Minggu, 26 Januari 2025


BULAN Ramadan yang kembali hadir memberikan kesejukan, keistimewaan dan kehangatan bagi umat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri Ramadan menjadi bulan yang disambut begitu meriah dengan berbagai tradisi budaya yang melekat pada masing-masing daerah. Ramadan memang menjadi bulan yang istimewa bahkan tercatat dalam Alquran.

”Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur” (QS. Al Baqarah 185).

Sangat jelas bahwa kenapa Ramadan menjadi bulan yang sangat istimewa. Pertama, Ramadan menjadi bulan di mana Alquran sebagai petunjuk dan kitab bagi umat Islam ini diturunkan. Kedua, pada Ramadan terdapat keistimewaan malam seribu bulan atau sering disebut malam lalilatul qadar.

Pada Alquran juga dijelaskan bahwa lailatul qadar ini merupakan malam seribu bulan atau malam yang mulia. Di malam ini umat manusia bisa mendapat keberkahan yang nilainya sama dengan seribu bulan.

Ketiga, dilipatgandakannya setiap amal ibadah umat manusia dengan nilai amal yang lebih. Setiap perbuatan kebaikan sudah pasti akan diganjar dengan pahala, pada bulan Ramadan ini segala perbuatan kebaikan akan dilipatgandakan dari nilai amal yang sudah dilakukan seseorang.

Selain itu ada ibadah dan amalan istimewa yang hanya ada di bulan Ramadan, seperti salat tarawih dan memberi makan orang yang berbuka puasa, sehingga banyak amal dan ibadah yang lebih untuk bisa dilakukan agar mendapat pahala berlipat.

Keempat, di bulan Ramadan ini pula ada kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan rukun Islam yang ketiga dan keempat, yaitu puasa Ramadan selama satu bulan penuh dan membayar zakat fitrah. Puasa wajib inilah yang juga menjadi pembeda dengan bulan lainnya yang tidak diwajibkan bagi umat Islam untuk melakukan puasa.

Puasa wajib ini bisa menjadi cerminan hidup pada diri manusia. Tujuan puasa bagaimana yang diperintahkan oleh Allah adalah untuk menjadikan manusia lebih bertakwa terhadap Allah SWT.

Sebagaimana yang kita ketahui secara umum pelaksanaan puasa ini menahan makan dan minum dari terbit fajar sidiq sampai tenggelamnya matahari. Tidak bisa dilihat secara kasat mata bentuk atau ciri-ciri orang yang berpuasa. Karena sejatinya puasa hanya bisa dilihat oleh diri sendiri. Kejujuran dan ketaqwaan manusia bisa tercermin dari melakukan puasa ini.

Inti Puasa dalam Tasawuf

Sebagaimana dalam ajaran tasawuf, puasa diartikan sebagai menahan. Menahan diri dari hawa nafsu dari pelbagai kehidupan, seperti menahan makan dan minum di siang hari, menahan atau menjaga pandangan mata, menahan perkataan yang kurang memberikan manfaat dan menahan tidak melakukan hubungan suami istri di siang hari. Yang tentunya dari semua perbuatan yang menahan tadi dilandasi dengan niat yang sungguh-sungguh kepada Allah SWT.

Dalam pandangan tasawuf, puasa adalah menahan atau mengendalikan hawa nafsu dari segala hal yang membuat manusia lalai. Sebab nafsu dalam ajaran tasawuf merupakan sumber yang menyebabkan terjadinya pelbagai dosa dan kejahatan, baik dosa secara lahir maupun dosa batin yang bisa merusak atau mengotori  kesucian jiwa setiap manusia.Bisa ditarik kesimpulan bahwa ruang lingkup hawa nafsu dalam ajaran tasawuf tidak serta merta hanya membatasi nafsu makan dan minum atau nafsu seksualitas saja, melainkan meliputi pula berbagai macam hal yang bisa mendorong manusia atau orang untuk melakukan kejahatan.Inti dari puasa yang dilakukan manusia, adalah pengendalian nafsu.  Karena dengan mampu mengendalikan nafsu, manusia bisa terhindar dari berbagai macam perbuatan keji dan mungkar, atau yang dikenal dalam ajaran ilmu tasawuf adalah takhalli .Bisa diartikan bahwa takhalli adalah tahapan awal manusia untuk mulai mengosongkan diri dari berbagai macam perbuatan tercela. Agar kemudian manusia bisa sampai tahapan tahalli  dan menuju ke tajalli.Di tahapan awal, manusia yang sudah mulai niat untuk melakukan puasa, atau dalam ajaran tasawuf dikenal takhalli, maka perlu diisi dengan berbagai kegiatan yang mendukung dan memberikan manfaat dan keberkahan yang mampu mendatangkan amalan-amalan yang tentunya diridhai oleh Allah SWT, atau dalam ajaran tasawuf dikenal dengan istilah tahalli .Dilihat maknanya secara bahasa, tahalli memiliki arti pengisian. Dalam kajian ajaran ilmu tasawuf, tahalli  bermakna pengisian hati dengan sifat-sifat baik (mahmudah) atau dengan kalimat-kalimat zikir yang mana sebelumnya hati sudah dilakukan pengosongan atau pembersihan dari sifat sifat kotor (madzmumah).Sifat atau hal baik apa yang bisa dilakukan dalam masa bulan ramadan ini, tentunya sangat banyak sekali yang bisa dilakukan. Seperti halnya melakukan tadarus Alquran, memperbanyak sedekah memberikan takjil bagi orang yang berpuasa, memperbanyak salat sunah, zikir dan beriktifkaf, melakukan sahur dan lainnya.Jika hal baik yang dilakukan ini hanya sekadar ingin dilihat seseorang atau tidak dilandasi dari dalam hati dan keikhlasan, tentunya  yang diperoleh hanya sekadar nama baik dari orang yang melihat, tetapi esensi dari tahalli  ini tidak bisa diperoleh.Proses selanjutnya yaitu dengan tajalli, pada tahapan ketiga ini yang disebut tajalli atau menghubungkan diri dengan Allah SWT. Di sinilah, manusia bisa mencapai derajat sebagai insan kamil, saat benar-benar bisa merasakan semua nikmat dari suluk atau jalan spiritual yang sudah ditempuh. Di dalam Alquran juga dijelaskan bahwa ”Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk”, (QS. Thaha).Bisa ditafsirkan bahwa, Allah Sang Maha pengampun, yang artinya akan menerima tobat dari semua makhluknya yang benar-benar tobat dan meninggalkan perbuatan dan sifat-sifat buruk. Apalagi jika makhluk yang melakukan suluk atau jalan spiritual dengan niat untuk mendekatkan dan berserah diri terhadap Allah SWT. (*) *) Bendahara LKKNU Cabang Sukoharjo, Dosen Tasawuf Psikoterapi UIN Raden Mas Said Surakarta

Baca Juga

Komentar

Gagasan Terkini

Terpopuler