ENTAH bagaimana awalnya, isu tentang penculikan anak menyebar hingga menjadi viral di media sosial. Entah awalnya hanya keisengan, atau memang ada tujuan tertentu, yang pasti isu ini sangat merugikan dan begitu menyakitkan.
Orang-orang jadi semakin mudah ”baper” hanya karena melihat seorang gelandangan tengah berkeliaran, atau melihat pengemis yang tengah duduk-duduk di emperan pos kampling. Polisi juga tak kalah bapernya, sibuk mencari-cari sambil bertanya-tanya, ”Katanya banyak kasus penculikan, kok tidak ada laporan yang masuk ke kita ya?”.
Tak terkecuali para orang tua, yang kini semakin super protektif dengan anak-anaknya. Bocah-bocah yang seharusnya bebas bermain, bercanda dengan teman sepermainan, kini ditakut-takuti menjadi sasaran penculikan. Mereka dijejali rasa takut dengan ancaman organ dalam mereka nantinya akan dibedah dan dijual ke orang tak bertanggungjawab.
Sungguh sangat kasihan, bocah-bocah ini seharusnya tak perlu tahu mengenai masalah-masalah mengerikan seperti ini. Apalagi isu-isu itu juga hingga kini belum terbukti kebenarannya. Pihak kepolisian sudah berkali-kali menyampaikan penjelasan bahwa kabar penculikan itu bohong.
Meski demikian, orang-orang sudah terlanjur termakan dengan isu penculikan itu. Yang begitu menyakitkan, akibat isu yang tak jelas juntrungnya ini orang-orang miskin yang menggantungkan hidup dari sisa-sisa orang, yang akhirnya kena dampaknya. Orang Jawa bilang,
keno awu anget.
Mereka yang tak tahu apa-apa menjadi bulan-bulanan massa, dihajar, dikeroyok hingga babak belur. Tak hanya satu atau dua kasus, hampir di semua daerah terjadi kasus main hakim sendiri, gara-gara melihat pengemis atau gelandangan yang mondar-mandir. Mereka kelewat curiga, dan terlalu terpengaruh dengan isu penculikan itu, menjadikan orang tak bersalah jadi sasaran amarah.
Orang-orang yang keburu ”parno” menjadi buta mata dan buta hati, tak peduli itu benar atau salah, pokoknya ketemu pengemis mencurigakan langsung saja digebuki. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pati beberapa waktu lalu, gara-gara seorang pengemis membawa uang satu juta rupiah yang ditaruh di dalam dunak, langsung saja dicurigai sebagai penculik dan bagian organisasi penjualan organ manusia. Orang Pati menyebutnya sebagai pelaku ”peletan”.
Nyatanya, setelah ditangkap dan diamankan di polres, tak terbukti sedikitpun jika orang itu adalah pelaku ”peletan”. Ini semua karena masyarakat kita masih begitu mudah ”dihasut”. Isu-isu yang menyebar di media sosial dengan gampangnya mereka percayai tanpa melakukan kroscek terlebih dahulu.
Padahal jika mau sedikit membaca dan mencari informasi pembanding, orang tak akan mudah tertipu dengan isu penjualan organ dengan modus menculik anak ini. Apalagi untuk melakukan transplantasi organ dalam itu juga tak semudah yang dibayangkan.Wakil Ketua Tim Transplantasi Ginjal RSCM, dr Maruhum Bonar H Marbun, Sp.PD-KGH, bahkan menyebut proses cangkok organ akan sangat sulit dilakukan jika organ donornya berasal dari korban penculikan. Karena menurut dia, sebelum dilakukan pencangkokan harus diteliti dulu kecocokan antara pendonor dan penerima.Menurutnya, terdapat kesulitan melakukan pencangkokan organ dari orang asing. Tingkat kesesuaian lebih tinggi jika donasi berasal dari orang yang masih punya hubungan keluarga. Sehingga risiko ditolak oleh tubuh penerima lebih kecil.Apalagi di Indonesia proses transplantasi organ prosesnya sangat
njlimet, dan yang paling penting usia pendonor harus lebih dari 18 tahun. Nah kalau yang diculik itu anak-anak, kemungkinan besar organnya belum bisa dipakai.Memang kewaspadaan itu penting, namun jika terlalu “parno” justru akan merugikan. Isu-isu seperti ini sebenarnya tidak kali ini saja muncul. Dulu zaman media sosial belum ada, juga kerap muncul isu-isu penculikan anak seperti ini.Seperti yang dialami penulis di era 80-an akhir, juga sering ditakut-takuti dengan isu penculikan anak oleh penjual ”arumanis” (kembang gula) keliling.Saat itu banyak beredar kabar jika para penculik menggunakan modus jualan arumanis untuk mencari mangsa anak-anak. Setelah diculik, organ bahkan kepalanya akan diambil untuk tumbal.Alhasil ketika ada penjual arumanis lewat, anak-anak kecil langsung berlari ketakutan. Padahal mungkin saja awalnya, orang yang menyebarkan kabar ini hanya sekadar iseng menakuti anaknya agar tak terus merengek minta jajan arumanis.Di zaman informasi yang tak bisa dikendalikan dengan adanya media sosial ini, masyarakat seharusnya lebih cerdas. Jangan mudah terhasut kabar yang belum tentu benarnya. Dan yang paling penting saring dulu kabar yang Anda terima sebelum di-
sharing (bagikan). (*)
[caption id="attachment_110938" align="alignleft" width="150"]
Ali Muntoha [email protected][/caption]
ENTAH bagaimana awalnya, isu tentang penculikan anak menyebar hingga menjadi viral di media sosial. Entah awalnya hanya keisengan, atau memang ada tujuan tertentu, yang pasti isu ini sangat merugikan dan begitu menyakitkan.
Orang-orang jadi semakin mudah ”baper” hanya karena melihat seorang gelandangan tengah berkeliaran, atau melihat pengemis yang tengah duduk-duduk di emperan pos kampling. Polisi juga tak kalah bapernya, sibuk mencari-cari sambil bertanya-tanya, ”Katanya banyak kasus penculikan, kok tidak ada laporan yang masuk ke kita ya?”.
Tak terkecuali para orang tua, yang kini semakin super protektif dengan anak-anaknya. Bocah-bocah yang seharusnya bebas bermain, bercanda dengan teman sepermainan, kini ditakut-takuti menjadi sasaran penculikan. Mereka dijejali rasa takut dengan ancaman organ dalam mereka nantinya akan dibedah dan dijual ke orang tak bertanggungjawab.
Sungguh sangat kasihan, bocah-bocah ini seharusnya tak perlu tahu mengenai masalah-masalah mengerikan seperti ini. Apalagi isu-isu itu juga hingga kini belum terbukti kebenarannya. Pihak kepolisian sudah berkali-kali menyampaikan penjelasan bahwa kabar penculikan itu bohong.
Meski demikian, orang-orang sudah terlanjur termakan dengan isu penculikan itu. Yang begitu menyakitkan, akibat isu yang tak jelas juntrungnya ini orang-orang miskin yang menggantungkan hidup dari sisa-sisa orang, yang akhirnya kena dampaknya. Orang Jawa bilang,
keno awu anget.
Mereka yang tak tahu apa-apa menjadi bulan-bulanan massa, dihajar, dikeroyok hingga babak belur. Tak hanya satu atau dua kasus, hampir di semua daerah terjadi kasus main hakim sendiri, gara-gara melihat pengemis atau gelandangan yang mondar-mandir. Mereka kelewat curiga, dan terlalu terpengaruh dengan isu penculikan itu, menjadikan orang tak bersalah jadi sasaran amarah.
Orang-orang yang keburu ”parno” menjadi buta mata dan buta hati, tak peduli itu benar atau salah, pokoknya ketemu pengemis mencurigakan langsung saja digebuki. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pati beberapa waktu lalu, gara-gara seorang pengemis membawa uang satu juta rupiah yang ditaruh di dalam dunak, langsung saja dicurigai sebagai penculik dan bagian organisasi penjualan organ manusia. Orang Pati menyebutnya sebagai pelaku ”peletan”.
Nyatanya, setelah ditangkap dan diamankan di polres, tak terbukti sedikitpun jika orang itu adalah pelaku ”peletan”. Ini semua karena masyarakat kita masih begitu mudah ”dihasut”. Isu-isu yang menyebar di media sosial dengan gampangnya mereka percayai tanpa melakukan kroscek terlebih dahulu.
Padahal jika mau sedikit membaca dan mencari informasi pembanding, orang tak akan mudah tertipu dengan isu penjualan organ dengan modus menculik anak ini. Apalagi untuk melakukan transplantasi organ dalam itu juga tak semudah yang dibayangkan.
Wakil Ketua Tim Transplantasi Ginjal RSCM, dr Maruhum Bonar H Marbun, Sp.PD-KGH, bahkan menyebut proses cangkok organ akan sangat sulit dilakukan jika organ donornya berasal dari korban penculikan. Karena menurut dia, sebelum dilakukan pencangkokan harus diteliti dulu kecocokan antara pendonor dan penerima.
Menurutnya, terdapat kesulitan melakukan pencangkokan organ dari orang asing. Tingkat kesesuaian lebih tinggi jika donasi berasal dari orang yang masih punya hubungan keluarga. Sehingga risiko ditolak oleh tubuh penerima lebih kecil.
Apalagi di Indonesia proses transplantasi organ prosesnya sangat
njlimet, dan yang paling penting usia pendonor harus lebih dari 18 tahun. Nah kalau yang diculik itu anak-anak, kemungkinan besar organnya belum bisa dipakai.
Memang kewaspadaan itu penting, namun jika terlalu “parno” justru akan merugikan. Isu-isu seperti ini sebenarnya tidak kali ini saja muncul. Dulu zaman media sosial belum ada, juga kerap muncul isu-isu penculikan anak seperti ini.
Seperti yang dialami penulis di era 80-an akhir, juga sering ditakut-takuti dengan isu penculikan anak oleh penjual ”arumanis” (kembang gula) keliling.
Saat itu banyak beredar kabar jika para penculik menggunakan modus jualan arumanis untuk mencari mangsa anak-anak. Setelah diculik, organ bahkan kepalanya akan diambil untuk tumbal.
Alhasil ketika ada penjual arumanis lewat, anak-anak kecil langsung berlari ketakutan. Padahal mungkin saja awalnya, orang yang menyebarkan kabar ini hanya sekadar iseng menakuti anaknya agar tak terus merengek minta jajan arumanis.
Di zaman informasi yang tak bisa dikendalikan dengan adanya media sosial ini, masyarakat seharusnya lebih cerdas. Jangan mudah terhasut kabar yang belum tentu benarnya. Dan yang paling penting saring dulu kabar yang Anda terima sebelum di-
sharing (bagikan). (*)