Minggu, 26 Januari 2025


PROSES perekrutan calon perangkat desa di Desa Bulumanis Lor, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, selama beberapa pekan ini menjadi perbincangan hangat publik Pati. Munculnya pungutan yang harus dikeluarkan para calon yang ingin menjadi perangkat desa itu, yang membuat orang mengernyitkan dahi.

Publik menjadi jengah, karena untuk menjadi seorang perangkat desa (orang Pati sering meyebut dengan istilah sarekat), calon tersebut tak perlu mempunyai kualitas diri dan latarbelakang pendidikan yang mumpuni. Karena yang dijaring adalah calon-calon sarekat yang punya “kantong” tebal.

Bagaimana tidak, sebelum tahapan perekrutan dimulai, panitia pemilihan calon perangkat desa seolah sudah memasang “weweden sawah”. Yakni berupa aturan atau syarat tentang pungutan yang harus dibayarkan oleh calon yang akan mendaftar.

Di Desa Bulumanis Lor, setiap calon yang mendaftar harus menyiapkan uang puluhan juta rupiah. Itu jika mereka sudah dinyatakan lolos, maka dana yang harus disetorkan jauh lebih banyak lagi. Total pungutan dana yang digalang dari para calon sarekat di Desa Bulumanis Lor pun cukup besar, mencapai sekitar Rp 125 juta.

Dari jumlah itu, yang paling banyak menyetorkan uang yakni calon carik (sekretaris desa) terpilih, yakni sebesar Rp 75 juta. Kemudian, calon kasi umum yang dinyatakan lolos harus menyetor dana Rp 25 juta. Kemudian, pungutan dari empat calon didapatkan Rp 25 juta.

Pungutan itu disebut oleh pihak desa sebagai swadaya untuk keperluan penjaringan hingga pelantikan yang menghabiskan dana sebesar Rp 130 juta. Dengan jumlah pungutan yang didapatkan, praktis pihak desa hanya menyiapkan anggaran sebesar Rp 5 juta saja.

Memang, praktik seperti ini bukan hanya terjadi di Desa Bulumanis Lor saja, pungutan untuk calon sarekat ini juga terjadi hampir di seluruh desa yang ada di Kabupaten Pati. Bahkan di desa-desa lain nominal yang harus dibayarakan jauh lebih besar. Dan yang lebih parah lagi, hal ini dianggap sebagai sebuah hal yang biasa, dan menjadi sebuah kebiasaan dalam sebuah penjaringan calon perangkat desa.

Memang tidak ada aturan yang secara gamblang melarang adanya praktik pungutan untuk perekrutan calon sarekat ini. Namun jika kebiasaan ini terus dilanggengkan, maka akan menjadi kebiasaan yang konyol. Dengan kebiasaan ini praktik jual beli jabatan seolah dilegalkan.
Konyol, karena saat kita menggembar-gemborkan antikorupsi, ganyang korupsi dan berbagai macam berbau KKN, kebiasaan yang berpotensi besar menciptakan bibit-bibit koruptor ini justru dibiarkan.Bisa dibayangkan, perangkat desa yang dilahirkan dari “uang pungutan”, maka satu yang akan menjadi tujuannya. Mengembalikan modal. Hal itu yang akan selalu tertanam di benak para sarekat hasil uang pungut ini. Karena bukan tidak mungkin, modal yang digunakan merupakan hasil utang.Berbagai macam cara akan dilakukan, mulai dari “nguntit” dana anggaran, hingga meminta persenan atau pungutan liar dari warga yang mengurus dokumen. Bukan kinerja maksimal yang akan dihasilkan, justru kesengsaraan rakyat yang akan didapatkan.Kebiasaan yang terus dimaklumi ini juga hanya akan menghasilkan aparatur-aparatur pemerintah desa karbitan saja. Karena calon-calon potensial yang tak mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup tak akan berani mendaftar, dan akhirnya hanya menjadi penonton.Alasan yang digunakan pemerintah desa untuk menarik pungutan itu juga klise. Karena tak seharusnya biaya penjaringan, tes hingga pelantikan dibebankan kepada calon. Pihak desa sering beralasan minimnya anggaran yang menjadi alasan untuk menarik pungutan. Tapi alasan ini bisa dibilang juga sangat mengada-ngada.Karena proses perekrutan calon perangkat desa bukanlah hal yang secara mendadak untuk digelar. Sejak beberapa tahun sebelumnya, pemerintah desa sudah mengetahuinya. Sehingga seharusnya, pemerintah desa bisa menyisihkan dari APBDes tiap tahunnya, untuk proses perekrutan.Selain itu, desa-desa di Pati banyak yang mempunyai aset atau banda desa yang banyak. Untuk mengumpulkan dana Rp 100-200 juta, bukanlah hal sulit. Sehingga ini seharusnya bisa menjadi solusi, ketimbang harus membebankan biaya kepada para calon, dan secara tidak langsung mendidik mereka menjadi calon-calon koruptor.Ah…tapi itu semuanya hanya hitung-hitungan di atas kertas. Yang jadi titik pentingnya adalah political will para birokrat ini. Apakah mereka berani mengubah kebiasaan konyol itu? Atau justru ikut arus dan menikmati hasil dari pungutan yang cukup menggiurkan. Kita lihat saja. (*)

Baca Juga

Komentar

Gagasan Terkini

Terpopuler