BEBERAPA hari terakhir, Undang –Undang Informasi Transaksi dan Elektronika (ITE) ramai. UU ITE telah direvisi dan diberlakukan pada Senin (28/11/2016). Dengan diberlakukannya revisi UU ITE, berarti kebebasan bersuara, khususnya melalui media sosial, pun terfilter.
Media sosial seolah menjadi tempat istimewa untuk mengujar kebencian, ajang pemelintiran berita, manipulisi foto dengan diisi kalimat yang menyudutkan, hingga kata kasar yang dengan enteng terunggah. Kemudian jadi konsumsi sesama pengguna media sosial.
Meski tidak sedikit pula, pengguna media sosial yang bijak dalam menggunakannya. Serta memberikan konten yang positif. Itu jelas memberi manfaat bagi sesama. Lantas, satu sama lain memberikan tanggapan. Baik bersifat pro, maupun kontra.
Kembali kepada persoalan pengujar kebencian melalui media sosial, dan ketidakarifan menggunakan internet. Dengan diberlakukannya UU ITE, para pengguna media sosial hendaknya bisa mengontrol konten yang akan diunggah.
Pemerintah, dalam hal ini Kemkomifo, berharap pengguna sosial bisa bijak dalam beraksi. Sebab sudah saatnya bangsa Indonesia, yang mulai melek teknologi, diatur dalam kebebasannya bersuara. Konten positif menjadi aspirasi berharga demi membangun bangsa menjadi lebih baik.
Beberapa kasus terakhir menjadi pelajaran bagi kita. Buni Yani yang mengunggah konten Youtube, yang dianggap mengandung ujaran kebencian harus menjadi tersangka. Atau yang terakhir adalah kasus penghina ulama di Kabupaten Rembang.
Ada dua ulama, yang saat ini ketahuan, menjadi sasaran kebencian pengguna media sosial. Adalah KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dan KH Maemoen Zubair. Pemilik akun media sosial Twitter @panduwijaya melontarkan kalimat penghinaan ke sosok Gus Mus. Hal itu membuat masyarakat resah. Bahkan tidak sedikit yang marah.
Pemilik akun, Pandu Wijaya, warga Perumahan Bromo, Desa Ketapang, Probolinggo, Jawa Timur, pun segera sowan ke kediaman Gus Mus di kompleks Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Rembang, Jumat (25/11/2016) siang. Maksud Pandu Wijaya adalah untuk memohon maaf atas kicauannya yang menghina Gus Mus. Pandu mengaku khilaf dengan apa yang ditulisnya. Rasa pasrah Pandu juga terucap atas SP 3 yang diterimanya dari tempatnya bekerja. Termasuk bila warga NU berniat menempuh jalur hukum. Pandu hanya bisa pasrah.Rupanya ujaran kebencian terhadap sosok Gus Mus juga dilancarkan oleh pemilik akun Facebook Bahtiar Prasojo. Warga Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal, itu menghina Gus Mus. Sekali lagi, ujaran kebencian itu meresahkan banyak pihak.Bahtiar juga melakukan hal serupa dengan Pandu. Yakni sowan ke rumah Gus Mus. Tujuannya untuk memohon maaf secara langsung. Meski sebelumnya, Bahtiar telah menulis permohonan maafnya melalui akun Facebook.Sementara KH Maemoen Zubair atau akrab dipanggil Mbah Moen menjadi sasaran ujaran kebencian oleh pemilik akun Facebook Syaibah Mawal atau yang bernama lengkap Syaibatul Alawiyah. Warga Kampung Rawabuntu Serpong itu bersilaturrahmi di kediaman KH Maimoen Zubair di Karangmangu, Kecamatan Sarang, Minggu (27/11/2016).Syaibatul meminta maaf secara langsung kepada Mbah Moen atas apa yang ditulisnya di Facebook, yang sangat tidak sopan dan tidak pantas yang ditujukan kepada Mbah Moen. Meski maaf telah meredakan gejolak di masyarakat, tapi tetap membekas.Itu adalah contoh dari akibat ujaran kebencian satu orang, tapi telah membuat masyarakat gelisah. Pemerintah berharap revisi UU ITE bisa menjadi pengontrol masyarakat dalam menggunakan media sosial.Termasuk juga dalam dunia sosial yang sebenarnya, juga apa yang kita ucapkan dan kita perbuat, pun hendaknya lebih dijaga. Jaga lisanmu. Karena kata pepatah,
Mulutmu Harimaumu, benar-benar nyata dampaknya. (*)
[caption id="attachment_101904" align="alignleft" width="150"]
Akrom Hazami[email protected][/caption]
BEBERAPA hari terakhir, Undang –Undang Informasi Transaksi dan Elektronika (ITE) ramai. UU ITE telah direvisi dan diberlakukan pada Senin (28/11/2016). Dengan diberlakukannya revisi UU ITE, berarti kebebasan bersuara, khususnya melalui media sosial, pun terfilter.
Media sosial seolah menjadi tempat istimewa untuk mengujar kebencian, ajang pemelintiran berita, manipulisi foto dengan diisi kalimat yang menyudutkan, hingga kata kasar yang dengan enteng terunggah. Kemudian jadi konsumsi sesama pengguna media sosial.
Meski tidak sedikit pula, pengguna media sosial yang bijak dalam menggunakannya. Serta memberikan konten yang positif. Itu jelas memberi manfaat bagi sesama. Lantas, satu sama lain memberikan tanggapan. Baik bersifat pro, maupun kontra.
Kembali kepada persoalan pengujar kebencian melalui media sosial, dan ketidakarifan menggunakan internet. Dengan diberlakukannya UU ITE, para pengguna media sosial hendaknya bisa mengontrol konten yang akan diunggah.
Pemerintah, dalam hal ini Kemkomifo, berharap pengguna sosial bisa bijak dalam beraksi. Sebab sudah saatnya bangsa Indonesia, yang mulai melek teknologi, diatur dalam kebebasannya bersuara. Konten positif menjadi aspirasi berharga demi membangun bangsa menjadi lebih baik.
Beberapa kasus terakhir menjadi pelajaran bagi kita. Buni Yani yang mengunggah konten Youtube, yang dianggap mengandung ujaran kebencian harus menjadi tersangka. Atau yang terakhir adalah kasus penghina ulama di Kabupaten Rembang.
Ada dua ulama, yang saat ini ketahuan, menjadi sasaran kebencian pengguna media sosial. Adalah KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dan KH Maemoen Zubair. Pemilik akun media sosial Twitter @panduwijaya melontarkan kalimat penghinaan ke sosok Gus Mus. Hal itu membuat masyarakat resah. Bahkan tidak sedikit yang marah.
Pemilik akun, Pandu Wijaya, warga Perumahan Bromo, Desa Ketapang, Probolinggo, Jawa Timur, pun segera sowan ke kediaman Gus Mus di kompleks Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Rembang, Jumat (25/11/2016) siang.
Maksud Pandu Wijaya adalah untuk memohon maaf atas kicauannya yang menghina Gus Mus. Pandu mengaku khilaf dengan apa yang ditulisnya. Rasa pasrah Pandu juga terucap atas SP 3 yang diterimanya dari tempatnya bekerja. Termasuk bila warga NU berniat menempuh jalur hukum. Pandu hanya bisa pasrah.
Rupanya ujaran kebencian terhadap sosok Gus Mus juga dilancarkan oleh pemilik akun Facebook Bahtiar Prasojo. Warga Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal, itu menghina Gus Mus. Sekali lagi, ujaran kebencian itu meresahkan banyak pihak.
Bahtiar juga melakukan hal serupa dengan Pandu. Yakni sowan ke rumah Gus Mus. Tujuannya untuk memohon maaf secara langsung. Meski sebelumnya, Bahtiar telah menulis permohonan maafnya melalui akun Facebook.
Sementara KH Maemoen Zubair atau akrab dipanggil Mbah Moen menjadi sasaran ujaran kebencian oleh pemilik akun Facebook Syaibah Mawal atau yang bernama lengkap Syaibatul Alawiyah. Warga Kampung Rawabuntu Serpong itu bersilaturrahmi di kediaman KH Maimoen Zubair di Karangmangu, Kecamatan Sarang, Minggu (27/11/2016).
Syaibatul meminta maaf secara langsung kepada Mbah Moen atas apa yang ditulisnya di Facebook, yang sangat tidak sopan dan tidak pantas yang ditujukan kepada Mbah Moen. Meski maaf telah meredakan gejolak di masyarakat, tapi tetap membekas.
Itu adalah contoh dari akibat ujaran kebencian satu orang, tapi telah membuat masyarakat gelisah. Pemerintah berharap revisi UU ITE bisa menjadi pengontrol masyarakat dalam menggunakan media sosial.
Termasuk juga dalam dunia sosial yang sebenarnya, juga apa yang kita ucapkan dan kita perbuat, pun hendaknya lebih dijaga. Jaga lisanmu. Karena kata pepatah,
Mulutmu Harimaumu, benar-benar nyata dampaknya. (*)