HINGGA detik ini, entah sudah berapa lama dan berapa ribu orang yang mengeluh dengan keberadaan kendaraan angkutan barang yang parkir di bahu jalan atau istilahnya
on street parking di sepanjang jalur Pantura Rembang.
Bukan tanpa sebab keluhan itu terus muncul dari pengguna jalan yang melewati jalur Pantura Rembang. Karena keberadaan kendaraan angkutan barang yang parkir di bahu jalan secara “nyaman” tersebut, membahayakan keselamatan pengendara lain, khususnya pengendara sepeda motor.
Data yang ada di Satlantas Polres Rembang, tercatat, selama 2015, ada 404 kasus kecelakaan yang terjadi di Kota Garam itu. Dari jumlah tersebut melibatkan 623 orang. Akibat kecelakaan yang terjadi selama setahun itu, ada 109 korban meninggal dunia dan 512 korban menderita luka ringan. Kemudian, selama tahun 2016, terhitung hingga Bulan Juni lalu, ada 244 kasus kecelakaan. Dari jumlah itu, sebanyak 58 korban meninggal dunia, 286 korban mengalami luka ringan dan 1 korban mengalami luka berat. Sebagian besar dari kasus kecelakaan tersebut terjadi jalur Pantura Rembang. Secara umum, penyebab kecelakaan itu disebut karena faktor
human error.
Namun, tak dapat dipungkiri jika keberadaan kendaraan besar yang parkir di bahu jalan juga menjadi faktor penyebab kecelakaan. Luasnya jalan menjadi terasa sempit, dan pandangan pengendara juga terganggu dengan adanya kendaraan besar yang berhenti secara sembarangan di pinggir jalan.
Berdasarkan data di atas, sungguh cukup miris melihat banyaknya korban jiwa akibat kecelakaan yang terjadi di sebuah daerah yang terhitung arus lalu lintasnya tak begitu padat dibandingkan dengan kota besar lain. Praktis, penguasa jalanan di jalur ini adalah truk dan bus.
Lantas, apakah tepat jika kita menyalahkan pengemudi angkutan barang tersebut memarkirkan kendaraannya di bahu jalan? Secara hukum, sebenarnya kita bisa mengatakan perbuatan yang dilakukan pengemudi tersebut salah. Sebab, dalam aturannya dengan jelas disebutkan jika setiap orang dilarang memanfaatkan ruang manfaat jalan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan. Yang dimaksud dengan “terganggunya fungsi jalan” adalah berkurangnya kapasitas jalan dan kecepatan lalu lintas antara lain menumpuk barang/benda/material di bahu jalan, berjualan di badan jalan, parkir, dan berhenti untuk keperluan lain selain kendaraan dalam keadaan darurat.
Hal itu mengacu pada pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2013 tentang Larangan Parkir di Jalan.
On street parking, sebenarnya tak sepenuhnya dilarang, dengan catatan, hal itu dilakukan di jalan-jalan yang mempunyai tingkat penggunaan atau volumeyang rendah. Pada UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dalam Angkutan Jalan, dalam pasal 43 ayat 3 menyebutkan, bahwa fasilitas parkir di dalam ruang milik jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas.
Jadi, dalam konteks
on street parking di jalur Pantura Rembang, perlu dilihat kembali apakah penyelenggaraan parkir pada bahu jalan itu memang diselenggarakan di jalan-jalan tertentu dan dinyatakan dengan rambu lalu lintas dan/atau marka jalan atau tidak. Jika memang telah sesuai aturan, maka pengendara yang memarkir mobilnya di tempat yang telah ditentukan itu tidak melanggar hukum. Tapi jika tidak, tentu sebaliknya. Dan kita bisa memastikan hal itu melanggar hukum.
Harus diakui, “memaksa” persoalan ini tidak terus muncul memang cukup sulit. Namun demikian, tak ada salah kita mendambakan persoalan ini bisa diurai secara bijak, sehingga ke depan, jalur Pantura Rembang bisa lebih ramah terhadap pengguna jalan.
Upaya pemerintah daerah yang berencana membuat kantong-kantong parkir, di antaranya di Kaliori, Kragan dan Sarang, tentunya harus kita apresiasi. Sebab, hal itu menjadi salah satu alternatif untuk mencari solusi terkait keberadaan kendaraan besar yang parkir di bahu jalan di sepanjang jalur Pantura Rembang.Meski begitu, seyogyanya kebijakan yang sudah direncanakan tersebut bisa secara cepat direalisasikan, dengan melibatkan ahli. Sehingga dalam pelaksanaannya nanti bisa maksimal dan tak sebatas penyediaan tempat saja.Perlu dipertimbangkan juga, kantong-kantong parkir yang disediakan nanti juga dilengkapi dengan pusat jajanan, yang bisa untuk menampung pedagang makanan yang selama ini berjualan di berbagai titik di pinggir jalan pantura dan tidak memiliki fasilitas tempat parkir.Yang tak kalah penting adalah, bagaimana memberikan pemahaman kepada pemilik rumah makan atau warung untuk menyediakan fasilitas parkir sesuai kebutuhan, agar pengemudi truk atau kendaraan besar lainnya yang beristirahat untuk makan, tidak lagi memarkirkan kendaraan di bahu jalan.Bagian ini mungkin tak semudah yang diucapkan atau dibayangkan. Sebab, warung-warung yang terdapat di jalur Pantura Rembang ini sebagian besar kategori kecil. Sehingga pemilik warung tak akan begitu saja bisa membuat fasilitas parkir, yang membutuhkan lahan dengan luasan yang tak kecil. Kendala yang paling vital bagi pemilik warung adalah biaya untuk menyewa lahan untuk parkir, jika memang area yang didirikan warung bukan milik sendiri.Pun demikian, kesadaran dari pemilik warung juga sangat diperlukan untuk bisa mencapai kenyamanan bersama. Tanpa ada kesadaran, kondisi jalur Pantura yang amburadul dengan banyaknya kendaraan yang parkir di bahu jalan, diprediksi masih akan terjadi hingga sepuluh atau bahkan hingga 20 tahun ke depan.Opsi selanjutnya yakni pemberian sanksi kepada pengemudi kendaraan yang parkir di bahu jalan. Sanksi bisa dimulai dari teguran, penilangan hingga penggembokan roda kendaraan atau bahkan pencabutan pentil kendaraan.Hal ini bisa saja dilakukan sebagai salah satu bentuk untuk memberikan efek jera kepada pengemudi yang memarkirkan kendaraan di bahu jalan. Namun begitu, tindakan represif seperti itu tidak akan efektif, karena biasanya pengawasan yang dilakukan instansi terkait, baik itu Dinhubkominfo ataupun Satlantas tidak secara kontinyu. Sehingga, sangat mungkin pengemudi akan kembali mengulang memarkirkan kendaraan di bahu jalan, ketika pengawasan sudah lemah.Opsi seperti itu, sebenarnya juga tak menyelesaikan permasalahan. Sebab, jika pemerintah tidak menyediakan fasilitas, maka dapat dipastikan kondisi seperti itu tetap terjadi, meski sekali dua kali ada sanksi dari instansi terkait. Cara represif seperti itu, juga tak menyentuh akar permasalahan, dan hanya sebatas memberi efek jera sebentar.Kita berharap, dan mendambakan, dalam kurun waktu yang tak lama, jalur Pantura Rembang bisa menjadi jalur yang tak lagi dipenuhi dengan pemandangan kendaraan besar yang parkir sembarangan di bahu jalan, dan jalur ini ramah dengan pengguna jalan.
Semoga (*)
[caption id="attachment_94782" align="alignleft" width="150"]
Kholistiono [email protected][/caption]
HINGGA detik ini, entah sudah berapa lama dan berapa ribu orang yang mengeluh dengan keberadaan kendaraan angkutan barang yang parkir di bahu jalan atau istilahnya
on street parking di sepanjang jalur Pantura Rembang.
Bukan tanpa sebab keluhan itu terus muncul dari pengguna jalan yang melewati jalur Pantura Rembang. Karena keberadaan kendaraan angkutan barang yang parkir di bahu jalan secara “nyaman” tersebut, membahayakan keselamatan pengendara lain, khususnya pengendara sepeda motor.
Data yang ada di Satlantas Polres Rembang, tercatat, selama 2015, ada 404 kasus kecelakaan yang terjadi di Kota Garam itu. Dari jumlah tersebut melibatkan 623 orang. Akibat kecelakaan yang terjadi selama setahun itu, ada 109 korban meninggal dunia dan 512 korban menderita luka ringan. Kemudian, selama tahun 2016, terhitung hingga Bulan Juni lalu, ada 244 kasus kecelakaan. Dari jumlah itu, sebanyak 58 korban meninggal dunia, 286 korban mengalami luka ringan dan 1 korban mengalami luka berat. Sebagian besar dari kasus kecelakaan tersebut terjadi jalur Pantura Rembang. Secara umum, penyebab kecelakaan itu disebut karena faktor
human error.
Namun, tak dapat dipungkiri jika keberadaan kendaraan besar yang parkir di bahu jalan juga menjadi faktor penyebab kecelakaan. Luasnya jalan menjadi terasa sempit, dan pandangan pengendara juga terganggu dengan adanya kendaraan besar yang berhenti secara sembarangan di pinggir jalan.
Berdasarkan data di atas, sungguh cukup miris melihat banyaknya korban jiwa akibat kecelakaan yang terjadi di sebuah daerah yang terhitung arus lalu lintasnya tak begitu padat dibandingkan dengan kota besar lain. Praktis, penguasa jalanan di jalur ini adalah truk dan bus.
Lantas, apakah tepat jika kita menyalahkan pengemudi angkutan barang tersebut memarkirkan kendaraannya di bahu jalan? Secara hukum, sebenarnya kita bisa mengatakan perbuatan yang dilakukan pengemudi tersebut salah. Sebab, dalam aturannya dengan jelas disebutkan jika setiap orang dilarang memanfaatkan ruang manfaat jalan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan. Yang dimaksud dengan “terganggunya fungsi jalan” adalah berkurangnya kapasitas jalan dan kecepatan lalu lintas antara lain menumpuk barang/benda/material di bahu jalan, berjualan di badan jalan, parkir, dan berhenti untuk keperluan lain selain kendaraan dalam keadaan darurat.
Hal itu mengacu pada pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2013 tentang Larangan Parkir di Jalan.
On street parking, sebenarnya tak sepenuhnya dilarang, dengan catatan, hal itu dilakukan di jalan-jalan yang mempunyai tingkat penggunaan atau volumeyang rendah. Pada UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dalam Angkutan Jalan, dalam pasal 43 ayat 3 menyebutkan, bahwa fasilitas parkir di dalam ruang milik jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas.
Jadi, dalam konteks
on street parking di jalur Pantura Rembang, perlu dilihat kembali apakah penyelenggaraan parkir pada bahu jalan itu memang diselenggarakan di jalan-jalan tertentu dan dinyatakan dengan rambu lalu lintas dan/atau marka jalan atau tidak. Jika memang telah sesuai aturan, maka pengendara yang memarkir mobilnya di tempat yang telah ditentukan itu tidak melanggar hukum. Tapi jika tidak, tentu sebaliknya. Dan kita bisa memastikan hal itu melanggar hukum.
Harus diakui, “memaksa” persoalan ini tidak terus muncul memang cukup sulit. Namun demikian, tak ada salah kita mendambakan persoalan ini bisa diurai secara bijak, sehingga ke depan, jalur Pantura Rembang bisa lebih ramah terhadap pengguna jalan.
Upaya pemerintah daerah yang berencana membuat kantong-kantong parkir, di antaranya di Kaliori, Kragan dan Sarang, tentunya harus kita apresiasi. Sebab, hal itu menjadi salah satu alternatif untuk mencari solusi terkait keberadaan kendaraan besar yang parkir di bahu jalan di sepanjang jalur Pantura Rembang.
Meski begitu, seyogyanya kebijakan yang sudah direncanakan tersebut bisa secara cepat direalisasikan, dengan melibatkan ahli. Sehingga dalam pelaksanaannya nanti bisa maksimal dan tak sebatas penyediaan tempat saja.
Perlu dipertimbangkan juga, kantong-kantong parkir yang disediakan nanti juga dilengkapi dengan pusat jajanan, yang bisa untuk menampung pedagang makanan yang selama ini berjualan di berbagai titik di pinggir jalan pantura dan tidak memiliki fasilitas tempat parkir.
Yang tak kalah penting adalah, bagaimana memberikan pemahaman kepada pemilik rumah makan atau warung untuk menyediakan fasilitas parkir sesuai kebutuhan, agar pengemudi truk atau kendaraan besar lainnya yang beristirahat untuk makan, tidak lagi memarkirkan kendaraan di bahu jalan.
Bagian ini mungkin tak semudah yang diucapkan atau dibayangkan. Sebab, warung-warung yang terdapat di jalur Pantura Rembang ini sebagian besar kategori kecil. Sehingga pemilik warung tak akan begitu saja bisa membuat fasilitas parkir, yang membutuhkan lahan dengan luasan yang tak kecil. Kendala yang paling vital bagi pemilik warung adalah biaya untuk menyewa lahan untuk parkir, jika memang area yang didirikan warung bukan milik sendiri.
Pun demikian, kesadaran dari pemilik warung juga sangat diperlukan untuk bisa mencapai kenyamanan bersama. Tanpa ada kesadaran, kondisi jalur Pantura yang amburadul dengan banyaknya kendaraan yang parkir di bahu jalan, diprediksi masih akan terjadi hingga sepuluh atau bahkan hingga 20 tahun ke depan.
Opsi selanjutnya yakni pemberian sanksi kepada pengemudi kendaraan yang parkir di bahu jalan. Sanksi bisa dimulai dari teguran, penilangan hingga penggembokan roda kendaraan atau bahkan pencabutan pentil kendaraan.
Hal ini bisa saja dilakukan sebagai salah satu bentuk untuk memberikan efek jera kepada pengemudi yang memarkirkan kendaraan di bahu jalan. Namun begitu, tindakan represif seperti itu tidak akan efektif, karena biasanya pengawasan yang dilakukan instansi terkait, baik itu Dinhubkominfo ataupun Satlantas tidak secara kontinyu. Sehingga, sangat mungkin pengemudi akan kembali mengulang memarkirkan kendaraan di bahu jalan, ketika pengawasan sudah lemah.
Opsi seperti itu, sebenarnya juga tak menyelesaikan permasalahan. Sebab, jika pemerintah tidak menyediakan fasilitas, maka dapat dipastikan kondisi seperti itu tetap terjadi, meski sekali dua kali ada sanksi dari instansi terkait. Cara represif seperti itu, juga tak menyentuh akar permasalahan, dan hanya sebatas memberi efek jera sebentar.
Kita berharap, dan mendambakan, dalam kurun waktu yang tak lama, jalur Pantura Rembang bisa menjadi jalur yang tak lagi dipenuhi dengan pemandangan kendaraan besar yang parkir sembarangan di bahu jalan, dan jalur ini ramah dengan pengguna jalan.
Semoga (*)