UJIAN Nasional (UN) memang kini bukanlah sebuah momok yang begitu menakutkan seperti tahun-tahun sebelumnya. UN bukan lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan bagi siswa, ini yang membuat siswa bisa bernafas lega. Di tataran pusat pun masih mencuat perdebatan perlu tidaknya digelar UN ini, hingga kemudian muncul wacana untuk melakukan moratorium.
Bahasan yang lagi hangat saat ini tak lagi hanya sebatas perlu tidaknya UN, tapi sistem yang digunakan dalam ujian yang berbasis komputer (Ujian Nasional Berbasis Komputer /UNBK). Banyak sekolah yang berlomba-lomba untuk menggelar ujian dengan sistem
computer based ini, tanpa mengukur kemampuannya.
Penyebabnya karena satu, yakni gengsi dan harga diri sekolah. Sekolah merasa akan terlihat sangat mentereng jika bisa menggelar UNBK. Namun sayang, kadang obsesi ini tak dibarengi dengan kemampuan yang memadai. Ujung-ujungnya siswa yang akan menjadi korban.
Beberapa sekolah akan menjadikan siswanya sebagai ”sapi perahan” menarik iuran sebanyak-banyaknya untuk menyiapkan berbagai macam peralatan untuk menggelar UNBK (biasanya sekolah swasta). Karena syarat sekolah untuk menggelar UNBK adalah setidaknya memiliki fasilitas perangkat komputer minimal 1/3 + 10 dari jumlah siswa yang ikut UNBK.
Hanya demi gengsi, sekolah akan menggunakan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Padahal biaya yang diperlukan juga tidak sedikit, belum lagi masalah jaringan dan koneksi internet. Tentunya orang tua siswa yang akan ketiban sampur untuk membayar iuran-iuran guna melengkapi infrastruktur penunjang UNBK itu.
Kenapa? karena hingga saat ini pemerintah belum mengalokasikan anggaran apapun untuk penyiapan sarana dan prasarana menggelar UNBK di sekolah-sekolah. Baik pemerintah provinsi ataupun pemerintah daerah, hingga pusat pun belum menyediakan anggaran untuk ini. Sekolah-sekolah akhirnya memanfaatkan dana BOS yang tak seberapa itu untuk membeli perangkat komputer. Sisanya orang tua siswa yang harus menanggung.
Sekolah-sekolah yang tak tega memeras wali muridnya, namun tetap ingin menggelar UNBK, juga ada. Sekolah seperti ini akan memboyong siswa-siswanya untuk nebeng ujian di sekolah lain yang punya peralatan komplit untuk menggelar UNBK.Karena sesuai aturan jika sekolah memang tidak memiliki perangkat komputer sesuai yang dipersyaratkan, sekolah diperbolehkan menginduk ke sekolah terdekat. Kembali lagi, siswanya yang jadi korban. Secara psikologis, siswa akan lebih nyaman mengikuti ujian di sekolahnya sendiri ketimbang harus nebeng di sekolah lain. Belum lagi masalah jarak dengan sekolah yang ditebengi itu tak jarang lebih jauh dari rumahnya.Ini terlihat di Kabupaten Rembang. Ada puluhan sekolah yang ngotot tetap menggelar UNBK meskipun infrastrukturnya tak memadai. Akhirnya sekolah-sekolah itu harus menginduk ke sekolah lain. Catatan Dinas Pendidikan Rembang di tingkat SMP/MTs ada 23 sekolah yang menitipkan siswa-siswinya untuk mengikuti UNBK di sekolah lain.Hal ini cukup disayangkan. Jika sekolah memang belum mampu untuk menggelar UNBK seharusnya tak perlu ngotot, apalagi sampai nebeng ke sekolah lain. Toh masih ada sistem UN yang berbasih kertas dan pensil yang masih bisa digunakan.Seruan-seruan seperti ini sudah sangat sering dilontarkan berbagai pihak. Namun kenyataan di lapangan masih banyak sekolah yang ngotot karena demi gengsi.Fakta seperti ini harusnya menjadi pelajaran, terutama bagi pemerintah. Jika memang mensyaratkan digelar UNBK, pemerintah juga harus berusaha untuk membantu memenuhi infrastruktur di sekolah-sekolah. Jangan hanya mengeluarkan kebijakan tanpa ada solusi.Bagaimanapun juga meski UN tak lagi menjadi faktor utama penentu kelulusan, pada kenyataannya nilai UN tetap menjadi hal yang utama untuk menempuh pendidikan selanjutnya. Sehingga kebijakan mengenai UN ini harus didesain dengan lebih membumi tanpa harus memberatkan. (*)
[caption id="attachment_110097" align="alignleft" width="150"]
Ali Muntoha [email protected][/caption]
UJIAN Nasional (UN) memang kini bukanlah sebuah momok yang begitu menakutkan seperti tahun-tahun sebelumnya. UN bukan lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan bagi siswa, ini yang membuat siswa bisa bernafas lega. Di tataran pusat pun masih mencuat perdebatan perlu tidaknya digelar UN ini, hingga kemudian muncul wacana untuk melakukan moratorium.
Bahasan yang lagi hangat saat ini tak lagi hanya sebatas perlu tidaknya UN, tapi sistem yang digunakan dalam ujian yang berbasis komputer (Ujian Nasional Berbasis Komputer /UNBK). Banyak sekolah yang berlomba-lomba untuk menggelar ujian dengan sistem
computer based ini, tanpa mengukur kemampuannya.
Penyebabnya karena satu, yakni gengsi dan harga diri sekolah. Sekolah merasa akan terlihat sangat mentereng jika bisa menggelar UNBK. Namun sayang, kadang obsesi ini tak dibarengi dengan kemampuan yang memadai. Ujung-ujungnya siswa yang akan menjadi korban.
Beberapa sekolah akan menjadikan siswanya sebagai ”sapi perahan” menarik iuran sebanyak-banyaknya untuk menyiapkan berbagai macam peralatan untuk menggelar UNBK (biasanya sekolah swasta). Karena syarat sekolah untuk menggelar UNBK adalah setidaknya memiliki fasilitas perangkat komputer minimal 1/3 + 10 dari jumlah siswa yang ikut UNBK.
Hanya demi gengsi, sekolah akan menggunakan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Padahal biaya yang diperlukan juga tidak sedikit, belum lagi masalah jaringan dan koneksi internet. Tentunya orang tua siswa yang akan ketiban sampur untuk membayar iuran-iuran guna melengkapi infrastruktur penunjang UNBK itu.
Kenapa? karena hingga saat ini pemerintah belum mengalokasikan anggaran apapun untuk penyiapan sarana dan prasarana menggelar UNBK di sekolah-sekolah. Baik pemerintah provinsi ataupun pemerintah daerah, hingga pusat pun belum menyediakan anggaran untuk ini. Sekolah-sekolah akhirnya memanfaatkan dana BOS yang tak seberapa itu untuk membeli perangkat komputer. Sisanya orang tua siswa yang harus menanggung.
Sekolah-sekolah yang tak tega memeras wali muridnya, namun tetap ingin menggelar UNBK, juga ada. Sekolah seperti ini akan memboyong siswa-siswanya untuk nebeng ujian di sekolah lain yang punya peralatan komplit untuk menggelar UNBK.
Karena sesuai aturan jika sekolah memang tidak memiliki perangkat komputer sesuai yang dipersyaratkan, sekolah diperbolehkan menginduk ke sekolah terdekat. Kembali lagi, siswanya yang jadi korban. Secara psikologis, siswa akan lebih nyaman mengikuti ujian di sekolahnya sendiri ketimbang harus nebeng di sekolah lain. Belum lagi masalah jarak dengan sekolah yang ditebengi itu tak jarang lebih jauh dari rumahnya.
Ini terlihat di Kabupaten Rembang. Ada puluhan sekolah yang ngotot tetap menggelar UNBK meskipun infrastrukturnya tak memadai. Akhirnya sekolah-sekolah itu harus menginduk ke sekolah lain. Catatan Dinas Pendidikan Rembang di tingkat SMP/MTs ada 23 sekolah yang menitipkan siswa-siswinya untuk mengikuti UNBK di sekolah lain.
Hal ini cukup disayangkan. Jika sekolah memang belum mampu untuk menggelar UNBK seharusnya tak perlu ngotot, apalagi sampai nebeng ke sekolah lain. Toh masih ada sistem UN yang berbasih kertas dan pensil yang masih bisa digunakan.
Seruan-seruan seperti ini sudah sangat sering dilontarkan berbagai pihak. Namun kenyataan di lapangan masih banyak sekolah yang ngotot karena demi gengsi.
Fakta seperti ini harusnya menjadi pelajaran, terutama bagi pemerintah. Jika memang mensyaratkan digelar UNBK, pemerintah juga harus berusaha untuk membantu memenuhi infrastruktur di sekolah-sekolah. Jangan hanya mengeluarkan kebijakan tanpa ada solusi.
Bagaimanapun juga meski UN tak lagi menjadi faktor utama penentu kelulusan, pada kenyataannya nilai UN tetap menjadi hal yang utama untuk menempuh pendidikan selanjutnya. Sehingga kebijakan mengenai UN ini harus didesain dengan lebih membumi tanpa harus memberatkan. (*)