PUBLIK di Kudus dibuat terperanjat dengan kasus penemuan mayat yang sudah membusuk di ladang tebu di Desa Jurang, Kecamatan Gebog, Kudus, beberapa waktu lalu. Kasus ini sudah terungkap, dan ternyata mayat itu merupakan korban pembunuhan.
Dari hasil penyelidikan yang dilakukan polisi diketahui jika pemuda bernama Yusrul Hana itu dibunuh dengan cara keji. Korban dikeroyok, dibantai dan dibacok oleh beberapa orang. Bukan penemuan mayatnya yang membuat orang-orang mengernyitkan dahi, melainkan orang yang membunuh pemuda ini.
Polisi yang melakukan pendalaman kasus ini menemukan pelakunya merupakan lima orang anak-anak baru gede (ABG) yang masih bau kencur. Dan ini yang membuat orang jadi berpikir sangat keras, yakni motif yang melatarbelakangi para bocah bau kencur ini membunuh orang yang lebih tua dari mereka.
Motifnya adalah asmara. Salah satu pelaku yang umurnya baru 17 tahun cemburu dan merasa tak terima pacarnya diganggu oleh korban. Pelaku kemudian mengajak empat kawannya yang juga berusia belasan tahun untuk menghajar korban secara membabi buta. Mungkin awalnya kawanan bocah ini hanya ingin memberi pelajaran pada korban, namun pelajaran yang diberikan kebablasan, dan mereka terlalu kalap hingga akhirnya korban dibantai hingga kehilangan nyawa.
Kenekatan bocah-bocah bau kencur ini sampai bisa membunuh orang memang membuat orang terhenyak. Di masa umur mereka yang seharusnya digunakan untuk menggali ilmu, justru disalahgunakan, sehingga mereka harus menjalani kehidupan di sel tahanan penjara.
Kenekatan bocah-bocah ini tak lepas dari pergaulan mereka, dan dampak dari perkembangan teknologi informasi. Bocah-bocah pada masa sekarang, sudah sejak kecil dicekoki dengan berbagai macam informasi yang tak terkontrol.
Televisi menjadi sumber utama, dan belakangan media sosial yang ikut memberi andil sangat kuat terhadap perkembangan watak generasi muda.
Kisah percintaan anak-anak belia yang semakin salah kaprah ini juga dampak dari dua media tersebut. Sinetron, film, dan dan media sosial sering mempertontonkan cerita-cerita percintaan, yang kemudian diadaptasi secara mentah-mentah oleh bocah-bocah kita. Mereka semakin berani mengumbar kemesraan di muka umum, padahal umur mereka tak habis jika dihitung dengan seluruh jari yang ada di tubuh manusia.
Bahkan yang sangat miris, di kalangan anak muda saat ini muncul stigma jika “jomblo” itu sebuah kutukan yang harus dihindari. Sehingga mereka berlomba-lomba mencari pacar, kekasih, dan ujungnya juga berbuat hal-hal yang tak senonoh, maksiat dan segalanya.Di sekolah-sekolah juga muncul geng-geng, yang mengikuti perkembangan saat ini, istilah mereka “kekinian”. Ini juga mengadaptasi dari massifnya gempuran budaya pop yang disajikan sinetron-sinetron, seperti sinetron “Anak Jalanan”.Semakin liarnya pergaulan anak muda ini yang menjadikan mereka tak segan-segan melakukan tindakan di luar nalar, bahkan tindakan keji seperti membunuh. Terlebih tidak sedikit dari bocah-bocah ini yang mulai ketagihan dengan minuman keras, sehingga membutakan akal sehat.Fenomena seperti ini bukan terjadi belakangan ini saja, tapi sudah sangat menahun. Dan kejadian seperti ini juga bukan kali ini saja terjadi. Bahkan intensitasnya bukan menurun, justru semakin banyak setiap tahunnya.Tak ada yang bisa disalahkan memang, karena jika dirunut banyak faktor yang menyebabkan kenakalan remaja semakin menjadi seperti ini. Yang harus dilakukan saat ini dan terus ke depan, yakni dengan semakin meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak kita.Yang terpenting yakni dari sisi keluarga dan sekolah. Orang tua harus semakin peka dengan perkembangan emosional anak dan pergaulannya. Pihak sekolah juga harus terus berupaya memberikan pendampingan dan pengawasan terhadap murid-muridnya.Terlebih waktu anak paling banyak terdapat di sekolah dan di lingkungan pergaulan. Jika melihat kondisi seperti ini, wacana
one day school layak untuk dicermati kembali. Kebijakan sekolah sehari penuh itu, dengan melihat kondisi saat ini, setidaknya bisa menjadi salah satu solusi untuk menekan kenakalan remaja.Waktu anak akan dihabiskan untuk belajar dan mendapat pendampingan oleh guru di sekolah. Sehingga waktu bagi mereka untuk keluyuran dan lainnya akan semakin sedikit. Meski demikian, konsepnya harus dibuat lebih ramah dengan anak, sehingga nantinya tidak ada kejenuhan, dan efek lainnya. (*)
[caption id="attachment_108587" align="alignleft" width="150"]
Ali Muntoha [email protected][/caption]
PUBLIK di Kudus dibuat terperanjat dengan kasus penemuan mayat yang sudah membusuk di ladang tebu di Desa Jurang, Kecamatan Gebog, Kudus, beberapa waktu lalu. Kasus ini sudah terungkap, dan ternyata mayat itu merupakan korban pembunuhan.
Dari hasil penyelidikan yang dilakukan polisi diketahui jika pemuda bernama Yusrul Hana itu dibunuh dengan cara keji. Korban dikeroyok, dibantai dan dibacok oleh beberapa orang. Bukan penemuan mayatnya yang membuat orang-orang mengernyitkan dahi, melainkan orang yang membunuh pemuda ini.
Polisi yang melakukan pendalaman kasus ini menemukan pelakunya merupakan lima orang anak-anak baru gede (ABG) yang masih bau kencur. Dan ini yang membuat orang jadi berpikir sangat keras, yakni motif yang melatarbelakangi para bocah bau kencur ini membunuh orang yang lebih tua dari mereka.
Motifnya adalah asmara. Salah satu pelaku yang umurnya baru 17 tahun cemburu dan merasa tak terima pacarnya diganggu oleh korban. Pelaku kemudian mengajak empat kawannya yang juga berusia belasan tahun untuk menghajar korban secara membabi buta. Mungkin awalnya kawanan bocah ini hanya ingin memberi pelajaran pada korban, namun pelajaran yang diberikan kebablasan, dan mereka terlalu kalap hingga akhirnya korban dibantai hingga kehilangan nyawa.
Kenekatan bocah-bocah bau kencur ini sampai bisa membunuh orang memang membuat orang terhenyak. Di masa umur mereka yang seharusnya digunakan untuk menggali ilmu, justru disalahgunakan, sehingga mereka harus menjalani kehidupan di sel tahanan penjara.
Kenekatan bocah-bocah ini tak lepas dari pergaulan mereka, dan dampak dari perkembangan teknologi informasi. Bocah-bocah pada masa sekarang, sudah sejak kecil dicekoki dengan berbagai macam informasi yang tak terkontrol.
Televisi menjadi sumber utama, dan belakangan media sosial yang ikut memberi andil sangat kuat terhadap perkembangan watak generasi muda.
Kisah percintaan anak-anak belia yang semakin salah kaprah ini juga dampak dari dua media tersebut. Sinetron, film, dan dan media sosial sering mempertontonkan cerita-cerita percintaan, yang kemudian diadaptasi secara mentah-mentah oleh bocah-bocah kita. Mereka semakin berani mengumbar kemesraan di muka umum, padahal umur mereka tak habis jika dihitung dengan seluruh jari yang ada di tubuh manusia.
Bahkan yang sangat miris, di kalangan anak muda saat ini muncul stigma jika “jomblo” itu sebuah kutukan yang harus dihindari. Sehingga mereka berlomba-lomba mencari pacar, kekasih, dan ujungnya juga berbuat hal-hal yang tak senonoh, maksiat dan segalanya.
Di sekolah-sekolah juga muncul geng-geng, yang mengikuti perkembangan saat ini, istilah mereka “kekinian”. Ini juga mengadaptasi dari massifnya gempuran budaya pop yang disajikan sinetron-sinetron, seperti sinetron “Anak Jalanan”.
Semakin liarnya pergaulan anak muda ini yang menjadikan mereka tak segan-segan melakukan tindakan di luar nalar, bahkan tindakan keji seperti membunuh. Terlebih tidak sedikit dari bocah-bocah ini yang mulai ketagihan dengan minuman keras, sehingga membutakan akal sehat.
Fenomena seperti ini bukan terjadi belakangan ini saja, tapi sudah sangat menahun. Dan kejadian seperti ini juga bukan kali ini saja terjadi. Bahkan intensitasnya bukan menurun, justru semakin banyak setiap tahunnya.
Tak ada yang bisa disalahkan memang, karena jika dirunut banyak faktor yang menyebabkan kenakalan remaja semakin menjadi seperti ini. Yang harus dilakukan saat ini dan terus ke depan, yakni dengan semakin meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak kita.
Yang terpenting yakni dari sisi keluarga dan sekolah. Orang tua harus semakin peka dengan perkembangan emosional anak dan pergaulannya. Pihak sekolah juga harus terus berupaya memberikan pendampingan dan pengawasan terhadap murid-muridnya.
Terlebih waktu anak paling banyak terdapat di sekolah dan di lingkungan pergaulan. Jika melihat kondisi seperti ini, wacana
one day school layak untuk dicermati kembali. Kebijakan sekolah sehari penuh itu, dengan melihat kondisi saat ini, setidaknya bisa menjadi salah satu solusi untuk menekan kenakalan remaja.
Waktu anak akan dihabiskan untuk belajar dan mendapat pendampingan oleh guru di sekolah. Sehingga waktu bagi mereka untuk keluyuran dan lainnya akan semakin sedikit. Meski demikian, konsepnya harus dibuat lebih ramah dengan anak, sehingga nantinya tidak ada kejenuhan, dan efek lainnya. (*)