KASUS kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan yang dilakukan oknum karyawan PLTU Rembang baru-baru ini, hanyalah satu potret bagaimana peristiwa kekerasan terhadap insan pers di Indonesia. Meski kasusnya saat ini sudah masuk ke ranah kepolisian untuk di buka secara terang benderang, namun pada prinsipnya kekerasan tidak dapat ditolerir.
Ada hal yang memprihatinkan jika melihat masih adanya kasus kekerasan yang menimpa insan pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Apalagi Indonesia sebagai Negara demokrasi telah menjamin kemerdekaan pers seperti yang tertuang dalam UUD 1945. Pers merupakan pilar demokrasi keempat, seperti halnya eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, sepanjang tahun 2016, dari Januari - April, kasus kekerasan terhadap wartawan jumlahnya mencapai 12 kasus. Rinciannya, Januari ada 5 kasus, Februari 3 dan April sebanyak 4. Sedangkan jika diakumulasikan selama 10 tahun, dari 2006-2016, jumlahnya sebanyak 511 kasus. Yakni pada 2006 (54 kasus) 2007 (75 kasus) 2008 (58 kasus) 2009 (38 kasus) 2010 (51 kasus) 2011 (45 kasus) 2012 (56 kasus) 2013 (40 kasus) 2014 (40 kasus) 2015 (42 kasus) da 2016 (12 kasus).
Meskipun secara grafik kasus kekerasan naik turun, namun tindakan semacam itu tentu tidak dapat ditoleransi. Dilihat dari bentuk kekerasan yang dihadapi wartawan, juga sangat beragam. Di antaranya ancaman, telepon gelap, teror, pelecehan, pemukulan, pengusiran, pelarangan liputan, perusakan kantor, perampasan kamera dan bahkan hingga pembunuhan.
Bentuk kekerasan-kekerasan semacam itu, tentu sangat mengganggu wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Hal ini juga telah melanggar hak asasi wartawan untuk mendapatkan dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak.
Secara tegas, dalam Pasal 4 UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Pers, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Artinya, pers nasional bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Pasal tersebut memberikan hak kepada wartawan untuk menjalankan tugas jurnalistiknya, yakni mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
Kemudian dalam poin 4 pasal 1 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, juga dijelaskan siapa yang dimaksud dengan wartawan. Yakni, orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Artinya, bukan mereka yang sekadar mempunyai kartu pers, tapi wartawan harus melakukan kegiatan jurnalistik secara teratur minimal 6 bulan berturur-turut dan tergabung dalam perusahaan pers.
Dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, wartawan juga mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini untuk memberikan rasa aman kepada wartawan, dari adanya tindakan intimidasi atau kekerasan dari pihak manapun.
Meski demikian, belum seluruhnya masyarakat Indonesia memahami bagaimana wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Sehingga, masih saja ada muncul reaksi yang berlebihan dari pihak-pihak tertentu atau nara sumber, yang berakibat terhadap tindakan kekerasan.
Bukan hanya itu saja, jika kita cermati dalam beberapa tahun ke belakang, meski jumlahnya tak banyak, beberapa kantor media mendapatkan terror dan juga didemo dari pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan. Seolah ada semacam ‘kelatahan’ dalam menyampaikan pendapat melalui aksi unjuk rasa. Sehingga, ketika ada sesuatu hal, langsung disampaikan dengan unjuk rasa dengan mendatangi kantor media yang bersangkutan.Jika kondisi seperti ini terus terjadi, tentunya, kemerdekaan pers yang telah dijamin oleh pemerintah tidak berjalan dengan baik. Perlu adanya tindakan tegas dari pemerintah dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap wartawan, sehingga, ke depan tindakan kekerasan dalam dunia jurnalistik dapat diredam.Perlu menjadi pemahaman kita semua, bahwa pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan oleh sebuah pemberitaan, bisa memberikan hak jawab di media yang bersangkutan. Sebab, dalam aturannya, media memiliki kewajiban untuk melayani hak jawab. Jika jalur tersebut sudah ditempuh, namun dari pihak media tidak memberikan pelayanan, maka bisa diadukan kepada Dewan Pers untuk mengambil tindakan, dan bisa saja Dewan Pers menjatuhkan sanksi jika memang ada unsur-unsur kewajiban yang tidak dipenuhi oleh media yang bersangkutan. Sehingga, pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan kekerasan yang bentuknya cukup beragam.Kemudian, untuk mengurangi potensi terjadinya kekerasan, dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, wartawan juga harus menaati Kode Etik Jurnalistik yang berlaku. Sebab, ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik ini sangat mutlak bagi wartawan. Hal ini sudah ditegaskan dalam Pasal 7 UU tentang Pers, yakni wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Namun demikian, mau tidak mau harus diakui, jika hal ini terkadang masih terbilang rendah dalam praktik di lapangan, sebab, belum semuanya wartawan memahami secara utuh mengenai Kode Etik Jurnalistik. Pemahaman wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik yang masih rendah ini, tentu membawa efek pada berita yang dihasilkan.Untuk itu, menjadi bahan koreksi juga, perlu adanya peningkatan kompetensi bagi wartawan, sehingga ke depan semakin professional. Upaya-upaya meningkatkan kompetensi wartawan yang sejauh ini sudah dilakukan oleh organisasi wartawan, seperti PWI, AJI, IJTI dan lain sebagainya, tentunya kita apresiasi setinggi-tingginya. Harapannya, semakin banyak pekerja pers yang memang memahami tugas dan fungsinya secara utuh, sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap insan pers tidak lagi terjadi di Negara yang mengagungkan prinsip demokrasi ini.Lalu, jika Anda sampai poin ini masih bertanya-tanya dan tidak menemukan korelasi antara judul dengan isi tulisan, jawabannya memang tidak ada korelasinya sama sekali. Judul di atas hanyalah sebuah humor tebak-tebakan. Bukan bermaksud menyaingi popularitas cerita Mukidi yang lagi naik daun, namun sekadar untuk mengurangi sedikit kekakuan dalam membaca tulisan ini.Kemudian, apa yang Anda tahu bedanya penyanyi dangdut, dokter gigi dan wartawan? Jawabannya adalah, jika penyanyi dangdut mencari nafkah dengan mulutnya sendiri (menyanyi), kemudian kalau dokter gigi mencari nafkah dengan mulut orang lain (memeriksa gigi pasien) dan kalau wartawan mencari nafkah dari mulut ke mulut (mencari informasi dari orang lain).Namun, yang tak kalah penting dari judul di atas adalah, bagaimana kita memetik sebuah pelajaran ketika membaca sebuah tulisan atau berita. Tak jarang dari kita, ketika membaca tulisan atau berita hanya sebatas judulnya saja, yang terkadang hal tersebut menjadi sebuah pemahaman seseorang untuk menjustifikasi terhadap isi berita atau tulisan itu sendiri. Tipe-tipe netizen yang hanya membaca judul tulisan atau berita, kemudian menjadi alat provokasi ke publik, sering juga muncul di sosial media. Hal seperti ini, tentunya bisa berdampak terhadap hal buruk bagi media bersangkutan, yang bisa saja berujung adanya tindakan kekerasan dengan adanya provokasi tersebut. Kekerasan dalam hal ini, bukan hanya dalam bentuk fisik saja tapi juga nonfisik.Untuk itu, perlu adanya kebiasaan dari masyarakat untuk mendapatkan informasi secara utuh atau membaca tulisan secara tuntas, bukan hanya melihat judulnya saja. Ini diperlukan, supaya tidak memunculkan persepsi lain daripada isi tulisan tersebut. Dikhawatirkan, muncul sebuah tindakan yang melanggar hukum, karena adanya pemahaman secara parsial dari sesuatu yang didapatkan dari hanya membaca judul. Semoga, masyarakat kita ke depan lebih cerdas dalam menyikapi isi sebuah pemberitaan dan pekerja pers juga semakin professional. Dan ada yang perlu dicatat yaitu, jurnalis adalah pewarta, bukan pembawa petaka (*)
[caption id="attachment_93063" align="alignleft" width="150"]
Kholistiono [email protected][/caption]
KASUS kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan yang dilakukan oknum karyawan PLTU Rembang baru-baru ini, hanyalah satu potret bagaimana peristiwa kekerasan terhadap insan pers di Indonesia. Meski kasusnya saat ini sudah masuk ke ranah kepolisian untuk di buka secara terang benderang, namun pada prinsipnya kekerasan tidak dapat ditolerir.
Ada hal yang memprihatinkan jika melihat masih adanya kasus kekerasan yang menimpa insan pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Apalagi Indonesia sebagai Negara demokrasi telah menjamin kemerdekaan pers seperti yang tertuang dalam UUD 1945. Pers merupakan pilar demokrasi keempat, seperti halnya eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, sepanjang tahun 2016, dari Januari - April, kasus kekerasan terhadap wartawan jumlahnya mencapai 12 kasus. Rinciannya, Januari ada 5 kasus, Februari 3 dan April sebanyak 4. Sedangkan jika diakumulasikan selama 10 tahun, dari 2006-2016, jumlahnya sebanyak 511 kasus. Yakni pada 2006 (54 kasus) 2007 (75 kasus) 2008 (58 kasus) 2009 (38 kasus) 2010 (51 kasus) 2011 (45 kasus) 2012 (56 kasus) 2013 (40 kasus) 2014 (40 kasus) 2015 (42 kasus) da 2016 (12 kasus).
Meskipun secara grafik kasus kekerasan naik turun, namun tindakan semacam itu tentu tidak dapat ditoleransi. Dilihat dari bentuk kekerasan yang dihadapi wartawan, juga sangat beragam. Di antaranya ancaman, telepon gelap, teror, pelecehan, pemukulan, pengusiran, pelarangan liputan, perusakan kantor, perampasan kamera dan bahkan hingga pembunuhan.
Bentuk kekerasan-kekerasan semacam itu, tentu sangat mengganggu wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Hal ini juga telah melanggar hak asasi wartawan untuk mendapatkan dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak.
Secara tegas, dalam Pasal 4 UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Pers, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Artinya, pers nasional bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Pasal tersebut memberikan hak kepada wartawan untuk menjalankan tugas jurnalistiknya, yakni mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
Kemudian dalam poin 4 pasal 1 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, juga dijelaskan siapa yang dimaksud dengan wartawan. Yakni, orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Artinya, bukan mereka yang sekadar mempunyai kartu pers, tapi wartawan harus melakukan kegiatan jurnalistik secara teratur minimal 6 bulan berturur-turut dan tergabung dalam perusahaan pers.
Dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, wartawan juga mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini untuk memberikan rasa aman kepada wartawan, dari adanya tindakan intimidasi atau kekerasan dari pihak manapun.
Meski demikian, belum seluruhnya masyarakat Indonesia memahami bagaimana wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Sehingga, masih saja ada muncul reaksi yang berlebihan dari pihak-pihak tertentu atau nara sumber, yang berakibat terhadap tindakan kekerasan.
Bukan hanya itu saja, jika kita cermati dalam beberapa tahun ke belakang, meski jumlahnya tak banyak, beberapa kantor media mendapatkan terror dan juga didemo dari pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan. Seolah ada semacam ‘kelatahan’ dalam menyampaikan pendapat melalui aksi unjuk rasa. Sehingga, ketika ada sesuatu hal, langsung disampaikan dengan unjuk rasa dengan mendatangi kantor media yang bersangkutan.
Jika kondisi seperti ini terus terjadi, tentunya, kemerdekaan pers yang telah dijamin oleh pemerintah tidak berjalan dengan baik. Perlu adanya tindakan tegas dari pemerintah dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap wartawan, sehingga, ke depan tindakan kekerasan dalam dunia jurnalistik dapat diredam.
Perlu menjadi pemahaman kita semua, bahwa pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan oleh sebuah pemberitaan, bisa memberikan hak jawab di media yang bersangkutan. Sebab, dalam aturannya, media memiliki kewajiban untuk melayani hak jawab. Jika jalur tersebut sudah ditempuh, namun dari pihak media tidak memberikan pelayanan, maka bisa diadukan kepada Dewan Pers untuk mengambil tindakan, dan bisa saja Dewan Pers menjatuhkan sanksi jika memang ada unsur-unsur kewajiban yang tidak dipenuhi oleh media yang bersangkutan. Sehingga, pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan kekerasan yang bentuknya cukup beragam.
Kemudian, untuk mengurangi potensi terjadinya kekerasan, dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, wartawan juga harus menaati Kode Etik Jurnalistik yang berlaku. Sebab, ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik ini sangat mutlak bagi wartawan. Hal ini sudah ditegaskan dalam Pasal 7 UU tentang Pers, yakni wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Namun demikian, mau tidak mau harus diakui, jika hal ini terkadang masih terbilang rendah dalam praktik di lapangan, sebab, belum semuanya wartawan memahami secara utuh mengenai Kode Etik Jurnalistik. Pemahaman wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik yang masih rendah ini, tentu membawa efek pada berita yang dihasilkan.
Untuk itu, menjadi bahan koreksi juga, perlu adanya peningkatan kompetensi bagi wartawan, sehingga ke depan semakin professional. Upaya-upaya meningkatkan kompetensi wartawan yang sejauh ini sudah dilakukan oleh organisasi wartawan, seperti PWI, AJI, IJTI dan lain sebagainya, tentunya kita apresiasi setinggi-tingginya. Harapannya, semakin banyak pekerja pers yang memang memahami tugas dan fungsinya secara utuh, sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap insan pers tidak lagi terjadi di Negara yang mengagungkan prinsip demokrasi ini.
Lalu, jika Anda sampai poin ini masih bertanya-tanya dan tidak menemukan korelasi antara judul dengan isi tulisan, jawabannya memang tidak ada korelasinya sama sekali. Judul di atas hanyalah sebuah humor tebak-tebakan. Bukan bermaksud menyaingi popularitas cerita Mukidi yang lagi naik daun, namun sekadar untuk mengurangi sedikit kekakuan dalam membaca tulisan ini.
Kemudian, apa yang Anda tahu bedanya penyanyi dangdut, dokter gigi dan wartawan? Jawabannya adalah, jika penyanyi dangdut mencari nafkah dengan mulutnya sendiri (menyanyi), kemudian kalau dokter gigi mencari nafkah dengan mulut orang lain (memeriksa gigi pasien) dan kalau wartawan mencari nafkah dari mulut ke mulut (mencari informasi dari orang lain).
Namun, yang tak kalah penting dari judul di atas adalah, bagaimana kita memetik sebuah pelajaran ketika membaca sebuah tulisan atau berita. Tak jarang dari kita, ketika membaca tulisan atau berita hanya sebatas judulnya saja, yang terkadang hal tersebut menjadi sebuah pemahaman seseorang untuk menjustifikasi terhadap isi berita atau tulisan itu sendiri. Tipe-tipe netizen yang hanya membaca judul tulisan atau berita, kemudian menjadi alat provokasi ke publik, sering juga muncul di sosial media. Hal seperti ini, tentunya bisa berdampak terhadap hal buruk bagi media bersangkutan, yang bisa saja berujung adanya tindakan kekerasan dengan adanya provokasi tersebut. Kekerasan dalam hal ini, bukan hanya dalam bentuk fisik saja tapi juga nonfisik.
Untuk itu, perlu adanya kebiasaan dari masyarakat untuk mendapatkan informasi secara utuh atau membaca tulisan secara tuntas, bukan hanya melihat judulnya saja. Ini diperlukan, supaya tidak memunculkan persepsi lain daripada isi tulisan tersebut. Dikhawatirkan, muncul sebuah tindakan yang melanggar hukum, karena adanya pemahaman secara parsial dari sesuatu yang didapatkan dari hanya membaca judul. Semoga, masyarakat kita ke depan lebih cerdas dalam menyikapi isi sebuah pemberitaan dan pekerja pers juga semakin professional. Dan ada yang perlu dicatat yaitu, jurnalis adalah pewarta, bukan pembawa petaka (*)