DI salah satu pemberitaan MuriaNewsCom beberapa hari lalu, terdapat satu berita berjudul
Kudus akan Didorong jadi Kota Perdagangan. Mendengar sebutan kota perdagangan, terbayang beberapa ciri menonjol yang terlihat di beberapa kkota besar.
Seperti kota dengan pelabuhan besar, kota dengan tingkat perdagangan tinggi, atau kota dengan pergulatan ekonomi mandiri, yang dilakukan hampir sebagian besar elemen masyarakatnya.
Beberapa kota besar telah menyandang predikat kota perdagangan. Tanpa mereka menyebutkannya sekalipun, semua orang sepakat akan hal itu. Seperti halnya ibukota Jakarta. Dengan pelabuhan Tanjung Prioknya, telah menyulap kota tersebut menjadi kota perdagangan terbesar di Indonesia. Tak jauh-jauh dari Kudus, adalah Semarang. Kota terbesar di Jawa Tengah itu memiliki geliat perdagangan yang tak kalah dengan Jakarta.
Bagaimana dengan Kota Kudus? Membandingkannya dengan beberapa kota besar, macam Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, atau kota lainnya, jelas banyak perbedaan. Kudus tidak memiliki pelabuhan. Kudus tidak memiliki geliat pasar yang cetar membahana (meminjam istilah artis Syahrini), atau ciri yang dimiliki kota dagang lainnya.
Tapi Kudus terus berkembang. Posisinya sebagai daerah penghubung Semarang-Surabaya serta dilengkapi dengan potensi dan SDM yang ada, ternyata mampu mendukung Kudus menjadi kota yang selangkah lebih maju dibanding kota-kota lainnya.
Kota dengan sembilan kecamatan tersebut, menjelma sebagai daerah potensial. Beberapa potensi yang ada telah menunjukkan tajinya. Lihat saja, perusahaan kretek terkemuka di negeri ini, sebagian besar berada di Kudus. Tak perlu disebutkan. Karena akan berakibat pada dugaan iklan terselubung.
Yang jelas, perusahaan kretek itu menyedot hampir sebagian besar warga lokal untuk berkecimpung menjadi karyawan pabrik rokok. Bahkan, hampir seluruh kecamatan di Kudus, berdiri yang namanya pabrik rokok.
Perusahaan elektronik dari kelas mewah sampai buatan indutri rumahan juga ada di Kudus. Omsetnya luar biasa wow. Rata-rata itu didominasi oleh perusahaan dengan skala besar. Bagaimana dengan perusahaan skala menengah dan kecil? Oke, coba diamati. Setiap kali pemerintah setempat menggelar eksebisi atau pameran UMKM lokal, banyak pelaku yang terjun.
Dari perusahaan batik rumahan, pelaku UMKM kerajinan pisau, batik, bordil, rebana, pembuatan gebyok, dan lainnya, ada semua. Perusahaan kuliner mendunia juga ada. Jenang, adalah salah satunya. Oleh-oleh satu ini menjadi barang wajib yang dibeli wisatawan luar kota atau luar negeri.
Tercatat di Pemerintah Kabupaten Kudus, kota kecil ini punya banyak industri yang berkembang di masyarakat. Baik itu skala besar, menengah maupun industri kecil. Dinas Perindagkop pada tahun 2014 menyatakan ada 12.938 buah perusahaan industri/unit usaha di Kabupaten Kudus. Angka tersebut mencakup seluruh perusahaan (unit usaha) industri baik yang besar/sedang ataupun industri kecil/rumah tangga.Termasuk juga, keberadaan Pasar Kliwon menjadi salah satu tetenger, betapa kota ini mempunyai magnet luar biasa menjadi kota perdagangan kelas wahid. Pasar itu menjadi tolok ukur perdagangan pakaian yang tidak kalah dengan pasar Tanah Abang Jakarta, Pasar Beringharjo Yogyakarta, hingga Pasar Klewer Solo.Barang kali itu tak lepas dari semangat Gusjigang yang mendarah daging pada diri warga setempat. Sekilas tentang Gujigang. Gus berarti ’bagus’, ji berarti ’mengaji’, dan gang berarti ’berdagang’. Itu adalah filosofi Sunan Kudus yang menuntun pengikutnya dan masyarakat Kudus menjadi orang yang berkepribadian bagus, tekun mengaji, dan mau berusaha atau berdagang.Prinsip Gusjigang pernah menguat pada sekitar abad 19. Seperti kejayaan kretek. Pada abad itu, di kota tua Kudus banyak dibangun gudang dan pabrik rokok. Kota tua itu adalah Kudus Kulon. Kota yang menjadi asal perkembangan Kudus. Meliputi Desa Kauman, Kerjasan, Langgar Dalem, Demangan, Sunggingan, dan Kajeksan.Beberapa literatur sejarah Kudus menyebutkan, desa-desa itu mengitari Masjid Menara Kudus. Area sekitar masjid tidak hanya jadi pusat kajian agama, tapi juga menjadi lokasi kegiatan ekonomi. Selain berkembangnya kretek, UMKM dan pertanian Kudus juga mengalami kejayaan. Mulai dari konfeksi, gula pasir, kopi, palawija, jenang, gula Jawa, dan beras.Tapi satu abad kemudian, kejayaan Kudus memudar. Tepatnya di tahun 1970-an hingga tahun 2000-an. Ada banyak perusahaan rokok milik rakyat yang tak mampu lagi bertahan. Bahkan usaha konfeksi setempat juga terkapar oleh serbuan konfeksi kelas kakap. Mereka mampu memerosotkan usaha di Kudus.Ada beberapa hal yang harus dilakukan guna mengembalikan semangat Gusjigang dan menjadikan Kudus sebagai kota perdagangan yang jaya. Di antaranya memaksimalkan peran UMKM, peran pengusaha muda, dan membangkitkan kepercayaan diri pemuda dalam mengimplementasikan Gusjigang.Termasuk pula, pemerintah dan pelaku UMKM bersinergi membuka pintu selebar-lebarnya bagi perkembangannya sendiri. Pemerintah bisa memberi ruang untuk kemudahan permodalan, pemasaran, sampai memberi petunjuk tentang produk yang bernilai rupiah tinggi.Kemajuan dunia teknologi informasi, juga membuat pelaku UMKM berpeluang mengepakkan sayapnya ke jaringan online. Banyak pasar online (e-commerce) yang bisa dimanfaatkan. Selain itu semua, dibutuhkan pula kekonsistenan semangat berwirausaha dan bergusjigang. Karena itu menjadi kunci sukses. Yang jelas, ada banyak potensi dan beragam jalan menuju kota perdagangan masa depan yang bagus untuk Kudus. (*)
[caption id="attachment_92950" align="alignleft" width="150"]
Akrom Hazami [email protected][/caption]
DI salah satu pemberitaan MuriaNewsCom beberapa hari lalu, terdapat satu berita berjudul
Kudus akan Didorong jadi Kota Perdagangan. Mendengar sebutan kota perdagangan, terbayang beberapa ciri menonjol yang terlihat di beberapa kkota besar.
Seperti kota dengan pelabuhan besar, kota dengan tingkat perdagangan tinggi, atau kota dengan pergulatan ekonomi mandiri, yang dilakukan hampir sebagian besar elemen masyarakatnya.
Beberapa kota besar telah menyandang predikat kota perdagangan. Tanpa mereka menyebutkannya sekalipun, semua orang sepakat akan hal itu. Seperti halnya ibukota Jakarta. Dengan pelabuhan Tanjung Prioknya, telah menyulap kota tersebut menjadi kota perdagangan terbesar di Indonesia. Tak jauh-jauh dari Kudus, adalah Semarang. Kota terbesar di Jawa Tengah itu memiliki geliat perdagangan yang tak kalah dengan Jakarta.
Bagaimana dengan Kota Kudus? Membandingkannya dengan beberapa kota besar, macam Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, atau kota lainnya, jelas banyak perbedaan. Kudus tidak memiliki pelabuhan. Kudus tidak memiliki geliat pasar yang cetar membahana (meminjam istilah artis Syahrini), atau ciri yang dimiliki kota dagang lainnya.
Tapi Kudus terus berkembang. Posisinya sebagai daerah penghubung Semarang-Surabaya serta dilengkapi dengan potensi dan SDM yang ada, ternyata mampu mendukung Kudus menjadi kota yang selangkah lebih maju dibanding kota-kota lainnya.
Kota dengan sembilan kecamatan tersebut, menjelma sebagai daerah potensial. Beberapa potensi yang ada telah menunjukkan tajinya. Lihat saja, perusahaan kretek terkemuka di negeri ini, sebagian besar berada di Kudus. Tak perlu disebutkan. Karena akan berakibat pada dugaan iklan terselubung.
Yang jelas, perusahaan kretek itu menyedot hampir sebagian besar warga lokal untuk berkecimpung menjadi karyawan pabrik rokok. Bahkan, hampir seluruh kecamatan di Kudus, berdiri yang namanya pabrik rokok.
Perusahaan elektronik dari kelas mewah sampai buatan indutri rumahan juga ada di Kudus. Omsetnya luar biasa wow. Rata-rata itu didominasi oleh perusahaan dengan skala besar. Bagaimana dengan perusahaan skala menengah dan kecil? Oke, coba diamati. Setiap kali pemerintah setempat menggelar eksebisi atau pameran UMKM lokal, banyak pelaku yang terjun.
Dari perusahaan batik rumahan, pelaku UMKM kerajinan pisau, batik, bordil, rebana, pembuatan gebyok, dan lainnya, ada semua. Perusahaan kuliner mendunia juga ada. Jenang, adalah salah satunya. Oleh-oleh satu ini menjadi barang wajib yang dibeli wisatawan luar kota atau luar negeri.
Tercatat di Pemerintah Kabupaten Kudus, kota kecil ini punya banyak industri yang berkembang di masyarakat. Baik itu skala besar, menengah maupun industri kecil. Dinas Perindagkop pada tahun 2014 menyatakan ada 12.938 buah perusahaan industri/unit usaha di Kabupaten Kudus. Angka tersebut mencakup seluruh perusahaan (unit usaha) industri baik yang besar/sedang ataupun industri kecil/rumah tangga.
Termasuk juga, keberadaan Pasar Kliwon menjadi salah satu tetenger, betapa kota ini mempunyai magnet luar biasa menjadi kota perdagangan kelas wahid. Pasar itu menjadi tolok ukur perdagangan pakaian yang tidak kalah dengan pasar Tanah Abang Jakarta, Pasar Beringharjo Yogyakarta, hingga Pasar Klewer Solo.
Barang kali itu tak lepas dari semangat Gusjigang yang mendarah daging pada diri warga setempat. Sekilas tentang Gujigang. Gus berarti ’bagus’, ji berarti ’mengaji’, dan gang berarti ’berdagang’. Itu adalah filosofi Sunan Kudus yang menuntun pengikutnya dan masyarakat Kudus menjadi orang yang berkepribadian bagus, tekun mengaji, dan mau berusaha atau berdagang.
Prinsip Gusjigang pernah menguat pada sekitar abad 19. Seperti kejayaan kretek. Pada abad itu, di kota tua Kudus banyak dibangun gudang dan pabrik rokok. Kota tua itu adalah Kudus Kulon. Kota yang menjadi asal perkembangan Kudus. Meliputi Desa Kauman, Kerjasan, Langgar Dalem, Demangan, Sunggingan, dan Kajeksan.
Beberapa literatur sejarah Kudus menyebutkan, desa-desa itu mengitari Masjid Menara Kudus. Area sekitar masjid tidak hanya jadi pusat kajian agama, tapi juga menjadi lokasi kegiatan ekonomi. Selain berkembangnya kretek, UMKM dan pertanian Kudus juga mengalami kejayaan. Mulai dari konfeksi, gula pasir, kopi, palawija, jenang, gula Jawa, dan beras.
Tapi satu abad kemudian, kejayaan Kudus memudar. Tepatnya di tahun 1970-an hingga tahun 2000-an. Ada banyak perusahaan rokok milik rakyat yang tak mampu lagi bertahan. Bahkan usaha konfeksi setempat juga terkapar oleh serbuan konfeksi kelas kakap. Mereka mampu memerosotkan usaha di Kudus.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan guna mengembalikan semangat Gusjigang dan menjadikan Kudus sebagai kota perdagangan yang jaya. Di antaranya memaksimalkan peran UMKM, peran pengusaha muda, dan membangkitkan kepercayaan diri pemuda dalam mengimplementasikan Gusjigang.
Termasuk pula, pemerintah dan pelaku UMKM bersinergi membuka pintu selebar-lebarnya bagi perkembangannya sendiri. Pemerintah bisa memberi ruang untuk kemudahan permodalan, pemasaran, sampai memberi petunjuk tentang produk yang bernilai rupiah tinggi.
Kemajuan dunia teknologi informasi, juga membuat pelaku UMKM berpeluang mengepakkan sayapnya ke jaringan online. Banyak pasar online (e-commerce) yang bisa dimanfaatkan. Selain itu semua, dibutuhkan pula kekonsistenan semangat berwirausaha dan bergusjigang. Karena itu menjadi kunci sukses. Yang jelas, ada banyak potensi dan beragam jalan menuju kota perdagangan masa depan yang bagus untuk Kudus. (*)