudah sangat lama ada dan berjalan dengan “sukses” hampir di semua lini.
Pungli sudah menjadi rahasia umum di Negeri ini. Semua masyarakat tahu, jika ingin mengurus perizinan dan
tetek mbengek berbau administrasi lainnya, mulai di tingkatan RT hingga di atasnya, dan di atasnya lagi, dan lagi, hingga level teratas, hampir selalu disuguhkan dengan adegan transaksional yang endingnya harus merogoh kocek jika ingin urusan segera beres.
Jika ditelusuri, awal dari fisiologis, makna kata Pungli berasal dari frasa pungutan liar yang secara etimologis dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang memungut bayaran/meminta uang secara paksa. Jadi pungli merupakan praktik kejahatan.Kemudian, ternyata, istilah pungli ini juga terdapat dalam kamus bahasa Cina. Li artinya keuntungan dan Pung artinya persembahan, jadi Pungli diucapkan Pung Li, artinya adalah mempersembahkan keuntungan.Lalu, bagaimana praktik pungli yang bisa disebut sebagai kejahatan ini bisa hilang atau minimal diminimalisasi dari birokrasi di negeri ini? Bisakah tim sapu bersih pungli yang dibentuk pemerintah mampu menuntaskan persoalan yang sudah mengakar ini?Optimisme tentu perlu kita tanamkan terhadap diri kita untuk memberikan kepercayaan kepada pemerintah. Tetapi, pesimisme juga perlu kita sampaikan, jika gebrakan ini hanyalah dijalankan setengah-setengah. Apalagi delivery kebijakan terhadap pemerintah daerah tidak sampai secara sempurna. Sehingga, dalam praktiknya, tidak menutup kemungkinan pungli masih terus terjadi.Perlu menjadi catatan juga, bahwa praktik pungli ini juga tak dilepaskan dari faktor ekonomi dan moral. Faktor ekonomi merupakan masalah yang sangat sentral saat ini yang dapat menimbulkan kejahatan, karena banyak orang mengambil jalan pintas dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, hal ini menyebabkan terjadinya kejahatan. Apalagi, kesempatan memuluskan adanya praktik ini. Karena, munculnya kejahatan dan bentuk-bentuk perilakunya bergantung pada kesempatan, baik kesempatan patuh norma, maupun kesempatan penyimpangan norma, seperti yang dikatan Richard A.Cloward dan Lioyd E.Ohlin dalam Teori Kesempatan (opportunity theory).Namun demikian, sebenarnya persoalan pungli tidak perlu terjadi jika pemilik jabatan atau pemangku kekuasaan memiliki benteng keimanan yang kuat. Untuk memiliki benteng yang kuat, tentunya perlu pemahaman agama cukup dan benar.Memang, ketika berbicara mengenai moral dan agama saat ini cukup sensitif. Tetapi, setidaknya hal ini bisa menjadi intropeksi kita bersama, bahwa kita perlu meningkatkan pemahaman tentang agama kita, sehingga tidak terjerumus dengan praktik kejahatan bernama pungli atau ketika naik kelas disebut korupsi.Mari bersama-sama untuk lebih mematangkan pengetahuan agama kita. Tidak harus seperti ulama atau bahkan nabi, tetapi, tugas terpenting kita adalah berupaya menjadi lebih baik dalam beragama. Sehingga, perilaku dan tindakan kita bisa berjalan sesuai aturan dan norma.Selanjutnya, gebrakan pemerintah untuk memberantas pungli juga harus berjalan secara kontinyu. Bukan hanya hari ini saja, bukan hanya sampai besok saja, bukan pula hanya sampai bulan depan saja, tetapi ini berkelanjutan.Artinya, butuh cakupan solusi secara luas, terkait penanganan pungli ini. Sebab, tak cukup hanya dilihat dari satu sisi saja persoalan ini. Di dalam sini, ada berbagai faktor penyebab sehingga memunculkan adanya fenomena pungli. (*)
[caption id="attachment_97772" align="alignleft" width="150"]
Kholistiono [email protected][/caption]
ISTILAH pungli yang merupakan sebuah akronim dari pungutan liar, dalam beberapa hari terakhir ini seolah sangat akrab di telinga kita.Publik menjadi latah membicarakan pungli. Abang Tukang Bakso, calon pengantin, pengangguran diambang keputusasaan, hingga tukang parkir jabatan, selalu menyempurnakan harinya dengan perbincangan seputar pungli.
Kehebohan soal pungli ini, dimungkinkan dalam satu bulan ini masih akan menjadi perbincangan hangat di semua kalangan. Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan agar praktik pungli dibumihanguskan, dengan memberikan sanksi tegas terhadap pelaku, yakni dipecat dari kepegawaian.
Perintah ini dikeluarkan setelah Presiden Jokowi menyambangi secara langsung operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan polisi terhadap pelaku pungli terkait pengurusan buku pelaut dan surat kapal di Kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub) beberapa hari lalu.
Sikap dan pernyataan Presiden Jokowi ini, kemudian juga direspon oleh Kapolri, yang selanjutnya memerintahkan agar setiap polda membentuk tim “bersih-bersih” pungli.
Jadi, jangan heran ketika nanti Anda sedang mengurus perizinan atau atau hal lainnya, misalnya SIM, tiba-tiba ada sidak dan ditanya-tanya mengenai bagaimana proses pengurusan administrasi di tempat terkait, apakah ada pungutan atau tidak. Jangan heran pula, ketika Anda nanti “tiba-tiba” mendapat pelayanan yang lebih mulus dibandingkan biasanya.
Sidak semacam ini, juga sudah dilakukan di berbagai polres. Contoh saja di Rembang dan juga Grobogan. Kapolres Rembang beberapa hari lalu sempat memantau pelayanan di Samsat untuk memastikan tidak ada pungli. Pun demikian di Grobogan. Bahkan, Wakapolres turun sendiri ke Samsat, juga untuk memastikan tidak ada praktik pungli di tempat tersebut.
Namun demikian, kenapa “baru” sekarang upaya pemberantasan pungli ini dilakukan? Penegak hukum seakan terkaget-kaget dengan aksi pungli yang terjadi di sejumlah instansi termasuk di tubuh birokrasi mereka sendiri. Meski sebenarnya, praktik pungli ini sudah sangat lama ada dan berjalan dengan “sukses” hampir di semua lini.
Pungli sudah menjadi rahasia umum di Negeri ini. Semua masyarakat tahu, jika ingin mengurus perizinan dan
tetek mbengek berbau administrasi lainnya, mulai di tingkatan RT hingga di atasnya, dan di atasnya lagi, dan lagi, hingga level teratas, hampir selalu disuguhkan dengan adegan transaksional yang endingnya harus merogoh kocek jika ingin urusan segera beres.
Jika ditelusuri, awal dari fisiologis, makna kata Pungli berasal dari frasa pungutan liar yang secara etimologis dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang memungut bayaran/meminta uang secara paksa. Jadi pungli merupakan praktik kejahatan.
Kemudian, ternyata, istilah pungli ini juga terdapat dalam kamus bahasa Cina. Li artinya keuntungan dan Pung artinya persembahan, jadi Pungli diucapkan Pung Li, artinya adalah mempersembahkan keuntungan.
Lalu, bagaimana praktik pungli yang bisa disebut sebagai kejahatan ini bisa hilang atau minimal diminimalisasi dari birokrasi di negeri ini? Bisakah tim sapu bersih pungli yang dibentuk pemerintah mampu menuntaskan persoalan yang sudah mengakar ini?
Optimisme tentu perlu kita tanamkan terhadap diri kita untuk memberikan kepercayaan kepada pemerintah. Tetapi, pesimisme juga perlu kita sampaikan, jika gebrakan ini hanyalah dijalankan setengah-setengah. Apalagi delivery kebijakan terhadap pemerintah daerah tidak sampai secara sempurna. Sehingga, dalam praktiknya, tidak menutup kemungkinan pungli masih terus terjadi.
Perlu menjadi catatan juga, bahwa praktik pungli ini juga tak dilepaskan dari faktor ekonomi dan moral. Faktor ekonomi merupakan masalah yang sangat sentral saat ini yang dapat menimbulkan kejahatan, karena banyak orang mengambil jalan pintas dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, hal ini menyebabkan terjadinya kejahatan. Apalagi, kesempatan memuluskan adanya praktik ini. Karena, munculnya kejahatan dan bentuk-bentuk perilakunya bergantung pada kesempatan, baik kesempatan patuh norma, maupun kesempatan penyimpangan norma, seperti yang dikatan Richard A.Cloward dan Lioyd E.Ohlin dalam Teori Kesempatan (opportunity theory).
Namun demikian, sebenarnya persoalan pungli tidak perlu terjadi jika pemilik jabatan atau pemangku kekuasaan memiliki benteng keimanan yang kuat. Untuk memiliki benteng yang kuat, tentunya perlu pemahaman agama cukup dan benar.Memang, ketika berbicara mengenai moral dan agama saat ini cukup sensitif. Tetapi, setidaknya hal ini bisa menjadi intropeksi kita bersama, bahwa kita perlu meningkatkan pemahaman tentang agama kita, sehingga tidak terjerumus dengan praktik kejahatan bernama pungli atau ketika naik kelas disebut korupsi.
Mari bersama-sama untuk lebih mematangkan pengetahuan agama kita. Tidak harus seperti ulama atau bahkan nabi, tetapi, tugas terpenting kita adalah berupaya menjadi lebih baik dalam beragama. Sehingga, perilaku dan tindakan kita bisa berjalan sesuai aturan dan norma.
Selanjutnya, gebrakan pemerintah untuk memberantas pungli juga harus berjalan secara kontinyu. Bukan hanya hari ini saja, bukan hanya sampai besok saja, bukan pula hanya sampai bulan depan saja, tetapi ini berkelanjutan.
Artinya, butuh cakupan solusi secara luas, terkait penanganan pungli ini. Sebab, tak cukup hanya dilihat dari satu sisi saja persoalan ini. Di dalam sini, ada berbagai faktor penyebab sehingga memunculkan adanya fenomena pungli. (*)