MENYESAL. Itulah ekspresi yang paling mendominasi perasaan saya setelah beberapa jam mengikuti perkembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggerebek pendapa kabupaten di kota kretek dan menahan Bupati Kudus HM Tamzil plus sejumlah orang lainnya.
"Aku iki posisine rada gela karo kejadian iki," demikian bunyi pesan singkat WA yang saya kirim ke seorang teman ASN di lingkungan Pemkab, Jumat (26/7/2019) malam.
Beberapa jam sebelumnya, persis usai waktu salat Maghrib, saya juga mengatakan hal yang sama ke warga Kudus yang kini beraktivitas di PP Muhammadiyah.
Dia menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran kabar penangkapan Bupati Tamzil. "Jakarta sudah ramai ini, mas!" katanya di ujung telepon genggamnya.
Keesokan harinya, saya kembali mengulang kalimat yang kurang lebih sama, setelah salah satu petinggi partai pengusung Bupati Tamzil, menghubungi via telepon.
Kenapa saya menyesal? Pertama, karena Bupati Tamzil ini, ibaratnya, sudah diberi kesempatan untuk menebus dosa atau kesalahan di masa lalu.
Kedua, karena Bupati Tamzil sudah didawuhi banyak romo kiai agar fokus beribadah menjalankan tugas dan tidak berbuat aneh-aneh di masa pemerintahannya kali ini.
Ketiga, saya seperti deja vu. Di masa memerintah Kudus periode 2003-2008, saya adalah wartawan muda yang hampir setiap hari ngantor di depan ruang kerja bupati, bersama seorang reporter radio lokal.
Hal ini membuat saya dekat secara profesi dengan Bupati Tamzil. Tapi kedekatan itu merenggang ketika saya mulai mengkritik banyak program kerjanya yang bermasalah lewat tulisan. Saya memang ditugaskan kantor untuk meliputnya. Di situ profesionalitas jurnalis saya diuji.
Satu per satu kasus dugaan korupsi di sekitar Bupati Tamzil rajin saya tulis. Membuat suhu politik di Kudus saat itu menghangat.
Termasuk yang rajin saya tulis adalah dugaan korupsi proyek sarpas pendidikan tahun 2004 senilai lebih dari Rp 20 miliar. Kasus ini pula yang akhirnya membuat Bupati Tamzil harus mendekam di penjara pada tahun 2015 setelah purnatugas.
Setelah aksi OTT KPK itu, saya pun merasa mengalami deja vu. Bedanya, kali ini bukan saya yang melakukan reportase. Tapi media yang saya pimpin.
Seharian itu saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Mengikuti laporan demi laporan dari tim redaksi di lapangan.
Sejenak saya berpikir.
Kemudian muncul sederet pertanyaan penyesalan di benak ini. Kenapa bisa terjadi? Kenapa Pak Tamzil begitu ceroboh? Kenapa Pak Tamzil terjatuh di lubang yang sama? Dan kenapa Pak Tamzil harus "bertemu" saya lagi untuk urusan yang sama?
Saya pun berpikir lagi.
Bagaimana MURIANEWS.com harus memosisikan diri? Pasif menunggu perkembangan? Atau aktif mencari segala informasi yang terkait dengan peristiwa tersebut?
Saya pun memutuskan MURIANEWS.com harus aktif. Dan harus all out. Tujuannya hanya satu: menjaga visi MURIANEWS.com sebagai media yang independen, modern, dan profesional.