Minggu, 22 Juni 2025

TAWURAN antarpelajar kembali menorehkan luka di dunia pendidikan kita. Kali ini, tragedi terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah pada Jumat siang 9 Mei 2025 lalu. Seorang siswa meninggal dunia akibat insiden mengerikan ini.  

Peristiwa ini bukan hanya sekadar perkelahian jalanan, tetapi merupakan manifestasi dari persoalan mendalam yang membelit dunia remaja kita. Mulai dari minimnya pengawasan, lemahnya pembinaan budi pekerti, serta absennya sistem pencegahan kekerasan yang efektif.

Hebohnya tawuran pelajar ini memunculkan pertanyaan besar, ke mana perginya nilai-nilai budi pekerti yang seharusnya tertanam dalam diri para pelajar?

Tawuran, apa pun alasannya, adalah bentuk kegagalan dalam menyikapi perbedaan. Padahal, perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang harus disikapi dengan kepala dingin.

Memang, penyelesaian perbedaan dan konflik di kalangan pelajar ini tidak mudah, terlebih dengan jiwa muda yang masih menggebu dengan siap ingin menang dan dianggap jagoan. Namun, upaya penanaman budi pekerti yang dilakukan sekolah juga harus tertanam dalam sanubari.

Dalam konteks ini, sangat jelas bahwa pendidikan budi pekerti tidak bisa lagi dianggap pelengkap. Lebih dari itu, pendidikan budi pekerti harus menjadi bagian utama dari sistem pembelajaran nasional.

Sebab, pendidikan budi pekerti adalah pembentukan sikap dan nilai-nilai moral yang seharusnya ditanamkan sejak dini, dari keluarga hingga sekolah. Ketika pelajar tidak lagi segan melukai sesamanya, itu berarti mereka tidak benar-benar memahami makna hormat, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial.

Kita tentunya masih ingat bagaimana Ki Hajar Dewantara yang telah meletakkan dasar pendidikan Indonesia bukan semata untuk mencerdaskan otak, tetapi membentuk manusia seutuhnya, yakni manusia yang berpengetahuan, berperasaan halus, dan berbudi pekerti luhur.

  • 1
  • 2

Komentar

Terpopuler